27.8 C
Jakarta

Masa Depan MUI dalam Desakan Hastag #BubarkanMUI

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMasa Depan MUI dalam Desakan Hastag #BubarkanMUI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Kini bahas soal MUI atau kepanjangannya Majelis Ulama Indonesia. Saya mendengar nama MUI jauh sebelum sekarang, tepatnya waktu belajar di pesantren dulu. MUI, yang saya kenal dulu, termasuk organisasi para ulama yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan sehingga mampu memberikan fatwa yang dapat diterima oleh banyak orang.

Kalau saya boleh menyederhanakan MUI layaknya penerjemah ijtihad empat imam mazhab meliputi Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Hanbali. Ijtihad empat imam tersebut, khususnya Imam Syafi’i, dihasilkan di luar Indonesia. Sehingga, perlu ada diskusi ulang (tajdid) ketika ijtihad tersebut digunakan di Indonesia.

Namun, sekarang MUI tidak seperti dahulu lagi. Sekarang MUI banyak terpapar paham radikal, sehingga orang yang ada di dalamnya lebih mengutamakan politik dibanding dengan ilmu pengetahuan. Biasanya orang yang terpapar radikalisme mudah “baperan” dalam menyikapi suatu persoalan. Orang ini gampang menghakimi orang lain, tanpa mempertimbangkan maslahat dan mafsadatnya.

MUI sekarang dihebohkan dengan sikapnya yang “baperan” dalam menyikapi pedangdut janda Ayu Ting-Ting. MUI berpandangan Ayu tidak pantas tampil di layar kaca lantaran janda. Sehingga, dikhawatirkan goyangan Ayu dapat mengganggu keimanan seseorang. Ayu diminta mundur dari layar kaca.

Cara MUI yang “baperan” dalam menyikapi persoalan sepele menunjukkan bahwa kualitas MUI mulai dipertanyakan (bila enggan berkata “diragukan”). MUI, seperti kepanjangannya, adalah kumpulan ulama. Yang saya tahu ulama sangat terbuka dalam menyikapi persoalan, di mana cara menegur seseorang yang keliru dengan cara yang baik (ma’ruf) tanpa menyinggung sedikitpun perasaan orang tersebut. Maksudnya, orang yang ditegur tidak merasa bahwa dirinya ditegur, sehingga orang ini terbuka hatinya untuk bertobat karena mendapatkan hidayah dari Allah, bukan bertobat karena paksaan.

BACA JUGA  Lebaran Ketupat dan Makna Filosofis yang Dapat Kita Petik

MUI harus belajar lagi dalam berdakwah kepada Wali Songo. Para wali ini berdakwah dengan cara ma’ruf (lemah lembut). Dakwah Wali Songo tidak menghilangkan budaya atau kesukaan seseorang. Budaya tetap dipertahankan tanpa sedikitpun dirusak alias dibubarkan, tapi budaya ini dibarengi dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.

Seandainya Wali Songo masih ada sekarang, pasti MUI mendapat teguran. MUI dalam berdakwah, termasuk kepada Ayu Ting-Ting hendaknya bukan dengan cara yang kasar, tapi dengan cara yang lemah lembut. MUI hendaknya tidak berdakwah dengan membubarkan kesukaan Ayu, tapi mengajak Ayu cinta kepada Islam meski ia tetap dalam pekerjaannya sebagai pedangdut.

Sampai detik ini, MUI jika tidak bersikap terbuka dalam berdakwah akan tinggal menunggu waktu dibubarkan. Karena, MUI bagai wujuduhu ka adamihi (adanya sama dengan tidak adanya). Sebaliknya, jika MUI menarik dakwah yang keliru diganti dengan dakwah yang baik, akan terbuka kesempatan untuk tetap bertahan di negara plural ini.

Sebagai penutup, MUI fokus saja dalam berdakwah layaknya Wali Songo. Hindari berdakwah seperti kelompok radikal yang “baperan”, sehingga mudah menghakimi orang lain. Menghakimi itu bukan dakwah, tapi penjajahan. MUI akan bertahan jika selalu berjalan di jalan yang benar (shirathal mustaqim). MUI sekarang dalam zona gawat darurat, apalagi dihadapkan dengan desakan hastag #BubarkanMUI.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru