31.3 C
Jakarta

Politisasi Identitas dan Komitmen untuk Menyudahinya

Artikel Trending

KhazanahPerspektifPolitisasi Identitas dan Komitmen untuk Menyudahinya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa pekan lalu ruang publik sempat dibuat ramai oleh tayangan azan di stasiun televisi yang menyertakan sosok Ganjar Pranowo di dalamnya.

Ganjar adalah salah satu Capres pada Pemilu 2024 yang tengah disiapkan oleh PDIP dan koalisinya. Tayangan azan itu sendiri menjadi ramai karena posisi politik Ganjar sebagai Bacapres Pemilu 2024, bukan karena faktor lain.

Maka tak pelak lagi, kasus itu sempat memicu reaksi publik dan mengundang pro-kontra di tengah masyarakat. Namun terlepas dari kontroversinya, kasus ini sebetulnya telah memberikan hikmah kepada kita perihal satu isu yang selama ini dicemaskan dan banyak diperbincangkan. Yakni isu politik identitas.

Ganjar, tak secara langsung tentu saja, seolah telah mengajak publik untuk “melawan lupa” perihal keterbelahan sosial yang pernah dialami bangsa ini sebagai dampak dari maraknya penggunaan politik identitas pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Dalam kaitannya dengan perhelatan elektoral, bangsa ini memang punya pengalaman pahit dengan isu politik identitas. Ia telah menorehkan luka sosial, yang sisanya bahkan masih terasa hingga saat ini.

Instrumen Pemenangan

Dalam perspektif akademik, identitas sesungguhnya bukanlah sesuatu yang menyeramkan. Ia setara saja dengan berbagai sisi natural kehidupan manusia yang dalam peradaban dan tradisi demokrasi wajib diberi ruang hidup dan dihormati. Misalnya perbedaan dan keragaman.

Identitas menjadi masalah ketika ia dikapitalisasi untuk kepentingan-kepentingan pragmatis berorientasi keuntungan kelompok, keluarga atau pribadi sambil mengabaikan kemaslahatan publik, kemaslahatan bersama.

Dalam kerangka perhelatan Pemilu upaya mengkapitalisasi ini kemudian dikenal dengan istilah politik identitas. Yakni penggunaan identitas primordial tertentu (yang paling sering adalah agama dan etnik atau ras) untuk kepentingan meraih dukungan pemilih dan memenangi kontestasi.

Tanpa bermaksud membuka luka lama, dan semata-mata untuk “melawan lupa” bahwa bangsa ini pernah nyaris terjerumus cukup dalam ke jurang bahaya, isu politik identitas dalam konteks perhelatan elektoral di Indonesia mengemuka secara serius untuk  pertama kalinya pada Pemilu 2014, kemudian berlanjut pada perhelatan-perhelatan elektoral berikutnya.

Sebagaimana bisa dilacak jejak digitalnya, pada Pilkada DKI 2017 isu politisasi identitas mengalami peningkatan tajam. Belum lagi melandai, di sepanjang waktu perhelatan Pemilu serentak 2019 isu politik identitas kembali muncul dengan tensi kegaduhan yang tak kalah sengit, bahkan memicu polarisasi di tengah masyarakat. Aspek identitas primordial yang menjadi titik tekan adalah agama dan etnisitas.

Jika merujuk pada perspektif akademik, Agnes Heller dan Donald Morowitz misalnya. Mereka melihat politik identitas sebetulnya hadir sebagai bentuk kesadaran individu untuk mengelaborasi identitas partikular (khas) dalam bentuk relasi identitas primordial, khususnya etnik dan agama. Dengan cara ini secara sosiologis suatu kelompok membangun soliditas internal, harmoni dan kesetiakawanan.   

BACA JUGA  Mengubur Egoisme Politik, Mewujudkan Indonesia Harmoni

Akan tetapi dalam praktiknya kemudian, gagasan politik identitas kerap mengalami transformasi menjadi instrumen politik untuk meraih kekuasaan dan/atau mempertahankan ststus quo oleh pihak-pihak yang saling berkompetisi. Dalam posisi sebagai alat untuk memenangi kontestasi kekuasaan, politik identitas dikapitalisasi secara vulgar dengan mengabaikan dampak sosiopolitik yang diakibatkannya.

Sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai hasil riset dan fenomena praksisnya strategi mengkapitalisasi isu-isu identitas sebagai salah satu faktor non-elektoral untuk meraih simpati dan memenangi kontestasi terbukti telah melahirkan kegaduhan dan pertengkaran di dalam masyarakat, baik di ruang-ruang digital maupun di dalam kehidupan nyata keseharian masyarakat.

Tidak sedikit dalam satu keluarga atau antar tetangga bertengkar lantaran beda dukungan dan pilihan. Lebih jauh dari sekadar gaduh dan bertengkar, tebaran isu-isu identitas yang dikapitalisasi dan kemudian memengaruhi persepsi dan perilaku elektoral para pemilih dari masing-masing kubu ini akhirnya mengarahkan masyarakat Indonesia pada situasi keterbelahan (polarisasi) sosial-politik di berbagai daerah.

Pemilu sejatinya memang merupakan ajang konflik politik untuk memperebutkan kekuasaan namun pelaksanaannya didesain demikian rupa hingga tetap berlangsung tertib, aman dan damai. Tetapi dengan merebaknya fenomena pengerasan dan eskalasi isu-isu identitas konflik dalam Pemilu menjadi tidak mudah dikelola dan dikendalikan.

Ikrar Bersama

Semua pihak tentu berharap Pemilu 2024 ini berlangsung dalam suasana fair, kompetitif dan demokratis, namun sekaligus tertib, aman, damai dan riang gembira. Minus penggunaan politik identitas sebagai alat pemenangan.

Biarlah identitas yang melekat secara natur dalam individu-individu dan kelompok-kelompok warga negara berhenti sebagai ciri khas, karakteristik dan kekayaan bangsa Indonesia saja. Jangan kemudian dikapitalisasi dan dipolitisasi sebagai alat untuk memenangi kontestasi.

Untuk itu diperlukan komitmen, ikrar bersama para pihak terutama para elite dari setiap kubu yang bertarung di arena Pemilu, baik partai politik maupun para pasangan Capres-Cawapres beserta tim pemenangan dan massa pendukungnya.

Ikrar untuk menolak dan tidak menggunakan lagi politik identitas dengan cara artikulasi dan bentuk ekspresi apapun, serta tekad kuat untuk meneguhi ikrar ini hingga hajat demokrasi nanti berakhir dengan tertib, aman, damai dan penuh keriangan.

Tanpa kesediaan membangun komitmen bersama dari para elit yang berkompetisi, politisasi identitas alias penggunaan politik identitas sebagai alat pemenangan kontestasi tampaknya masih akan sulit disudahi.

Karena berbasis pengalaman Pemilu 2019 silam gejala politisasi identitas ini justru dipicu dan dikapitalisasi lebih dulu oleh lingkaran elite sendiri. Mereka trendsetter-nya, publik pada umumnya hanyalah follower dari perilaku elektoral para elite yang didukungnya.

H. Dr. Agus Sutisna, S.IP., M.Si
H. Dr. Agus Sutisna, S.IP., M.Si
S3 Ilmu Politik SPs Universitas Nasional. Dosen Tetap FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang. Founder Yayasan Podium Pesantren Nurul Madany Lebak Banten. Anggota KPU Provinsi Banten 2018-2023.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru