26.6 C
Jakarta

Melawan Isu Khilafah, Imagine Community yang Mustahil Terealisasi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMelawan Isu Khilafah, Imagine Community yang Mustahil Terealisasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com Imagine community adalah sebuah istilah untuk menyebut komunitas bayangan. Ia disebut imagined karena mustahil adanya interaksi antara satu dengan yang lainnya. Istilah imagine community diperkenalkan pertama kali oleh Benedict Anderson.

Di Indonesia, istilah tersebut diterjemahkan menjadi “mimpi negara Islam yang tersembunyi”. Dalam konsep Ben Anderson, negara dalam imagine community terbentuk karena adanya konstruksi sosial masyarakat yang membayangkan mereka bisa tergabung dalam kelompok tersebut.

Meskipun antar satu dengan lainnya belum pernah berinteraksi, namun karena kesamaan cita-cita, banyak pihak yang dengan suka rela mendukung untuk mewujudkan imagine community tersebut. Kesediaan untuk memberikan dukungan ini muncul karena mereka meyakini bahwa syarat menjadi bagian dari imagine community adalah kesatuan dari para calon anggota bangsa.

Maka tak heran jika pendukung ISIS tersebar di seluruh antero dunia. mereka digerakkan dengan tujuan dan cita-cita semu yang sama. Dipertemukan oleh kisah ilusi kejayaan masa lampau yang mereka yakini harus diwujudkan kembali.

Sama dengan konsep Bangsa dalam pandangan konvensi Montevideo 1993, unsur negara dalam imagine community juga mensyaratkan adanya penduduk yang berdaulat, adanya pemerintahan, menjalin hubungan dengan negara lain dan juga kepemilikan wilayah. Maka para penggagas imagine community berusaha mewujudkan hal tersebut dengan berbagai cara dan strategi.

Imagine Community dan Eksistensinya

Melihat dari corak gerakannya, ISIS adalah salah satu imagine community yang hampir sampai pada taraf mendeklarasikan diri sebagai negara dengan system khilafah. Hal ini terlihat pada ketergerakan masyarakat dunia untuk berbondong-bondong hijrah ke Syiria.

Tujuannya tak lain adalah untuk mewujudkan imagine community ala ISIS. Meskipun antar satu dengan yang lainnya belum pernah berinteraksi sebelumnya, namun kesamaan ideologi yang diusung ISIS mampu menyatukan masyarakat dari berbagai belahan dunia.

Namun, ada banyak negara yang menolak berdiri ISIS sebagai sebuah negara dengan system khilafah. Karena berdasarkan sejarahnya, khilafah berhubungan dengan lingkup politik dan pemimpin dalam sejarah Islam. System ini diadopsi oleh peradaban Islam hingga runtuhnya Turky Utsmani di abad ke 19. Penolakan ini disebabkan karena pimpinan politik yang disebut khalifah tersebut, belum tentu menjadi khalifah sebagaimana yang digariskan dalam al-Quran.

Padahal, seorang khalifah tidak hanya menjadi pemimpin sebuah negara namun juga pemimpin kerohanian umat manusia. Ia menjadi rujukan moral dan keagamaan, disamping menjalankan pemerintahan.

Selain itu, system yang dijalankan ISIS juga menggunakan pendekatan kekerasan dan ekstrimisme. Tak heran jika berbagai dunia menolak dan menyerang ISIS. Karena penolakan dari berbagai negara dunia inilah ISIS mengalami kehancuran meskipun secara teritori mereka berhasilnya mengambil wilayah Syria.

BACA JUGA  Menjadikan Ruang Maya sebagai Ajang Politik Damai

Meskipun tidak seheboh ISIS, ada satu imagine community yang juga pernah eksis keberadaannya yaitu Katibah Nusantara. Diwacanakan oleh Bachrumsyah, Katibah Nusantara bercita-cita untuk membentuk system khilafah di Asia Tenggara. Karena tidak mendapatkan izin dari ISIS pusat, maka gerakan Katibah Nusantara bisa dibilang gagal dan hanya berakhir di wacana tanpa aksi.

Masih berada di wilayah Asia Tenggara, imagine community juga diwacanakan oleh Isnilon Hapilon yang memimpin kelompok Abu Sayyaf. Anggota kelompok tersebut berasal dari terorisme lokal di Selatan Philipina. Mereka mendeklarasikan diri sebagai perwujudan ISIS di tingkat regional. Karena disetujui oleh ISIS pusat, kelompok Abu Sayyaf ini berhasil menarik perhatian empat organisasi pendukung ISIS di wilayah Asia Tenggara.

Keempat organisasi tersebut antara lain battalion Harakah al Islamiyah (nama asli kelompok ASG), Ansharul Khilafah yang dipimpin Tokboy atau Abu Sharifah, batalion Anshar al-Shariah, pimpinan Abu Anas dari Malaysia dan batalion Ma’rakah al Anshar yang berpusat di Sulu dan dipimpin oleh Abu Ammar. Mereka berbaiat pada Isnilon Hapilon sebagai amir di wilayah Asia Tenggara. Amir sendiri adalah sebutan bagi gubernur di wilayah pemerintahan khilafah.

Indonesia dan Malaysia bahkan disebut sebagai simpatisan yang mendukung keberadaan ISIS regional Asia Tenggara ini. Hingga pada akhirnya, keberadaan kelompok Abu Sayyaf ini dipukul mundur oleh pemerintahan resmi Philipina. Melalui Perang Marawi, pemerintah Philipina berhasil mengambil kembali wilayah Kota Marawi yang menjadi basis pergerakan ISIS regional Asia Tenggara ini.

Nasionalisme sebagai Kontra-Narasi

Meskipun imagine community dalam bentuk ISIS pusat dan regional saat ini sudah hancur dan mendapatkan perlawanan, namun gerakan bawah tanah dari kelompok ini tidak bisa diabaikan. ISIS dan turunannya secara kasat mata memang sudah tidak ada. Namun ideologi dan pemikirannya masih tersebar di mana-mana.

Mimpi untuk mewujudkan negeri khilafah yang damai, aman, dan sejahtera menjadi iming-iming para aktivis khilafah untuk menarik simpati pengikutnya. Romantisisme kejayaan masa lalu menjadi perantara untuk menyampaikan isu-isu penegakan khilafah.

Dalam konteks wawasan kebangsaan, Indonesia harus mengantisipasi ide-ide khilafer dengan menggalakkan nilai nasionalisme. Karena belajar dari peristiwa sebelumnya, Indonesia cukup aktif terlibat dalam kelompok ISIS pusat maupun regional. Nasionalisme harus dijadikan sebagai pedoman utama untuk menghalau gerakan ekstrimisme dari organisasi transnasional.

Lutfiana Dwi Mayasari
Lutfiana Dwi Mayasari
Anggota Puan Menulis sekaligus alumni Magister Kajian Timur Tengah UI. Saat ini mengajar Sejarah Peradaban Islam di IAIN Ponorogo. Minat pada kajian gender, perdamaian, hukum, dan politik Timur Tengah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru