28.8 C
Jakarta

Meluruskan Fitnah-fitnah HTI terhadap Khilafah Islam

Artikel Trending

Milenial IslamMeluruskan Fitnah-fitnah HTI terhadap Khilafah Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ada yang miris selama bulan Ramadan kali ini, yaitu masifnya propaganda khilafah. Para aktivis HTI melakukan indoktrinasi umat melalui medsos-medsos mereka. Tagline utamanya adalah “Khilafah dan Kesejahteraan”. Mereka menyebarkan narasi bahwa saat ini, umat Muslim tengah berada dalam sistem pemerintahan yang korup, sekuler, liberal, dan tidak memperhatikan kesejahteraan—dan karenanya harus diganti.

Ada tiga cara yang HTI gunakan sebagai siasat menarasikan khilafah untuk umat Islam.

Pertama, memelintir dan mereduksi literatur internasional. Ini dilakukan dengan cara mengutip pendapat seorang tokoh tentang kejayaan abad pertengahan. Pada saat yang sama, mereka mereduksi pernyataan tokoh tersebut menjadi seolah mendukung HTI. Sebagai contoh, mereka mengganti frasa “imperium monarki Islam” menjadi “khilafah Islam”. Akhirnya, terkesan bahwa literatur internasional pun mendukung khilafah.

Cara pertama ini bukan tanpa pengaruh. Generasi muda saat ini tidak akan melakukan cross-check ke literatur terkait, atau bersikap kritis atas upaya reduksi tersebut. Dampaknya, mereka langsung percaya. Apalagi jika ditambah embel-embel bahwa yang menyatakan adalah tokoh A, yang notabene cendekiawan besar. Dan taktik ini dipakai HTI untuk mereduksi dan memelintir statement ratusan tokoh dalam ratusan literatur. Miris.

Kedua, mengerahkan influencer muda. Sebagaimana sering disinggung pada tulisan yang lalu, generasi muda adalah target pasar HTI. Para aktivis khilafah mengemas seluruh propaganda mereka menjadi ala-ala anak muda, yang disponsori oleh influencer di kalangan anak muda itu sendiri. Cara ini juga sangat efektif untuk memengaruhi umat Islam, karena penerimaan akan khilafah mereka dasarkan dari ketokohan influencer itu sendiri.

Ketiga, memasifkan diseminasi konten di medsos. Ini juga sangat semarak dan menunjukkan efektivitas yang signifikan. Terciptalah, kemudian, apa yang disebut dengan efek ruang gema (echo chamber), sikap defensif seseorang terhadap pendapat dan perspektifnya sendiri. Karena diseminasi konten tentang khilafah di medsos, banyak generasi muda yang mendistorsi perspektif orang-orang dan anti dengan sudut pandang yang berlawanan.

Saat ini, ketiga siasat tersebut sangat sukses. Bukti konkretnya adalah acara metamorfoshow di TMII beberapa waktu lalu, serta respons defensif ribuan hadirin ketika acara tersebut disorot sebagai propaganda radikal. Misalnya, mereka yang hadir berdalih, “memang apa yang salah?”, atau “khilafah memang harus ditegakkan”. Ketiga siasat tadi telah berhasil mengindoktrinasi ribuan generasi muda melalui wacana “kesejahteraan umat” yang palsu.

Wacana Kesejahteraan Umat

Berikut adalah statement tokoh yang dipelintir sebagai siasat mempropagandakan khilafah.

“Di bawah Khilafah Islam, kesejahteraan masyarakat merupakan prioritas utama. Sistem redistribusi yang adil dan kebijakan sosial yang terencana memberikan jaminan pendapatan, akses ke pelayanan dasar, dan perlindungan terhadap ketidakadilan sosial.” (Karen Armstrong, sejarawan agama dan penulis asal Inggris. Sumber: Fields of Blood: Religion and the History of Violence).

Siapa yang tak kenal Karen Armstrong? Dia adalah intelektual besar yang terkenal dengan buku-bukunya, seperti “A History of God” dan “Muhammad: A Biography of the Prophet”. Armstrong adalah pemikir yang cemerlang, dan kedua buku tadi sudah saya baca bahkan sejak S-1. Buku biografinya tentang Nabi adalah yang terbaik. Namun, apakah masuk akal bahwa Armstrong mendukung khilafah ala HTI?

BACA JUGA  Remoderasi Pendidikan di Indonesia

Sama sekali tidak. Pernyataan Armstrong tersebut sudah direduksi dan dipelintir oleh aktivis khilafah HTI. Statement Armstrong tersebut ditujukan untuk monarki Islam abad pertengahan—selama ini Armstrong dikenal sebagai orientalis yang objektif terhadap kajian Arab-Islam. Artinya, Armstrong sama sekali tidak mendukung khilafah HTI, namun HTI memfitnah Armstrong dengan cara mereduksi isi bukunya.

Pernyataan lain yang dipelintir untuk memengaruhi umat Islam ialah,

“Di bawah Khilafah Islam, ada perhatian yang besar terhadap pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat. Konsep-konsep seperti wakaf, infak, dan sedekah memiliki peran penting dalam mengatasi kesenjangan dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.” (Tariq Ramadan, intelektual Muslim Swiss. Sumber: Islam: A Short Introduction)

Tariq Ramadan adalah penulis dan akademisi asal Swiss. Ia adalah cucu dari Hasan Al-Banna, Pendiri Ikhwanul Muslimin, organisasi islamis transnasional yang didirikan pada 1928 di Mesir. Seperti Armstrong, Tariq adalah intelektual kenamaan di Eropa. Adalah mustahil seorang cucu Al-Banna mendukung khilafah ala Hizbut Tahrir yang notabene rival Ikhwanul Muslimin. Tetapi kenapa HTI mengutipnya? Jawabannya: untuk mereduksinya.

Armstrong dan Tariq jelas memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan umat manusia. Itu bagian dari objektivitasnya sebagai cendekiawan besar. Namun demikian, kesejahteraan yang dimaksud bukan—sama sekali bukan—kesejahteraan ala khilafah seperti yang HTI pelintir dan narasikan. Tidak sama sekali.

HTI hanya memanfaatkan kedua tokoh internasional tersebut untuk meracuni umat, agar mereka mau menerima tawaran khilafah. Mereka menutupi niat jahat yang sebenarnya melalui kesejahteraan umat dan kejayaan Islam, padahal sejatinya mereka tengah memperjuangkan kejayaannya sendiri, yaitu kejayaan Hizbut Tahrir di Indonesia.

Kejayaan Islam atau Kejayaan HTI?

Fitnah-fitnah HTI tentang khilafah mungkin akan berlangsung dalam jangka panjang, selama mereka belum tercapai agendanya dan selama pundi-pundinya cukup. Untuk itu, mereka memasukkan “infak dan sedekah” ke dalam narasinya, sebagai jurus survive dengan cara memanfaatkan dana umat. Terdengar kejam, tetapi HTI memang demikian adanya. Kejayaan organisasi internasional mereka adalah yang utama bagi para aktivisnya.

Segala cara dilakukan. Beberapa tahun silam, mereka juga pernah mereduksi dan memelintir pernyataan Peter Carey, sejarawan dan penulis asal Inggris yang mengkhususkan diri dalam sejarah modern Indonesia, khususnya Pangeran Diponegoro. Carey dipakai HTI untuk seolah-seolah mendukung penegakan khilafah di Indonesia—dalam film Jejak Khilafah di Nusantara besutan HTI. Tetapi Carey kemudian klarifikasi bahwa ia difitnah oleh HTI.

HTI adalah komunitas transnasional yang menghalalkan segala cara demi kejayaan mereka. Kejayaan Islam dijadikan narasi propaganda, Al-Qur’an dan hadis dijadikan dalil pendukung, dan tokoh-tokoh besar difitnah seolah berada di barisan mereka. Generasi muda adalah santapan utamanya yang didoktrin, dipengaruhi, dijejali ideologi khilafah, dan dibuat tidak mencintai negaranya sendiri: Indonesia. Sangat ironis.

Sayang sekali sejauh ini belum ada tindakan berarti untuk mereka, selain pencabutan badan hukumnya yang, ternyata, juga tidak membuat mereka jera. Para aktivis khilafah HTI terus mencekoki generasi muda dengan narasi-narasi pesimisme akan demokrasi dan fitnah-fitnah serupa. Harusnya para stakeholder bergerak secara lebih masif, dan tidak ragu untuk mengerangkeng para aktivisnya yang tengah meradikalisasi generasi bangsa.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru