29.2 C
Jakarta

Mengapa Orang Bisa Patriarkis Tanpa Mengakuinya?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanMengapa Orang Bisa Patriarkis Tanpa Mengakuinya?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pada suatu kesempatan ada seseorang yang berkata bahwa dirinya sama sekali tidak mendukung patriarki, namun pada saat yang bersamaan pula dia terjebak dalam lingkaran patriarki yang pekat. Dia meyakini bahwa dalam rumah tangga, perlu adanya kesalingan. Tetapi dia tidak menerima bahwa perempuan yang berumah tangga dan bekerja di ranah publik juga bagian dari kesalingan.

Nah, kalau ada perempuan lebih pintar, lebih famous, lebih sukses dari saya (laki-laki), terus dengan yakin perempuan itu berkata akan bisa menerima saya apa adanya, saya percaya itu sesat. Pasti suatu saat saya akan dikalahkan.” Dia meyakini bahwa dirinya tidak butuh pengakuan masyarakat tapi berdalih karena antisipasi ego perempuan yang naik ketika pasangannya tidak mapan atau lebih unggul dari dirinya.

Ada pula orang yang meyakini bahwa adanya pembagian pekerjaan rumah tangga sangat diperlukan agar perempuan tidak terbebani, tapi kalau ada perselingkuhan, yang paling gencar disalahkan masih tetap pihak perempuan.

Dua hal di atas adalah contoh dari patriarki. Sebuah konsep yang merujuk pada sistem sosial dan budaya di mana kekuasaan, kontrol dan pengaruh terpusat pada laki-laki, sementara perempuan dan gender lainnya sering ditempatkan dalam posisi yang lebih lemah. Perbedaan gender tentu bukan suatu masalah, namun menjadi masalah ketika terjadi ketidakadilan di dalamnya.

Salah satu aspek patriarki yang menarik adalah kemampuannya untuk tersamar dan tidak diakui oleh mereka yang mungkin secara tidak langsung mendukung atau mempraktikkannya.

Setiap orang sesungguhnya lahir sebagai anak kandung sistem patriarki. Namun kita bisa, bahkan harus, menjadi anak kandung sistem patriarki yang durhaka agar mampu adil pada laki-laki sekaligus perempuan,” ujar Bu Nur Rofiah pada forum diskusi konferensi internasional KUPI II.

Mengapa kita masih sering tidak sadar bahwa kita masih bersikap patriarkis? Kutipan Bu Nur Rofiah di atas sangat menarik untuk dijadikan refleksi agar kita berpikir lebih kritis.

Penolakan Kesetaraan Gender

Seseorang sangat bisa secara terbuka menolak ide kesetaraan gender namun tidak menganggap diri mereka sebagai pendukung patriarki. Mereka mungkin merasa bahwa gender memiliki peran yang ditentukan dalam masyarakat dan kesetaraan bisa menjadi ancaman terhadap nilai-nilai tradisional yang sudah ada. Misalnya, peran laki-laki sebagai pemimpin keluarga dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga.

Adanya penolakan terhadap kesetaraan gender kerap berasal dari keyakinan agama yang menjadi budaya. Misalnya, dalam agama, peran gender telah diatur secara tegas dan dianggap sebagai bagian dari warisan yang harus dijaga. Laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, seperti yang termaktub dalam QS. al-Nisa’ ayat 34.

Zamakhsyari, dalam karyanya yang berjudul Al-Kasysyaf mengemukakan bahwa keunggulan laki-laki adalah meliputi potensi nalar, ketegasan, semangat, kekuatan fisik, ketangkasan, dan keberanian. Selain itu, alasan lain yang menjadi faktor laki-laki menjadi pemimpin dalam keluarga adalah karena selama ini laki-laki yang sudah memberi nafkah.

Namun, menurut KH. Husein Muhammad, perempuan juga akan bisa dan mampu memiliki kelebihan di atas. Hal tersebut bukan sesuatu yang bersifat kodrati yang tidak bisa diubah. Kekuatan fisik misalnya, itu bukan sesuatu yang alamiah. Dengan berlatih, kekuatan fisik perempuan bisa menjadi lebih kuat.

BACA JUGA  Haruskah Mencintai Pasangan Apa Adanya?

Begitu pula dengan kemampuan nalar. Perempuan bisa memiliki kemampuan nalar yang cerdas apabila diberi ruang untuk mengakses pendidikan. Barangkali anggapan bahwa perempuan tidak bisa berpikir logis, bukan benar-benar karena lemah dalam berpikir. Boleh jadi karena mereka tidak mendapat akses pendidikan yang setara.

Kalau sebelumnya kita membahas tentang kemampuan nalar, contoh lain adalah persoalan nafkah. Selama ini, tugas mencari nafkah dibebankan kepada laki-laki. Namun kenyataannya, hari ini banyak perempuan yang menafkahi keluarganya, bahkan suaminya.

Oleh sebab itu, kepemimpinan laki-laki dalam keluarga bukan peran yang mutlak. Perempuan pun dapat menjadi pemimpin keluarga karena beberapa kelebihan yang menjadi alasan laki-laki sebagai pemimpin keluarga bisa dimiliki juga oleh perempuan.

QS. al-Nisa’ ayat 34 yang sering dijadikan acuan persoalan kepemimpinan laki-laki ini merupakan ayat yang mengabarkan tentang realitas sosial, budaya dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang berlaku pada saat itu. Karena ayat ini bersifat informatif, maka menurut KH. Husein Muhammad, konsep kepemimpinan keluarga yang terdapat dalam QS. al-Nisa’ ayat 34 tidak berlaku pada masa sekarang, mengingat realitas sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat sudah jauh berubah.

Ada pandangan bahwa kesetaraan gender dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam keluarga. Misalnya, beberapa orang khawatir bahwa jika perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk bekerja di luar rumah, hal ini akan meningkatkan jumlah perceraian atau menimbulkan masalah dalam hubungan keluarga.

Ketika seseorang menerima dan menyebarkan keyakinan bahwa perempuan lebih baik dalam pekerjaan rumah tangga atau meyakini bahwa perempuan yang lebih unggul dari laki-laki pasti akan menginjak-injak harga diri laki-laki, hal tersebut secara tidak langsung memperkuat sistem patriarki yang ada. Mereka mungkin tidak menganggap diri mereka patriarkis, tetapi mereka membantu mempertahankan norma sosial yang tidak adil gender.

Sosialisasi Gender

Selain penolakan kesetaraan gender, faktor lain yang menyebabkan mengapa seseorang bisa menjadi patriarkis tanpa menyadarinya adalah pengaruh kuat sosialisasi gender. Sejak lahir, masyarakat kita mensosialisasikan peran gender yang berbeda-beda kepada anak. Laki-laki diharapkan menjadi kuat dan dominan, sementara perempuan lembut dan patuh. Ekspektasi ini terinternalisasi secara tidak sadar sehingga menjadi otomatis.

Misalnya, ketika perempuan menjadi korban kekerasan, yang kerap disalahkan adalah pakaiannya atau seolah-olah hal tersebut terjadi akibat perempuan keluar malam.

Tidak hanya perempuan, bahkan ketika laki-laki menjadi korban kekerasan, bukannya prihatin malah sering mendapat komentar negatif “Menang banyak dong, lakinya!”. Seakan-akan laki-laki tidak mungkin mendapatkan tindakan kekerasan hanya karena dianggap lebih kuat. Patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tapi siapa pun yang dilemahkan.

Selain sosialisasi gender yang masif sejak dahulu, adanya bias gender juga dapat memengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. Seseorang cenderung berperilaku sesuai dengan norma sosial yang ada dalam masyarakat. Jika norma sosial mencerminkan bias gender dan nilai-nilai patriarki, maka kecenderungan untuk mengikuti norma tersebut akan ada tanpa disadari. Seperti halnya menganggap tindakan seksis yang merendahkan orang lain sebagai lelucon.

Seseorang yang mendapatkan manfaat dari patriarki mungkin tidak menyadari hak istimewa yang mereka nikmati. Privilese ini bisa membuat mereka kurang peka terhadap kesenjangan gender yang ada.

Jadi, yakin kamu sudah tidak patriarkis?

Fatwa Amalia
Fatwa Amalia
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru