34 C
Jakarta

Integrasi Perempuan sebagai Defence Frontline Kontra-Radikal Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifIntegrasi Perempuan sebagai Defence Frontline Kontra-Radikal Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com Terrorists, terrorism and counter-terrorism are products of a gendered yang dikemukakan oleh Laura Sjoberg and Caron E. Gentry dalam Women, Gender and Terrorism mengindikasikan kehadiran teroris, aksi terorisme dunia, dan penanggulangan aksi terorisme keseluruhannya adalah hasil jadi dari kehadiran gender dunia. Artinya, perempuan, dengan demikian, juga banyak terlibat.

Selain indikasi tersebut, penggunaan agama sebagai alat untuk propaganda kelompok terorisme yang eksis di dunia serta perbedaan ideologis pelaku etno-separatis dengan penggunaan agama itu sendiri telah menunjukkan peran yang berbeda untuk gender perempuan yang terlibat di dalamnya. Ini yang kemudian membuat perempuan dianggap—oleh kelompok radikalis—memiliki peluang dan tanggung jawab berkontribusi dalam perkembangan ideologi tersebut.

Para radikalis perempuan ini telah berpartisipasi dalam berbagai manifestasi aksi kekerasan (violent extremism) dan aksi radikalisme terorisme di dunia. Perempuan ini telah memainkan berbagai peran dan tanggung jawabnya—menurut  mereka para kelompok radikal terorisme—mulai dari sebagai fasilitator, perekrut, hingga menjadi frontline fighters dan suicide bombers.

Dukungan perempuan barat terhadap ISIS, baik didalam maupun di luar wilayah kekuasaan ISIS, diantaranya adalah melakukan rekrutmen, homemaking (pekerjaan rumah), financing (pendanaan), dan perencanaan serangan aksi terorisme. Sebagian dari mereka diberi peran yang sesuai dengan prinsip biner, namun sebagian dari mereka juga diberikan peran agresif bergabung menjaga stabilitas keamanan ISIS secara internal dan menertibkan wilayah domestik melalui kehadiran Brigade al-Khanssaa (satu-satunya milisi perempuan dibentuk ISIS tahun 2014 silam di Raqqa).

Para perempuan ISIS dalam sebuah penelitian Aaron Y. Zelin berjudul ‘A Jihad Without Fighting’ dikatakan sebagai “istri seorang mujahid dan ibu dari anak singa”, sebagai “guru generasi dan penghasil pria—gembala dalam dirinya, rumah dan bertanggung jawab atas kawanannya”. Narasi ini menguatkan peran perempuan feminis radikal untuk terus berperan dalam kelompok radikal terorisme ini.

Dari perspektif penulis, meski di Indonesia belum terdeteksi aktivitas para perempuan radikalis ini membentuk satu kekuatan besar seperti Brigade al-Khanssaa, namun sudah ada potensi para perempuan ini membuat penguatan internal untuk saling mendukung satu dengan yang lainnya (perkumpulan para ummahat).

Lebih lanjut, fenomena yang terjadi di Indonesia, tidak sedikit para perempuan radikalis berapi-api untuk mendukung para laki-lakinya berjuang memperjuangkan tegaknya daulah Islamiyah di manapun berada. Salah satu peran perempuan yang mendukung aksi radikalisme terorisme di Indonesia dilakukan oleh para perempuan terpapar yang terafiliasi oleh jaringan MIT (Mujahidin Indonesia Timur). Berikut diantara aktivitas atas peran perempuan tersebut:

  1. Jumiatun alias Umi Delima Ipa alias Latifah alias Bunga, alias Ade alias Askia (27 Tahun) adalah istri kedua gembong teroris Poso Santoso alias Abu Wardah (DPO Satgas Operasi Tinombala yang tewas dalam baku tembak dengan personel Satgas pada 18/07/2016) didakwa oleh PN Jakarta Utara pada 4 Mei 2017 karena terbukti secara sah melakukan tindak pidana Membantu menyembunyikan pelaku terorisme. Dakwaan tersebut diperkuat dengan adanya barang bukti berupa 26 (dua puluh enam) Bom terdiri dari 24 jenis pipa paralon dan 2 buah Bom dililit lakban coklat, 1 Senpi Organik pendek jenis Colt no.888713, 1 pucuk senjata api laras panjang M16. Dikutip dari Tirto, Jumiatun selama ini mendampingi Santoso selama di dalam hutan belantara Poso bersama DPO lainnya. Dari foto-foto yang didapat Satgas Tinombala, Jumiatun juga ikut dalam pelatihan-pelatihan di tempat persembunyian mereka dan membawa senjata laras panjang. Namun pada saat gelar perkara, Umi Delima tidak mengakui adanya dirinya mengikuti aktivitas pelatihan fisik tersebut.
  2. Tini Susanti Kaduku alias Umi Fadil (32 Tahun) yang merupakan istri Ali Kalora dan Nurmi Usman alias Oma (42 Tahun), istri Mohammad Basri alias Bagong. Baik Ali dan Basri, keduanya adalah “tangan kanan” atau pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) jaringan Santoso. Tini dan Nurmi dijatuhi hukuman masing-masing tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu, 5 Juli 2017 lantaran terbukti melakukan unsur pidana perbantuan, kemudahan, dan menyembunyikan informasi tindak pidana terorisme. Keduanya mengaku kepada aparat telah bergerilya menjalani latihan fisik menggunakan senjata api dan bahan peledak di perbukitan semasa pelarian diri mereka bersama kelompok MIT.
  3. Dari data yang diterima Liputan 6, Wanita berusia 43 Tahun bernama Siti Rugaya diamankan oleh Densus 88 di Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan pada Kamis (29/7/2021) pagi karena diduga menjadi perantara antara donatur kepada kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Ali Kalora di Poso, Sulawesi Tengah. Dirinya juga pernah mengirimkan uang senilai Rp20,2 juta kepada kelompok teroris MIT di Poso yang kemudian uang tersebut dipergunakan untuk membeli keperluan para anggota teroris yang dipimpin Ali Kalora itu. Selain itu, uang tersebut juga diberikan kepada para istri (ummahat) kelompok teroris MIT yang suaminya telah ditangkap dan sedang berada di
BACA JUGA  Kontra-Radikalisme dan Disinformasi di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024

Tiga contoh kasus di atas menunjukkan peningkatan varian peran dan tanggung jawab (versi mereka) para perempuan terpapar ini bermanifestasi tidak hanya proaktif mendukung para laki-lakinya bersembunyi, mengikuti pelatihan/i’dad, tadrib askariyah (latihan militer), namun juga pendanaan untuk aksi redikalisme terorisme. Mereka memiliki own willingness untuk melakukan seluruh hal tersebut secara sukarela.

Fakta ini bisa mendeskripsikan ketiganya masuk dalam kategori wives and sisters of radical men atau para istri dan saudara perempuan para laki-lakinya yang radikal. Kategori ini jauh dari representasi gender perempuan yang hanya sebagai seorang ibu, istri, atau saudara perempuan. Tapi lebih cenderung memiliki konektivitas peran perempuan sebagai female militans.

Para perempuan terpapar ini dalam perspektif gender, telah mengeksplorasi diri atas patriarchal order dalam masyarakat Muslim melalui berbagai jenis feminisme. Di dalam kelompok radikal, para perempuan ini adalah bagian dari ummahat atau kelompok rentan terpapar dan memiliki kontrol besar dalam hubungan internal keluarga serta kerap berkonsolidasi melalui medium kajian dam rumah singgah, saling menguatkan untuk terus meminta para suaminya yang telah tertangkap aparat tidak mengajukan Pengajuan Bebas bersyarat (PB) karena jika bebas bersyarat, para suami ini harus berikrar setia kepada Pancasila (dianggap murtad).

Limitasi atas kajian gender, perempuan, dan kontra terorisme di Indonesia dan dunia membuat pendekatan ini belum optimal dalam penyerapannya untuk penentuan kebijakan kontra dan deradikalisasi. Sehingga, perlunya impulsivitas untuk penelitian yang berkenaan dengan gender, perempuan, feminisme dalam kontra terorisme dan deradikalisasi pada tingkat nasional, regional, maupun global.

Selain menguatkan hasil penelitian dan diskusi terkait ini, perlunya memahami secara menyeluruh bagaimana para perempuan terpapar ini bisa bergabung dengan jihadist groups, berpartisipasi dalam konflik dan kekerasan yang berbasis radikal terorisme, akan mempermudah pembuat kebijakan mempertimbangkan aksi dan interaksi sebagai bagian dari “gendered process” dan pendekatan gender untuk kontra dan proses deradikalisasi.

Elizabeth Pearson, seorang Dosen Kriminologi di Royal Holloway, University of London tahun 2017 menegaskan bahwa ruang populer maya seperti Twitter sangat memfasilitasi para perempuan kelompok ISIS untuk melakukan radikalisasi secara online dan perekrutan perempuan lainnya tanpa batas. Mereka mengakui ruang maya ini bebas dari batasan gender yang dalam praktek di lapangan, banyak batasan para perempuan terpapar ini untuk meradikalisasi dan melakukan perekrutan secara offline.

Kemudian, Sofia Patel and Jacqueline Westermann (2018) dalam jurnalnya mengemukakan bahwa Women are at the heart of community activities, and their voices need to be heard. Untuk itu, terlepas dari pemerintah memiliki peran untuk membuat kebijakan, para think-tank dunia mengajukan alternatif.

Kita sebagai individu perempuan yang menyadari hal ini ada di tengah-tengah kita. Kita sebagai perempuan yang juga jantung dari berbagai aktivitas masyarakat, dan suara kita perlu didengar, bisa menggunakan our own willingness untuk menyuarakan peran perempuan dalam rangka kontra radikal di dunia maya khususnya di media sosial.

Pendekatan dan pemberdayaan perempuan untuk terus berkarya, menciptakan hal-hal positif dan bermanfaat untuk diri sendiri dan peradaban manusia ke arah perdamaian dunia. Dengan kata lain, jika Perempuan memiliki peran kunci dalam melakukan (perpetrating), perempuan juga memiliki peran dalam mencegah kekerasan (preventing violence extremism) dengan mendesain dan mengimplementasikan guna melakukan pendekatan deradikalisasi.

Berbekal UNSCR 2242 pada tahun 2015, yang menjadi dokumen penting terkait peran perempuan dan anak perempuan dalam melawan dan membantu terorisme dan ekstremisme kekerasan, diharapkan mampu mendorong pemerintah dunia untuk terus mengintegrasikan peran perempuan dalam proses deradikalisasi dan counter violence extremism.

Lebih lanjut, Edith Schlaffe’s research and grassroots programs adalah salah satu pusat informasi dalam menggunakan pendekatan kontra dan deradikalisasi yang menjadikan para perempuan—dalam hal ini ibu—menjadi defence frontline melawan radikalisme terorisme. Indonesia juga telah memiliki Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI dan berbagai lembaga kajian yang fokus membahas peran perempuan dan ancaman aksi terorisme telah cukup banyak menunjukkan kontribusinya dalam membahas dan menaikan isu ini di ruang publik.

Namun, jika ada satu saja program kerja sama yang kuat antara pemerintah dengan menggandeng seluruh stakeholders terkait dan pelaksanaan pemanfaatannya bisa kontinu, akan sangat bermanfaat untuk pemberdayaan gender perempuan dalam pengarusutamaan gender ini di Indonesia dan untuk mencegah dan melawan ancaman ekstremisme kekerasan dan terorisme.

Siska A., M.Han
Siska A., M.Han
Pengamat dan Analis Kajian Gender dan Kontra Radikalisme Terorisme

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru