31.2 C
Jakarta

Ilmuwan Perempuan di Balik Vaksin AstraZeneca

Artikel Trending

KhazanahPerempuanIlmuwan Perempuan di Balik Vaksin AstraZeneca
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tepat pada Maret 2020 lalu, Presiden Jokowi mengumumkan melalui berbagai saluran media bahwa Covid-19 sudah tersebar ke Indonesia. Dibuktikan dengan pasien 01 dan 02 yang saat itu dinyatakan positif Covid-19 dan semuanya perempuan.

Hinga saat ini, sudah dua tahun lebih, pandemi Covid-19 belum kunjung usai di negara ini. Terlebih sudah ada lima puluh ribuan lebih pertambahan kasus harian. Dan, sudah ada banyak korban jiwa, terhitung enam puluh sembilan ribu lebih.

Yang jelas, jiwa-jiwa yang hilang diakibatkan Covid-19 ini bukan sebatas angka. Di balik satu nyawa yang hilang, ada keluarga dan kerabat yang ditinggalkannya. Di balik angka-angka nyawa yang hilang, ada anak yang seketika itu menjadi yatim maupun piatu, putus sekolah, hingga harus menjadi tulang punggung keluarganya.

Untuk melawan virus Covid-19 yang telah memakan banyak nyawa tersebut, vaksin sangatlah diperlukan. Nah, di balik vaksin yang terbuat dari virus yang sudah dilemahkan yang berfungsi sebagai antibodi, terdapat sosok-sosok hebat dengan kelimuan yang dipunya. Sebuah vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Universitas Oxford, yakni AstraZeneca.

Sejauh ini, ilmuwan dikenal seorang laki-laki. Padahal, banyak pula ilmuwan perempuan yang sama hebatnya dengan para ilmuwan laki-laki. Termasuk, di balik terciptanya vaksin AstraZeneca, tak lepas dari peran para perempuan hebat di dalamnya.

Dame Sarah Catherine Gilbert, seorang ahli vaksinasi berkewarganegaran Inggris yang merupakan Professor Vaksionologi di Universitas Oxford. Ia juga salah satu pendiri Vacccitech. Selain itu, perannya  dalam pengembangan vaksinasi baru untuk melindungi manusia dari Covid-19 juga tak kalah penting.

Perempuan kelahiran Kattering, Northamptonshire pada April 1962, yang bisa disapa Gilbert ini menjadi pemimpin dalam pekerjaan mencari kandidat vaksin baru bersama dengan yang lainnya. Termasuk ilmuwan perempuan seperti  Teresa Lambe, dan Catherine Green, yang turut membantu dalam proses terciptanya Vaksin AstraZeneca yang saat ini juga digunakan di Indonesia.

Awalnya, uji klinis pada hewan  dilakukan pada Maret 2020. Kemudian, pada 27 Maret 2020, ada 510 peserta manusia direkrut  untuk dilakukan uji coba fase I/II. Nah, tepat September 2020, Gilbert menyatakan kalau vaksin AZD1222 sudah diproduksi perusahaaan AstraZeneca. Uji coba fase ketiga pun berlangsung pada September 2020.

Tepat 30 Desember 2020, Vaksin Covid-19, AstraZeneca, yang dikembangkan bersama dengan vaksin Oxford Group telah disepakati untuk digunakan di Britania Raya.

Gilbert yang dilahirkan dari seorang ibu yang bekerja menjadi guru bahasa Inggris dan anggota masyarakat opera amatir lokal, sedangkan ayahnya bekerja di bisnis sepatu, merupakan spesialis dalam pengembangan vaksin melawan influenza dan patigen virus, juga  pernah menjadi pemimpin dalam pengembangan dan pengujian vaksin influenza, yang melalui uji klinis  pada 2011.

BACA JUGA  Terabaikan dan Teralienasi: Peran Pemuda dan Perempuan dalam Kontra-Ekstremisme

Dikatakan, sedari Sekolah Menengah Atas (SMA), Gilbert berkeinginan bisa bekerja di bidang kedokteran. Setelah dinyatakan lulus dan mendapat gelar Bachelor of Science atau Sarjana Sains (penghargaan kelas satu atau first class honours) bidang ilmu biologi dari Universty of East Anglia di Norwich, Iggris, ia pun melanjutkan pendidikan doktor di University of Hull.

Setelah menyelesaikan pendidikan doktornya, Gilbert memperoleh pekerjaan di pusat penelitian pembuatan bir dan mempelejari cara memanipulasi ragi pembuatan bir.

Sebelumnya, Gilbert tak bermaksud menjadi spesialis vaksin. Namun, sekitar pertengahan 1990, ia terlibat dalam pekerjaan akademis di Universitas Oxford. Yakni melihat genetika malaria. Bermula dari situ, ia mulai fokus pada vaksin.

Tepat pada 1998, Gilbert melahirkan tiga anak kembar. Usai kelahiran ketiga anak kembarnya, pasangan Gilbert memutuskan meninggalkan pekerjaanya, kemudian fokus mengasuh anak-anaknya, dan juga mengurus urusan domestik di dalam rumah tangga mereka. Dan, pada bulan Maret 2021, Gilbert menerima anugerah penghargaan Albert Medal untuk jasanya dalam mengembangkan vaksin Oxford-AstraZeneca.

Di turnamen tenis bergengsi Wimbledon 2021 yang baru berakhir sekitar pekan lalu, nama Gilbert melambung kembali. Saat itu, para penonton memberikan standing ovaton pada salah satu ilmuan Inggris. Yakni Gilbert, yang disebut sebagai otak terciptanya vaksin Covid-19 dari AstraZeneca/Oxford. Yang saat itu menjadi salah satu penonton spesial yang turut diundang menyaksikan pertandingan Wimbledon di hari pertama, 29 Juni 2021.

Memang, panitia Wimbledon mengaku menyediakan  100 tiket harian untuk sosok yang berjasa selama pandemi Covid-19. Mereka ditempatkan di tempat terbaik, Centre Court dan Court One.

Kehadiran Gilbert saat itu pun diumumkan penyiar di stadion dan mendapat sambutan meriah dari penonton. Pun, upaya Gilbert dalam penanganan pandemi sedari awal juga tak luput dari perhatian media.

“Saya tidak menganggap tepuk tangan meriah itu hanya ditujukan kepada saya, itu adalah rasa terima kasih atas vaksin dan vaksin lainnya, dan tim yang mengujinya dan membuatnya dan menyebarkannya kepada orang-orang,” ujar Gilbert, dikutip dari beberapa sumber yang beredar di media.

Selain  itu, beredar pula pernyatan Gilbert yang melepaskan hak patennya sehingga vaksin tersebut bisa diproduksi dalam jumlah besar dengan harga murah. Sampai saat ini, Vaksin AstraZeneca  sudah berkontribusi sebanyak 500 juta dosis di seluruh dunia. []

Septia Annur Rizkia
Septia Annur Rizkia
Perempuan kelahiran Tuban. Salah satu anggota Puan Menulis.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru