31 C
Jakarta

PM Israel Desak AS Tak Cabut “Status Teroris” Garda Revolusioner Iran

Artikel Trending

AkhbarInternasionalPM Israel Desak AS Tak Cabut "Status Teroris" Garda Revolusioner Iran
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Kabul – Perdana Menteri Israel Naftali Bennett telah memperingatkan Amerika Serikat agar tidak mencabut sebutan teroris pada pasukan paramiliter Iran, yaitu Korps Garda Revolusioner Iran atau IRGC.

“Kami sangat prihatin dengan niat Amerika untuk menyetujui permintaan Iran yang keterlaluan untuk mencabut Korps Garda Revolusioner Iran (IRGC) dari daftar organisasi teroris asing (FTO),” kata Bennet.

Ia menambahkan, “IRGC adalah organisasi teroris terbesar dan paling mematikan di dunia. Tidak seperti kelompok Negara Islam ISIS atau kelompok-kelompok lain, sebuah negara berdiri di belakang kelompok ini, yaitu Iran. Ini bukan hanya masalah Israel. Negara-negara lain, sekutu-sekutu Amerika di kawasan ini, setiap hari dan setiap jam berurusan dengan kelompok teroris ini.”

Para diplomat yang sedang berupaya menyelamatkan perjanjian nuklir Iran tahun 2015 bekerja keras agar perundingan dapat terus bergerak maju, meskipun senantiasa mengalami kemunduran.

Tim perunding tampaknya berada di titik puncak mencapai perjanjian, yang akan membawa kembali Amerika dalam perjanjian itu dan sekaligus membuat Iran mematuhi pembatasan program nuklirnya.

BACA JUGA  Serangan Iran Berpotensi Naikkan Tensi di Kawasan

Kekhawatiran para kritikus perjanjian itu adalah ruang lingkup pelonggaran sanksi yang siap diberikan pemerintahan Biden jika Iran mematuhi perjanjian itu.

Iran menuntut penghapusan penunjukkan Korps Garda Revolusioner Iran sebagai “organisasi teroris asing,” oleh pemerintahan Trump ketika itu.

Amerika menolak keras hal ini, menghalangi komitmen Iran untuk menghentikan pendanaan dan mempersenjatai kelompok-kelompok ekstremis di kawasan dan sekitarnya.

Masalah ini sangat menarik di Washington DC, setidaknya karena IRGC diyakini berada di balik ancaman spesifik dan kredibel terhadap mantan menteri luar negeri Mike Pompeo dan utusan pemerintahan Trump untuk Iran Brian Hook, ketika itu.

 

Setelah pembicaraan yang terputus-putus di Wina selama 11 bulan, para pejabat Amerika dan lainnya mengatakan hanya tinggal sejumlah kecil masalah yang harus diselesaikan.

Sementara itu, Rusia tampaknya telah mundur dari ancaman untuk membuat kesepakatan mengenai sanksi terkait Ukraina, yang telah mengurangi prospek untuk mencapai perjanjian itu dengan cepat. [em/lt]

Ahmad Fairozi
Ahmad Fairozihttps://www.penasantri.id/
Mahasiswa UNUSIA Jakarta, Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru