27.6 C
Jakarta

Kontestasi Moderatisme Islam di Indonesia

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanKontestasi Moderatisme Islam di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berbicara mengenai kelompok-kelompok Islam di Indonesia serasa tidak ada ujungnya, mulai dari kelompok yang disebut tradisionalisme, fundamentalisme, liberalisme dan isme-isme lainnya. Namun dari semua kelompok tersebut, jika dilihat dari segi pemikirannya, secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua model: tekstualis dan kontekstualis. Pemikiran tekstualis adalah tipe pemikiran yang dianut oleh kelompok Islam fundamental. Sedangkan kontekstualis adalah tipe pemikiran yang dianut oleh kelompok Islam liberal. Dua kelompok pemikiran tersebut, sejak kemunculannya hingga hari ini terus memicu perdebatan sengit yang tak pernah kunjung selesai.

Korelasi Fundamentalisme dengan Islam di Indonesia

Secara historis istilah fundamentalis sendiri muncul pertama kali di lingkungan agama Nasrani khususnya di Amerika serikat. Istilah fundamentalis menunjuk kepada bentuk-bentuk konservatif protestanisme yang pada umumnya mereka anti pemikiran modernis. Selain itu, istilah fundamentalis identik dengan interpretasi yang cenderung literal dan terbatas hanya pada teks-teks injil yang menekankan etika tradisional Kristen (tesktual).[1]

Setelah istilah fundamentalis lumrah digunakan dalam agama mereka, selanjutnya istilah fundamentalisme mulai masuk ke dalam agama-agama lain, termasuk Islam. Masuknya istilah ini ke dalam Islam masih dengan karakter yang sama yakni literal (tekstual). Analloginya, jika pada awalnya di lingkungan Nasrani hanya terbatas pada teks-teks injil sebagaimana dijelaskan di atas, maka ketika ia masuk dalam lingkungan agama Islam, jelas juga terbatas pada teks-teks al-Qur’an itu sendiri.

Fundamentalisme dengan pemikirannya yang tekstualis, pada gilirannya akan melahirkan gerakan ektremis  sebagai turunan dari fundamentalisme itu sendiri. Dan–sudah jamak diketahui masyarakat umum–gerakan ekstremis memang dan selalu identik dengan kekerasan.

Sebenarnya, baik gerakan ektremisme, maupun ektremis yang bernuansa agama, keduanya bukan hanya sebatas sebagai gerakan protes dalam menuntut keadilan di tengah kondisi sosial sebuah bangsa, akan tetapi ia juga merupakan hasil (produk) pemikiran, atau dengan kata lain ektremisme dalam konteks ini sebenarnya, juga merupakan reaksi dan wacana tanding (counter discourse) atas merebaknya pemikiran liberalisme. Artinya bahwa, kelompok ektremis berpandangan bahwa kelompok liberal beserta seluruh produk pemikirannya merupakan musuh yang harus diberantas dan diperangi. Hal ini dikarenakan kelompok liberal menurut kelompok ektremis merupakan anak kandung modernitas yang, menurutnya dapat membahayakan tidak saja eksistensi mereka namun juga eksistensi agama beserta ajaran-ajarannya.[2]

Islam di Indonesia dan Masuknya Aliran Liberal

Adapun kelompok Islam liberal kalau kita telisik sejarahnya, ia bukanlah hal baru dalam dunia Islam bahkan kelompok ini sudah ada sejak berabad-abad silam, pemikiran Islam liberal mencuat ke permukaan sekitar abad ke-18 saat kerajaan Turki Utsmani, Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada di pintu gerbang keruntuhan. Kemudian wacana tersebut masuk dan bergulir ke Indonesia yang saat ini akrab dikenal dengan istilah JIL (Jaringan Islam Liberal) dengan proses yang panjang akhirnya JIL tersebut resmi menjadi sebuah organisasi pada 8 Maret 2001.[3] Dalam segi atau corak pemikiran, Islam liberal merupakan lawan dari kelompok Islam fundamentalis, yakni sangat kontekstual, liberal (bebas) dalam artian tidak tekstual, toleran, berpikir terbuka, terutama terhadap sesuatu yang berkaitan dengan masalah-masalah agama dan politik. Artinya kelompok liberal ini dengan jargonnya tentang kebebasan, bukan berarti kebebasan yang absolut (bebas yang tak terbatas), akan tetapi kebebasan yang dapat dipertanggung jawabkan, kenapa demikian? Karena bagaimanapun bebasnya pemikiran kelompok Islam liberal mereka tetap mengacu pada kedua sumber primer Islam (al-Qur’an dan Hadis), hanya saja mereka lebih maju dalam menafsirkan Islam daripada kaum ekstremis yang cenderung kaku pada teks-teks al-Qur’an.

BACA JUGA  Ketika Negara Tidak Mau Ikut Campur Soal Agama

Dari sini dapat kita ketahui bahwa perbedaan pemikiran antar keduanya sangat mencolok pada aspek penafsiran, yang satu tekstualis (terpaku pada teks) sedangkan yang satunya lagi kontekstualis (menafsir teks melihat konteks), namun yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua di sini adalah bukan lagi siapa itu kelompok ektremis dan siapa itu kelompok liberal. Coba kita buang jauh-jauh pandangan yang demikian itu, seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa kelompok fundamentalis pada taraf tertentu dapat menghasilkan gerakan ektremis yang cenderung keras dan kasar dalam bertindak, dan hal ini terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, dan untuk meng-counter hal ini bukan lagi saatnya kita semakin membesar-besarkan pemikiran-pemikiran liberal, karena keduanya sudah terlanjur ada dan menjadi kelompok yang saling berhadap-hadapan (vis a vis). Sekarang yang terpenting adalah bagaimana untuk mendamaikan keduanya agar tidak saling mencemooh satu sama lain.

Mendamaikan Islam Tekstualis dan Kontekstualis

Adapun cara atau paradigma yang tepat dalam mendamaikan antara keduanya, salah satunya adalah paradigma Islam moderat (suatu paham yang tidak condong ke kanan dan tidak pula ke kiri), Islam moderat sesungguhnya merupakan sebuah bentuk pengejawantahan dari ajaran ahlussunah wal jama’ah yang di dalamnya ada konsep tawassut (di tengah-tengah), dalam artian tidak terlalu berlebihan (ghuluw) dan juga tidak terlalu kaku terhadap ajaran Islam itu sendiri, dengan kata lain Islam moderat seimbang dalam menggunakan dalil aqli (argumentasi rasional) dan dalil naqli (nash al-Qur’an dan al-Hadits).

Artinya dengan kata lain paham Islam di Indonesia bukan hanya menjadi penengah semata. Akan tetapi lebih daripada itu Islam moderat juga berdialog dengan baik, dan tidak kasar (radikal) melainkan dengan sikap rahmah (kasih sayang), jika keduanya (Islam fundamental dan Islam liberal) saling berebut makna dan saling mengklaim tentang kebenaran (truth claim) dari masing-masing paham dan ajarannya kemudian disertai dengan sikap yang berapi-api (memanas), maka peran yang paling utama daripada Islam moderat ini, tidak lain ialah bertugas untuk memberi air terhadap keduanya agar sama-sama merasakan adem (dingin dan damai). Air yang dimaksud adalah sikap dari Islam moderat itu sendiri, yakni ramah (menebar kebaikan dan kasih sayang) dalam berdakwah, berdialog, berwarga dan bernegara, yang semua itu dicover jadi satu dalam sebuah istilah Islam rahmatan lil alamin.

Kuri Andene, analis sosial-keagamaan

[1] Dwi Ratnasari, “Fundamentalisme Islam” , Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1 (Januari-Juni, 2010), 1.

[2] Nur Hidayat Wakhid Udin, “Kontestasi Antara Muslim Fundamentalis dan Muslim Liberal Dalam Perebutan Makna Sosial Keagamaan di Indonesia”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 8, No. 1 (Juni 2018), 181.

[3] Mohammad Ali, Islam Muda: Liberal, Post Puritan, Post Tradisional (Yogyakarta: Apeiron Philotes, 2006), 34.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru