27.3 C
Jakarta

Membaca ‘Uqudul Lujain dari Perspektif Filoginis Nusantara

Artikel Trending

KhazanahPerempuanMembaca ‘Uqudul Lujain dari Perspektif Filoginis Nusantara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, terdapat banyak ulama yang lahir, tumbuh, dan berkembang dari rahim ibu pertiwi. Mulai dari Walisongo yang berasal dari tanah Jawa hingga sederet nama dari berbagai penjuru daerah lain.

Selain tampil sebagai leader di masyarakat, mereka juga menunjukkan berbagai geliat akademik yang salah satunya adalah melahirkan karya tulis berupa kitab, baik yang berbahasa Arab maupun bahasa lokal.

Salah satu ulama yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri untuk keilmuan adalah Syekh Nawawi. Ia adalah ulama besar asal Indonesia yang mempunyai nama julukan sebagai Syekh al-Bantani.

Salah satu karya Syekh Nawawi al-Bantani adalah kitab berjudul ‘Uqudul Lujain. Kitab ini berisi tentang seluk-beluk pernikahan mulai dari hak, kewajiban, adab, hingga kisah-kisah inspiratif dalam kaitannya dengan relasi berpasangan. Sayangnya, kitab ini justru sering mendapatkan mispersepsi hingga sangat jauh dari cakupan isi yang sebenarnya.

Berbagai Mispersepsi

Ada dua mispersepsi terhadap kitab ‘Uqudul Lujain. Pertama, kitab ini dikategorikan sebagai salah satu dari kitab yang berisi tata cara berhubungan intim yang laki-laki sentris. Di mana perempuan selalu ditempatkan sebagai objek seksual laki-laki.

Di sisi lain, kitab Uqudul Lujain juga hanya diajarkan pada santri-santri senior. Sebab pendidikan tentang seksualitas, terlebih tata cara berhubungan seksual yang makruf dianggap sesuatu yang tabu di lingkungan pesantren.

Padahal pendidikan ini sangat penting disampaikan pada laki-laki dan perempuan di usia remaja. Supaya keduanya paham bahwa ia harus sama-sama menjaga tubuhnya supaya tidak diperlakukan jahat oleh orang lain. Terutama tubuh perempuan yang akan mengalami pengalaman biologis yang berbeda dengan laki-laki.

Lalu mispersepsi yang kedua ialah kitab ‘Uqudul Lujain sering dijadikan sebagai bahan argumentasi untuk mendiskriminasi perempuan dalam relasi yang patriarkis. Potongan-potongan tertentu dari kitab ini sering kali dikutip secara sembarangan untuk mendebat dan menundukkan perempuan dalam relasi yang misoginis.

Hal ini jelas sangat merugikan dan membahayakan perempuan. Sebab tidak sedikit laki-laki yang menggunakan dalil-dalil yang terdapat dalam kitab ‘Uqudul Lujain tersebut untuk memanipulasi serta melakukan kekerasan pada istrinya.

Fakta yang Diabaikan

Entah memang tidak sadar atau sengaja disembunyikan, kitab ‘Uqudul Lujain sebenarnya justru merupakan kitab yang sangat filoginis. Kitab ini memaparkan narasi-narasi positif terkait relasi berpasangan yang pro terhadap posisi perempuan yang kerap dipinggirkan.

Menurut saya kitab ini justru sebaiknya dinormalisasi untuk diajarkan kepada semua pihak bahkan sejak usia remaja, sebagai wujud pendidikan seks serta internalisasi nilai-nilai tanggung jawab dan adab relasi yang baik dan sehat.

BACA JUGA  Menelaah Film “13 Bom di Jakarta” dalam Perspektif Perempuan

Sebab ada beberapa fakta penting yang harus kita ketahui bersama tentang kitab ‘Uqudul Lujain.

Pertama, kitab ‘Uqudul Lujain berdasarkan urutan babnya, lebih mendahulukan pembahasan tema perempuan daripada tema untuk laki-laki. Selain itu, kitab ini juga mendahulukan untuk membahas hak daripada kewajiban bagi kedua belah pihak.

Itu artinya kitab ini justru mendorong suami dan istri untuk sama-sama diperlakukan dengan baik. Supaya hak-haknya tidak kurang sedikit pun.

Namun masalahnya, poin ini sering kali diabaikan, bahkan justru dilupakan oleh sebagian besar masyarakat. Yang ada justru hal populer yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari kita adalah tentang kewajiban istri pada suami.

Padahal jika dimaknai dengan perspektif mubadalah hak dan kewajiban yang ada di kitab ‘Uqudul Lujain tersebut bersifat timbal balik. Sebab suami dan istri sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai orang yang terikat dalam hubungan rumah tangga.

Kedua, ketika terdapat ayat dan hadis yang secara eksplisit seakan “menyudutkan” perempuan, Syekh Nawawi dalam kitab ‘Uqudul Lujain justru tampil memberikan tafsir dan penjelasan yang pro terhadap perempuan. Seperti pada ayat nusyuz, tepatnya pada pembahasan sanksi bagi perempuan yang nusyuz.

Ia memberikan pembahasan tambahan bahwa bentuk pukulan yang dimaksud adalah pukulan yang tidak menyakiti apalagi sampai melukai. Begitu pula, yang dimaksud mendiamkan dalam ayat tersebut adalah menghindari dalam urusan ranjang namun tidak boleh mendiamkan dan menghindari dalam berkomunikasi sehari-hari.

Ketiga, dalam ‘Uqudul Lujain terdapat banyak kisah ibrah dari umat terdahulu yang mengajarkan tata cara relasi yang sehat. Seperti relasi Nabi Ayyub dengan istrinya dan berbagai kisah lainnya. Kisah ini mengajarkan pembacanya dalam membangun relasi positif yang setara antar laki-laki dan perempuan.

Keempat, kitab ‘Uqudul Lujain banyak mengajarkan adab berelasi yang baik. Alih-alih mengajarkan cara berhubungan intim yang sering kali menggunakan sudut pandang laki-laki, kitab ini justru mengajarkan bagaimana saling menghargai, menghormati, memenuhi hak, serta menjalankan kewajiban antarpasangan.

Melihat empat fakta menarik di atas, saya melihat bahwa Syekh Nawawi Banten dalam ‘Uqudul Lujain menunjukkan bahwa ia adalah salah satu ulama Nusantara yang filoginis. Melalui karyanya, ia mematahkan stereotipe Islam sebagai agama yang patriarkis.

Oleh karena itu, kitab ‘Uqudul Lujain sebenarnya masih relevan untuk terus dikaji di pesantren. Hanya saja penafsirannya sudah harus mulai diubah, yaitu menggunakan perspektif yang ramah perempuan, alias filoginis, sebagaimana ulama Nusantara seperti Syekh Nawawi.

Wafiroh
Wafiroh
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru