28.2 C
Jakarta

Wahabi dan Ba’asyir; Propaganda Polarisasi Umat yang Harus Diwaspadai

Artikel Trending

Milenial IslamWahabi dan Ba’asyir; Propaganda Polarisasi Umat yang Harus Diwaspadai
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tulisan ini melanjutkan tulisan saya sebelumnya, tentang Gus Ipul dan Gus Miftah, elite NU yang jadi timses Prabowo dengan mengeksploitasi NU. Jadi, karena ulah Gus Miftah yang menuduh PKS sebagai Wahabi, hari ini banyak ujaran kebencian terhadap ulama-ulama NU yang mencoba berkoalisi dengan PKS. Gus Kautsar, yang terbaru, dicemooh karena bersalaman dengan elite PKS. Ada apa hari ini? Mengapa sekeruh itu?

Perlu ditegaskan bahwa saya bukan pendukung PKS. Pada tulisan yang lalu-lalu, saya bahkan mengatakan bahwa PKS itu secara genealogis berasal dari Ikhwanul Muslimin. Doktrinnya Salafi. Dalam konteks bahwa Salafi adalah penyumbang teroris terbesar, PKS merupakan partai yang harus diwaspadai. Saya percaya, ada sel-sel kecil dalam tubuh PKS yang rentan pro-kelompok radikal. Itu harus diakui dan diantisipasi gerakannya.

Namun, daripada PPP, PKS jauh lebih demokratis. Harus diakui juga, hari ini ia menjadi partai Islam satu-satunya yang tangguh dan konsisten dalam memperjuangkan agenda keumatan. Para elitenya juga banyak dari warga nahdliyin. Mereka tidak anti-NKRI, apalagi dicap Wahabi seperti yang Gus Miftah koarkan. Di antara partai-partai semi-sekuler yang tidak terlalu simpatik dengan Islam, PKS adalah satu-satunya yang jadi oposan.

Jadi, tuduhan timses Prabowo, Gus Miftah, itu tidak hanya menyesatkan tetapi juga meresahkan. Dampak dari itu adalah polarisasi umat, bahkan lebih spesifik polarisasi warga nahdliyin. Demi memenangkan Pilpres untuk junjungannya, Gus Miftah berusaha memecah umat Islam. Lalu bagaimana dengan Gus Ipul dan dukungan Ba’asyir? Jujur, Ba’asyir adalah dedengkot teroris yang harus dilawan. Tetapi, masalahnya tidak sesederhana itu.

Pemilu 2024 itu hanya pesta demokrasi sesaat. Rasanya tidak worth it ketika seorang tokoh agama membuat propaganda yang melawan persatuan umat. Untuk itu, yang akan saya tegaskan dalam tulisan ini adalah perlunya mawas diri dari propaganda manusia seperti Gus Miftah dan Gus Ipul. Polarisasi umat karena politik adalah sama bahayanya dengan terorisme, sama juga bahayanya dengan Wahabi ekstrem.

Wahabi-Terorisme Emang Bahaya

Semua teroris Muslim di dunia, selama ia didorong oleh doktrin ideologis tertentu dan bukan karena tuntutan eksternal seperti kesenjangan ekonomi, bermanhaj Salafi-Wahabi. Mereka anti-inklusivisme, anti-moderasi, dan anti-pluralitas. Keberislaman mereka dipenuhi oleh eksklusivisme dan bersifat emosional. Doktrin thaghut dan takfir merupakan pangkal yang memosisikan mereka sebagai ideologi yang berbahaya.

Di Indonesia, Wahabi dan terorisme termanifestasikan dalam beberapa kelompok. Yang paling masyhur ialah Jama’ah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan Jama’ah Ansharud Daulah (JAD) yang terafiliasi ISIS. Dua tokohnya yang masyhur adalah Abu Bakar Ba’asyir dan Aman Abdurahman. Sampai di sini, apa yang Gus Ipul sampaikan bahwa Ba’asyir berbahaya itu tidak salah. Rekam jejak Ba’asyir memang mengerikan.

Ba’asyir menjadi simbol terorisme tanah air. Ia telah mendirikan beberapa kelompok teroris sempalan JI. Namun yang perlu dicatat juga adalah bahwa Ba’asyir telah menjalani proses deradikalisasi yang panjang. Ia tidak seekstrem dulu, yang menunjukkan bahwa program deradikalisasi pemerintah berhasil. Tugas pemerintah selanjutnya ialah memastikan Ba’asyir sama dengan warga negara pada umumnya: memiliki hak sosial-politik setara.

BACA JUGA  Overdosis Ajaran Radikal Manipulatif di Media Sosial

Mengapa demikian? Sesuatu yang boleh jadi Gus Ipul tidak ketahui tentang kontra-terorisme adalah fakta bahwa tidak jarang teroris atau eks-napiter enggan menjadi warga biasa karena merasa tertolak dan teralienasi secara sosial-politik. Mereka putus asa karena masyarakat sekitar antipati, sehingga mereka memilih menjadi residivis setelah bebas dari penjara. Tentu, ini harus diantisipasi, sebagai bagian dari kontra-terorisme itu sendiri.

Dari situlah harus disadari bersama bahwa bersamaan dengan bahayanya Wahabi dan terorisme, propaganda polarisasi umat juga memiliki efek riskan yang tidak kalah besar. Apa yang Gus Miftah dan Gus Ipul koar-koarkan tidak boleh ditiru, karena mereka melakukan semua itu demi kepentingan politik sebagai timses Prabowo. Maka, PR bersama ke depan adalah mewaspadai dan mencegah polarisasi umat. Wajib.

Cegah Polarisasi Umat!

Polarisasi umat menjadi tantangan yang semakin mendesak di tengah gejolak menjelang Pemilu bulan depan. Eskalasi konflik antarkelompok masyarakat dapat merusak kohesi sosial, membahayakan stabilitas, dan menghambat kemajuan bersama. Karenanya, mencegah polarisasi umat menjadi tanggung jawab bersama yang memerlukan upaya sungguh-sungguh dari seluruh lapisan masyarakat, terutama umat Islam.

Salah satu langkah krusial dalam mencegah polarisasi umat adalah mendidik masyarakat tentang pentingnya toleransi di satu sisi dan bahaya propaganda politik di sisi lainnya. Pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, pluralisme, dan persatuan-kesatuan dapat membentuk generasi inklusif yang menerima perbedaan sebagai keniscayaan untuk dihormati.

Perpecahan adalah musuh bersama. Senjata utama Indonesia adalah persatuan dan kesatuan. Dalam konteks itu, media massa sebagai penyebar informasi dan pembentuk opini memegang peranan sentral. Media harus bertanggung jawab dalam memberikan informasi yang cover both side untuk mencegah polarisasi. Jurnalisme yang berkualitas, independen, dan etis menjadi langkah nyata dalam menjaga integritas kebangsaan.

Selain itu, perlu ada upaya bersama dalam membentuk ruang dialog antarkelompok masyarakat. Wahabi dan PKS, sebagai contoh, harus diselisik mendalam dan bukan melalui judgment subjektif. Semua itu untuk membangun pemahaman bersama dan mengatasi prasangka yang mungkin muncul, yang ujungnya adalah pertikaian. Lihat, misalnya, efek ulah Miftah dan Ipul di TikTok; mengerikan.

Lalu bagaimana cara mewaspadai propaganda polarisasi umat semacam itu? Tentu, ini bukan tugas satu kelompok atau individu, melainkan tanggung jawab bersama seluruh masyarakat—terutama Muslim. Indonesia mesti menjadi contoh bahwa keberagaman dapat menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Dengan begitu, kita dapat membentuk masyarakat yang inklusif, adil, dan damai, menuju Indonesia Emas di masa yang akan datang.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru