31.5 C
Jakarta

Kontra-Radikalisme dan Disinformasi di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024

Artikel Trending

KhazanahPerspektifKontra-Radikalisme dan Disinformasi di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Internet telah melahirkan realitas kehidupan yang seolah tak terpisahkan dari manusia saat ini yang telah mengubah jarak dan waktu menjadi tidak terbatas. Melalui media internet, manusia dapat melakukan berbagai kegiatan yang di dunia nyata hampir sulit dilakukan, karena terbatas oleh jarak. Ia menjadikan segala kegiatan lebih mudah dan praktis.

Media internet saat ini memiliki banyak fungsi yang sangat membantu masyarakat memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat. Dalam media internet berkembang media interaksi komunikasi sosial yaitu media sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam dunia maya. Media sosial dan blog merupakan bentuk media sosial yang umum dan sering digunakan masyarakat di seluruh dunia.

Internet dan media sosial saat ini selain dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sarana informasi dan komunikasi, juga dapat dimanfaatkan oleh pelaku terorisme sebagai sarana propaganda menyebarkan paham radikal dan menjalankan aksi terorisme yang sangat meresahkan masyarakat.

Upaya pemerintah dalam penanggulangan terorisme telah memaksa pelaku teror untuk secara dinamis mengubah strategi dan modus radikalisasi secara tatap muka, kontak fisik secara offline menjadi penggunaan teknologi internet secara online.

Seiring dengan masa politik saat ini penggunaan internet dan media sosial penting peranannya serta banyak dimanfaatkan sebagai sarana propaganda dan penyebaran ideologi terorisme melalui disinformasi politik.

Hal ini sangat berbahaya dan dapat memengaruhi stabilitas keamanan negara, mempengaruhi masyarakat dengan terprovokasinya dan justru dapat terseret kepada paham radikal yang lebih dalam.

Propaganda dan Disinformasi

Penyalahgunaan internet cukup banyak ditemukan melalui penggunaan propaganda dan disinformasi politik mengingat saat ini merupakan masa politik. Direktur Pencegahan BNPT Irfan Idris mengatakan dalam media sosial, konten radikalisme memiliki ciri-ciri yang meliputi tiga hal, yaitu mengajarkan puritanisme, antipati pada sistem negara, serta intoleransi SARA.

Seperti pada akun Instagram @wienamakhanza, yang menjadi follower akun Salafi @onewaymuslim, melalui postingan foto hitam putih Cawapres Mahfud MD, dengan tulisan “KUHP baru tak larang LGBT, Mahfud: Itu kodrat tidak bisa dilarang”. Dengan postingan yang sama juga dibagikan di sejumlah grup WhatsApp dan Telegram milik kelompok teroris.

Selain itu, ada juga postingan narasi bahwa calon presiden Anies Bawedan menekankan pembahasan terkait kekhilafahan yang menampilkan gabungan dari potongan wawancaranya dengan media dari masa lalu. Hingga postingan berisikan pernyataan Ganjar Pranowo bahwa dirinya suka menonton film porno sejak kecil, yang dilengkapi foto yang bersangkutan di sebuah acara podcast artis ternama.

Pengamat terorisme Universitas Malikussaleh, Al Chaidar mengatakan bahawa sejak dulu kelompok Salafi Jihadi dan Salafi Takfiri tidak pernah mau berpartisipasi secara langsung dalam Pemilu. Di sisi lain, kaum mereka mendukung gerakan melalui penyebaran meme atau konten provokasi, baik di grup mereka yang tertutup dan terbatas atau di media sosial yang bersifat terbuka.

Hal Ini berbeda dengan kelompok Jama’ah Islamiyah yang lebih terbuka dan menyebarkan meme di media sosial kelompok mereka. Akan tetapi mayoritas konten yang menyebar luas merupakan terusan konten yang dihasilkan dari kelompok radikal. Masyarakat awam ini juga menjadi korban dari disinformasi dan misinformasi terkait konten yang disebarluaskan.

Sementara itu, kelompok teroris yang berbaiat pada Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) konsisten tidak mau terjun ke politik. Akan tetapi, kata dia, mereka tetap ingin menunggangi Pemilu untuk memuluskan agenda politik mereka mewujudkan negara khilafah, dengan melakukan provokasi di media sosial yang mengarah pada kekerasan dan merencanakan serangan-serangan.

BACA JUGA  Serangan Moskow: Bentuk Ancaman Terorisme Itu Nyata!

Sehingga motivasi dari kelompok tersebut bahwa kecil kemungkinan kelompok yang berbaiat pada ISIS ikut mencoblos ataupun menjadi simpatisan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu. Akan tetapi tujuannya yaitu melakukan provokasi dan turut menggiring opini masyarakat sehingga tercipta kegaduhan melalui konflik vertikal maupun horizontal.

Penanggulangan Radikalisme

Situasi nasional dan dinamika terorisme saat ini membutuhkan payung hukum yang lebih komprehensif. Terorisme tidak hanya mencakup serangan teroris dan pendanaan semata. Propaganda dan perekrutan teroris merupakan faktor yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan organisasi teroris.

Seperti telah diuraikan bahwa propaganda terorisme dapat berupa penyebaran kebencian, mempromosikan tindakan kekerasan, mempromosikan retorika teroris dengan memberikan dukungan kepada radikalisasi, penghasutan dan aksi kekerasan.

Penguatan mengenai ketentuan hukum terkait dengan penyebaran kebencian pasal 28 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat diterapkan melihat disinformasi semakin tidak terkontrol. Akan tetapi, dalam penerapannya, UU ITE merupakan UU khusus yang memiliki ranah aturan yang berbeda.

Mengenai jangka waktu penahanan dalam kepentingan penyidikan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat akibat terdapat kegiatan penyadapan yang merupakan tindakan sensitif karena merupakan pembatasan HAM. Oleh karena itu, perlu dibentuk regulasi mengenai legalitas penyadapan secara tepat sesuai UUD 1945.

Dalam upaya pencegahan penyebaran propaganda ideologi terorisme melalui media internet dapat dilakukan melalui pemblokiran terhadap berbagai situs di internet yang mengandung unsur propaganda terorisme.

Penggunaan instrumen diseminasi kontra-narasi melalui situs web dan platform media dapat dilakukan dengan sosialisasi muatan konten yang termasuk indikasi radikalisme sebagai upaya kontra-propaganda dan kontra-radikalisme.

Kesimpulan dan Saran

Penggunaan internet saat ini marak dimanfaatkan sebagai sarana propaganda hingga disinformasi mengarah kepada penyebaran ideologi radikal oleh kelompok terorisme. Saat ini media dengan maraknya informasi politik menjelang kontestasi Pemilu 2024 dapat digunakan sebagai akses dalam upaya penyesatan hingga penyebaran ideologi radikal di Indonesia.

Hal ini terus berkembang karena regulasi dan penegakan hukum di Indonesia hingga saat ini baru bisa melakukan penindakan terhadap serangan teroris dan pendanaan terorisme. Akan tetapi masih terdapat celah yang berkaitan dengan penggunaan internet dengan tujuan kelompok radikal atau teror yaitu propaganda dan perekrutan kelompok terorisme sehingga pelaku propaganda dan penyebaran ideologi radikal belum dapat dijerat menggunakan regulasi aturan hukum terorisme saat ini.

Untuk itu, perlu dilakukannya penanggulangan penyebaran propaganda melalui kerja sama pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi kendala teknis penanggulangan pemanfaatan internet untuk kepentingan teroris.

Selain itu, perlu adanya keterlibatan elemen masyarakat seperti tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk berperan aktif dalam pencegahan propaganda yang mengarah kepada disinformasi di tengah masyarakat.

Caranya ialah memberikan pemahaman berkaitan dengan ideologi bangsa Indonesia dan pemahaman tentang agama yang baik agar masyarakat yang ada di lingkungannya mengerti mana yang baik dan tidak terpengaruh terhadap propaganda dan penyebaran ideologi teror menjelang Pemilu 2024 bulan depan.

Denny Firdaus
Denny Firdaus
Sarjana Sosiologi Universitas Airlangga Surabaya, Penulis buku,Podcaster, Duta Wisata Jawa Timur.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru