28.8 C
Jakarta

Ibarat Berenang di Lautan: Perlawanan Perempuan Palestina dalam Okupasi Israel

Artikel Trending

KhazanahTelaahIbarat Berenang di Lautan: Perlawanan Perempuan Palestina dalam Okupasi Israel
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Salah satu kelompok yang paling dirugikan dalam konflik Israel-Hamas yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, perempuan adalah kelompok yang memperoleh beban kerugian berlipat dari adanya konflik. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya perempuan yang menjadi korban. Data terbaru, pada selasa (7/11/2023) sebanyak 2.641 wanita yang meninggal. Di antara banyaknya korban yang berjatuhan itu, terdapat masalah-masalah lain yang dialami oleh perempuan menghadapi kehidupan terjal sebagai perempuan.

Seperti yang kita ketahui bahwa, dalam kondisi perang, perempuan acapkali mendapatkan perilaku yang sangat diskriminatif, mulai dari diperkosa, hingga ketiadaan akses untuk memenuhi kebutuhan biologis keperempuanannya. Dalam konteks ini, perempuan Palestina terpaksa meminum pil untuk mencegah menstruasi karena tidak ada tempat untuk sanitasi yang layak, termasuk air. Bahkan pemabalut hingga tampon tidak ada. Mereka meminum pil norethisterone, yang biasanya diberikan pada perempuan yang punya endometriosis, sakit berlebih, dan pendarahan. Pil ini bisa menghindari rasa tak nyaman dan sakit dari menstruasi.

Atas dasar masalah ini, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi tidak berhenti menyuarakan penderitaan para perempuan Palestina. Menurutnya, sangat penting untuk lebih memperhatikan hak-hak perempuan. Artinya, bantuan yang diberikan oleh pihak luar, harus juga mempertimbangkan kebutuhan biologis perempuan. Kesadaran bahwa, fisik laki-laki berbeda dengan perempuan akan berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan para korban melalui pendekatan inklusif bagi semua kelompok.

Pelanggengan Fungsi Rahim Perempuan

Kondisi perempuan di Palestina sangat mengkhawatirkan. Selain hidup dalam kondisi darurat yang belum mendapatkan ruang aman di negara sendiri, pemerintah Palestina mendorong peran perempuan untuk melahirkan dan membesarkan anak. Istilah konsep ibu Palestina, memiliki makna politik bagi posisi perempuan dalam politik dan dianggap sebagai tugas nasional bagi perempuan untuk melakukan perlawanan terhadap Israel.

Artinya, fungsi perempuan dalam konteks ini ditekankan sebagai mesin produksi yang akan memproduksi anak sebanyak-banyaknya sebagai melakukan perlawanan terhadap Israel. Peran biologis ini dianggap sebagai senjata paling ampuh untuk menunjukkan esksistensi Palestina, dengan hadirnya banyak generasi bagi Plaestina. Tidak hanya itu, ibu Palestina juga tidak mendapatkan ruang yang cukup nyaman untuk membesarkan, mengasuh anak mereka. Impian untuk bersama dengan anaknya, memberikan kasih sayang yang sangat besar, hanya ada bayangan karena kondisi perang yang tidak berkesudahan. Mereka harus melepas dengan rasa ikhlas, ketika anak menjadi korban dari kekejaman zionis Israel.

BACA JUGA  Pendidikan Demokrasi di Lembaga Pendidikan Islam: Upaya Preventif Penyebaran Khilafahisme untuk Anak Muda

Dengan kenyataan ini, kita memahami bahwa perempuan menerima beban berlapis secara fisik juga psikologis yang tidak disadari oleh para perempuan di Palestina. Ibarat berenang di lautan, para perempuan di Palestina dihadapkan dengan lautan yang sangat dalam, dan tidak pernah tahu kapan sampai pada ujung. Bisa jadi, mereka juga tenggelam kemudian mati lantaran terkena bom, atau kalaupun hidup, peran biologis yang dimilikinya harus dimanfaatkan untuk memproduksi anak, memenuhi tugas nasional yang secara tidak langsung, diberikan oleh pemerintah Palestina.

 Mereka dipaksa untuk kuat dalam keadaan perang, dengan segala beban berlapis. Sementara itu, beberapa perempuan lain juga ikut berperang untuk melakukan perlawanan terhadap Israel. Michelin Awwad misalnya. Perempuan Palestina di tahun 1980-an pada Gerakan Intifadah ikut melempar batu tentara Israel. Antara tahun 1929 sampai dengan 1947, perempuan Palestina terlibat dalam perjuangan nasional bersama dengan laki-laki. Para perempuan ini terlibat dalam demonstrasi, kongres, memorandum, penyelundupan senjata, pertemuan dengan pejabat pemerintah, penggalangan dana untuk mendukung tahanan, dan memberikan bantuan bagi yang terluka dalam konflik. Okupasi Israel di Palestina melegitimasi perempuan Palestina untuk melakukan perlawanan, sehingga mereka memiliki peran publik, dapat menunjukkan ekspresi politik, dan identitas gender.

Segala jenis perlawanan yang dilakukan oleh perempuan dalam konflik yang sangat panjang ini, sudah dilakukan sejak tahun 1921. Hal ini bisa dilihat dari adanya Persatuan Perempuan Palestina yang dibentuk di Yerussalem. Para perempuan sudah lama melakukan aksi turun ke jalan bersama dengan laki-laki untuk melakukan protes terhadap kondisi yang terjadi. Keberadaan perempuan untuk melakukan perlawanan dalam masa konflik, secara langsung menunjukkan hadirnya perempuan dalam ranah politik.

Sampai hari ini, perempuan di Palestina juga sama, aktif melakukan perlawanan secara langsung ataupun tidak langsung untuk memperjuangkan negara dan bangsanya yang sudah dijajah oleh Israel. Sekali lagi, posisi mereka seperti berenang di lautan, yang tidak menggunakan peralatan berenang. Bisa jadi mereka tenggelam lalu mati, seperti terkena bom atau serangan dari Israel, ataupun masih hidup dengan terus berenang di laut yang dalam, tanpa tahu kapan sampai dengan kondisi kehidupan yang tidak memberikan keamanaan bagi dirinya serta kondisi biologis yang dimiliki. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru