28.2 C
Jakarta

Remoderasi Pendidikan di Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamRemoderasi Pendidikan di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Toto Soharto, peneliti pendidikan Islam di Indonesia dalam pidato pengukuhan guru besarnya berjudul Remoderasi Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan Ideologis (2020) mendedah kontestasi pendidikan Islam mutakhir. Di antaranya, pendidikan keislaman di Indonesia cenderung bergulat dengan ideologi ekstrem yang bersumber dari jaringan Islam transnasional. Ideologi ini, menurutnya, ditanamkan sacara halus dan samar melalui penyelenggara pendidikannya, seperti madrasah, sekolah, dan pesantren.

Sekolah Radikalis

Fakta itu, menyiratkan bahwa pendidikan keislaman atau Islam sendiri atau kebangsaan Indonesia saat ini sedang dalam kondisi “kalabendu”. Praktik dan faktanya bisa dilihat dari kurikulum, program ekstra-intra, literatur dan bagaimana anak didik ditarik masuk ke dalam ideologi tertentu dan memusuhi ideologi yang berbeda. Bahkan sampai memandang pentingnya untuk “islamisasi Indonesia”. Apabila terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kondisi ini akan menjadi bom waktu.

Kita tahu, lembaga pendidikan memiliki fungsi sebagai pintu masuk penyebaran ideologi tertentu sekaligus merupakan pintu keluar untuk mencari solusi hidup. Seperti dikatakan Horace Mann (1796-1859), seorang pemikir pendidikan kelahiran Massachusetts, bahwa pendidikan adalah pengaman manusia satu-satunya, di luar bahtera ini hanya ada banjir dan air bah.

Karena itu, kita memerlukan guru-guru yang terampil-moderat dan memiliki pemahaman keagamaan yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Sekaligus memerlukan kerangka kurikulum-modul pendidikan yang moderat, memerdekakan, dan mencerdaskan. Melalui kurikulum, murid bisa dilihat signifikansinya, masa depan, lapangan kerja, akhlaknya serta tantangan dunianya besok. Pendidikan penting memiliki kurikulum yang sesuai bagi murid.

Kurikulum Wajib Diperbaiki

Kurikulum/modul yang sesuai memuat sumber ajar yang kaya metode dan kaya strategi akan membentuk kepribadian siswa yang baik dan bisa memenuhi kebutuhan siswa, dan juga bangsa. Kurikulum yang centang-perenang hanya akan menghasilkan yang juga tidak beraturan. Pada titik inilah kurikulum pendidikan penting diperhatikan.

Pertanyaannya, bagaimana kurikulum pendidikan Islam bisa dirumuskan? Dengan kurikulum itu murid mau dibawa dan mau ke mana? Sampai di mana pencapaian murid—dalam konteks ini—tingkat madrasah tsanawiyah dan aliah? Dan bagaimana mengembangkan potensi murid secara optimal?

BACA JUGA  Menguji Konsistensi Etika dan Toleransi Muslim Indonesia

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita bisa ajukan buku modul terbaru yang di susun oleh akademisi Pusat Pengembangan Kajian dan Pengembangan Pesantren Nusantara (PKPPN) IAIN Surakarta yang bekerjasama dengan Direktorat KSKK Madrasah Kementerian Agama Republik Indonesia. Dengan karangka yang merumuskan atau mempertimbangkan tujuan pendidikan Islam yang cerdas-moderat dan mencoba menginternalisasi ajaran-ajaran moderat lewat ragam metode dan berbagai strategi cerdas.

Rancangan kurikulum memang perlu melihat kondisi pendidikan (Islam) sekarang, baik negeri maupun mandrasah. Internalisasi ajaran atau norma-norma keagamaan dan keindonesiaan yang moderat menjadi acuan untuk membentuk karakter peserta didik. Tetapi, kurikulum yang diterapkannya bukan saja untuk menyajikan produk ilmu atau ajaran keagamaan semata, melainkan juga mendorong bagaimana ilmu dan ajaran keagamaan itu diproduksikan.

Pendidikan Fungsional

Di sinilah pentingnya memberi ruang bagi peserta didik. Seperti metode dalam modul, peserta didik diajak untuk cepat tanggap dalam persoalan lingkungan (hlm. 36) atau studi kasus (hlm. 46) dan membaca-berdiskusi secara kritis (hlm. 94), serta merefleksikan keadaan sekitar atau segala sesuatu (hlm. 21). Dengan begitu, murid dapat berkembang dengan realitas yang mengitarinya dan pengatahuan yang ia temukan sendiri. Ketika anak didik diberi ruang kesempatan untuk memilih, maka ia bisa memilih dengan merdeka dan bisa mengembangkan kemampuannya sendiri.

Pendidikan yang merdeka bisa menjadi menyenangkan murid. Sebaliknya, pendidikan yang lebih dengan cara pemaksaan apalagi terhadap suatu paham yang sempit, bukan menyeluruh, maka yang terjadi murid akan tertuju pada ruang sempit itu—alih-alih menikmati dan merayakan pelajaran—bahkan bisa jadi ia akan membangun garis damarkasi dan saling menyingkirkan satu sama lain karena beda paham.

Karena itu, pendidikan dan kurikulum harus ditujukan dan dijalankan secara kontekstual serta fungsional. Tanggung jawab operasinalisasi pendidikan mesti didasarkan kepada diri murid, situasi, kondisi, kebutuhan, dan harapan masa depan murid dan bangsa. Bukan pada materi yang tanpa kejelasan, apa manfaat dan relevensinya pada hidupnya di masa kini dan masa mendatang.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru