33.2 C
Jakarta

Islam Moderat dan Penafsiran Konteks Indonesia

Artikel Trending

KhazanahOpiniIslam Moderat dan Penafsiran Konteks Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Istilah Islam moderat kerap didengungkan dan didengar, salah satunya oleh Yusuf Qardhawi yang mengangkat paradigma ini sebagai bentuk perlawanan terhadap paham-paham Islam radikal-ektremis.

Melalui pemikirannya, pelan tapi pasti Qardhawi ingin membawa Islam sebagai agama yang gagah dengan wajah baru yang toleran, moderat, dan adil tanpa menghilangkan prinsip-prinsip nilai intrinsiknya.

Intinya, berlebihan dalam beragama (tatharruf) bukan jalan yang bisa menyelesaikan persoalan, bisa saja sebaliknya yaitu menimbulkan ketakutan dalam beragama: islamofobia.

Dalam Al-Tawassuth wa al-I’tidal: The NU and Moderatism in Indonesian Islam, Ahmad Najib menganalisis secara sederhana, gerakan Islam moderat yang ada di Indonesia sebagai teologis yang terikat paten dengan doktrin Aswaja.

Mengingat istilah moderat pada umumnya diambil dari istilah Al-Qur’an, ummatan wasathan, sebuah konsep masyarakat yang ideal, penting untuk menanyakan penafsiran seorang Muslim sepanjang sejarah dalam membuat konsep paradigma yang lain untuk ummatan wasathan dalam konteks Indonesia saat ini.

Membaca Islam moderat di negara Pancasila yang pemimpinnya sering terjebak dalam kubangan politisasi agama. Setidaknya, harus memberikan keluasan makna terhadap masyarakat, menempatkan penafsiran tersebut pada konteks yang lebih umum dan universal, yaitu dalam konteks bernegara dan berbangsa.

Sikap moderat adalah sikap yang sangat ideal untuk dipraktikkan sebagai cita-cita luhur bangsa dan negara. Pemahaman tentang seruan Islam jalan tengah atau moderat yang pernah dilakukan oleh Komunitas Islam Indonesia di Britania Raya (Kibar) Gathering 2019 di Woodsley Community Centre, UK.

Mereka bersama pimpinan ormas Muhammadiyah telah memberikan contoh dan menuturkan secara halus sikap toleransi dan persaudaraan yang menjadi kendaraan untuk berlabuh mengarungi masa depan Indonesia. Dalam konteks sekarang, bagaimana cara-cara kita menghasilkan penafsiran yang lebih luas atas kata “Islam moderat” tersebut.

Makna Wasathan

Secara sederhana, Asma Afsaruddin (2009) memberikan interpretasi terhadap ini semua. Klasifikasi itu dibagi menjadi empat kategori. Islam jalan tengah adalah sikap yang diejawantahkan oleh setiap masyarakat yang tidak hanya terbatas pada pemeluk agama Islam, makna tersebut mencapai konsep negara dengan umat yang ideal.

Pertama, sikap adil itu sendiri, makna yang dikemukakan oleh para penafsir klasik, seperti Mujahid bin Jabr (wafat 104/722) dan Ibn ‘Abbas (wafat 68/687). Status ummatan wasathan membuat umat Islam bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan di muka bumi, menegakkan dalam arti bersikap adil menggunakan kekuasaannya.

Itu sebabnya, tanggung jawab harus dimiliki oleh setiap pemangku kebijakan, namun tidak menutup kemungkinan tafsir atas keadilan bisa dimaknai secara luas sebagai sikap yang wajib dimiliki oleh setiap masyarakat.

Contohnya ketika seorang pemimpin dihadapkan dengan hukum yang seolah-olah tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Seperti keadilan yang dipertanyakan kepada penegak hukum dalam kasus Novel Baswedan beberapa tahun lalu, dibandingkan dengan kasus hukuman yang menimpa nenek Asyani Situbondo, Jawa Timur, karena mencuri tujuh batang pohon jati, dan masih banyak kasus hukum yang lainnya, menyangkut masalah hak dan keadilan masyarakat.

BACA JUGA  Kebinekaan dan Langkah Mendesak Meredam Panasnya Konflik Elektoral

Kedua, toleransi, beberapa penafsir, seperti al-Tabari (w. 310/923) dan al-Wahidi (w. 468/1076), menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang berada di tengah-tengah, menggabungkan unsur baik Yudaisme dan Kekristenan dan membuang unsur buruk mereka. Indonesia lebih mengenal dengan sikap toleransi.

Islam adalah agama yang seimbang, tidak terlalu asketis seperti Kristen, juga tidak terlalu legalistik seperti Yudaisme. Ia berada di tengah, Muhammad Abduh (1905) menyebutnya: “The middle position makes that Muslim people do not lean towards the two extremes: excessiveness and deficiency (al-ghuluw wa al-taqsir)”.

Ketiga, sebagai komunitas yang paling baik (the best community/the best people) interpretasi dari para penafsir seperti al-Zamakhshari (w. 538/1143) dan Ibn Katsir (w. 774/1373) menyebutnya sebagai pusat atau umat pilihan.

Argumentasi ini selalu mendapatkan justifikasi dari Nabi bahwa khair al-umur awsathuha, sering dianggap sebagai yang berada di tengah-tengah yaitu perkara yang terbaik. Model seperti ini jika diartikan lebih jauh lagi adalah contoh agar Islam menjadi rujukan dan pedoman.

Keempat, menjadi pemimpin untuk tingkat yang lebih luas, manusia sebagai khalifah, dalam artian manusia menjadi pengendali di atas muka bumi agar bisa menyiarkan rahmatan lil ‘alamin.

Penafsiran terhadap ini misalkan seperti yang diusulkan oleh para mufasir modern seperti Sayyid Qutb dan Abul A’la al-Maududi. Manusia memiliki posisi sentral di antara bangsa-bangsa dan mengimplikasikan signifikansi peran politis atas kosmis yang lebih besar dari sekat-sekat bangsa dan negara.

Ummatan Wasathan dalam Konteks Indonesia

Di Indonesia sendiri, selama ini istilah ummatan wasathan memiliki makna yang sedikit berbeda dari interpretasi yang telah disampaikan di muka. Istilah tersebut di Indonesia secara komparatif merujuk pada komunitas Muslim dan orang-orang dari komunitas agama yang berbeda dan, dalam tiga interpretasi kultural sekaligus, memberikan status yang disukai umat Islam daripada umat beragama yang lain.

Di Indonesia, istilah tersebut diterjemahkan sebagai Islam moderat. Membandingkan antara komunitas ini dengan komunitas agama lain, status moderat komunitas ini dibandingkan dengan berbagai kelompok dalam Islam, yang biasa disebut Muslim liberal dan Muslim radikal.

Intelektual Indonesia seperti Azyumardi Azra, misalnya, atau Din Syamsuddin, menafsirkan Islam moderat sebagai titik tengah antara ekstrem-liberalisme dan ekstrem-islamisme. Pernyataan tersebut juga diakui oleh tokoh NU seperti Hasyim Muzadi, Said Agil Siradj, dan yang lainnya.

Memberikan makna bahwa Islam moderat bukanlah liberal atau fundamentalis. Maka menjadikan Indonesia yang moderat harus menyerukan pada konteks dan makna Islam moderat yang lebih luas dan lebih diterima sebagai prinsip. Wallahu a’lam.

Jamalul Muttaqin
Jamalul Muttaqin
Penulis Lepas

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru