27.2 C
Jakarta

HUT RI 76 dan Kepak Sayap Penderitaan

Artikel Trending

Milenial IslamHUT RI 76 dan Kepak Sayap Penderitaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Hajatan (merayakan) Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-76 Indonesia (sudah) dilarung. Ada (orang) yang giat menyusun argumentasi di koran, majalah, jurnal, dan lainnya, untuk masa depan Indonesia gemilang. Ada yang merangkai lewat agenda lomba-lomba untuk mengingat, mensyukuri, demi mengeratkan persaudaraan sesama—agar tak menjadi bangsa yang terbelah. Ada banyak hikmat yang ingin disematkan kepadanya.

Pandulum spirit memperingati kemerdekaan Indonesia membuncah (tentu tak ingin dianggap sekedar seremonial belaka). Ia ingin menggerakkan wacana persatuan “bahwa Indonesia milik kita bersama”, atau seperti dipuisikan D Zawawi Imron, “Tanah Indonesia adalah sajadah kita”, dan karena itu harus dirawat dan dijaga.

Bukan Seremonial Belaka

Pada hari-hari yang kian sesak ini, kita perlu jeda. Menepi-menghayati-merenungi kembali peristiwa sedu-sedan sejarah pergolakan Indonesia menjadi negara-bangsa. Bertafakur dan menimbang kembali makna di baliknya agar tak terjadi seperti perkataan Karlina Supelli, karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia menggelana di tengah kabut.

Kita perlu kerja keras, bahu membahu kepada sesama, supaya rasa persaudaran tak hilang atau seperti kata Yudi Latif, kehilangan Indonesia. Serat etis ke-Indonesia-an perlu dipupuk, menjadikannya semangat kemerdekaan sejati dari warga yang cerdas. Warga yang idealis dan tak rapuh menjunjung persaudaraan sesama makhluk: manusia, hewan, tumbuhan, bumi, udara.

Memberdayakan Proklamasi

Kita masih ingat peringatan keras dari pendekar proklamator, “dalam perjuangan kemerdekaan, di seluruh negeri, kita yang kelihatan hanyalah kesukaran, kekurangan, kemalaratan… dan dengan kehendak membulat menjadi satu, ketetapan hati yang menjadi satu, tekat membaja menjadi satu, seluruh bangsa kita bangkit, bergerak, berjuang untuk membenarkan, mewujudkan proklamasi 17 Agustus itu”, kata Bung Karno.

Petuah itu, butuh spirit-mental yang membaja dari berdayanya negara-bangsa (lebih-lebih pengambil kebijakan) dan tak mau/boleh dibajak oleh kekuatan-kekuatan yang ada: oligarkis. Karena, kemerdekaan sejati adalah yang tak mau didikte atau harus menjadi diri kemerdekaan itu sendiri.

Menurut Fkanklin Delano Roosevelt Jr (mantan pengacara senior dan Presiden ke-32 Amerika), ukuran kemerdekaan dilihat dari freedom of specch (kebebasan megeluarkan pendapat), freedom of religion (kebebasan menjalankan agama), freedom of fear (bebas dari kemiskinan dan kekurangan). Atau, sekurang-kurangnya dalam apapun, merdeka karena kebebasan berhak (liberte), kesetaraan (egalite), dan pemenuhan hak serta kewajiban (fraternite).

Artinya, dengan kata lain, di atas prinsip yang menyongsong dasar negara modern (demokratis) yang menyatakan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” ini, setidak-tidaknya harus tercipta dan wajib menghendaki bahasa/cita-cita paripurna yang ditabiatkan sejak dulu kala: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Karena, teks proklamasi yang dibacakan setiap HUT Kemerdekaan Indonesia (kini 76 tahun) menghendaki demikian.

BACA JUGA  Menakar Jebakan Isu Pemilu Curang dari Kelompok Ekstrem-Radikal

Kepak Sayap Penderitaan

Dalam buku Makrifat Pagi: Percik Embun Spiritualitas di Terik Republik (2018), Yudi Latif mempertanyakan spirit proklamasi kita: “Masih adakah semangat membangun negara di antara kita?” Bila masih ada alim ulama mengingatkan kebangkrutan moral, aparat pembasmi korupsi mulai beraksi, pemilu dan pilkada relatif damai, tentara melepaskan aktivitas niaga, pendidik rela berupa rendah, lembaga-lembaga pemantau bersih tumbuh, media massa giat beberkan kebobrokan, pengamat aktif mengkritisi, sepercik girah membangun/memerdekaan negara-bangsa, pasti ada. Begitu jawabnya.

Tetapi, menurutnya, kita masih melihat dan menyaksikan adanya ketimpangan serius dalam pembangunan di seluruh lini. Meski sejak tahun 1956, Bung Karno dalam amanat Proklamasinya telah mengingatkan bahwa bangsa Indonesia telah melampaui dua taraf perjuangan: taraf revolusi senjata dan taraf mengatasi sebab-akibat perjuangan senjata. Dan dia mengingatkan (lagi) tangga taraf selanjutnya yang menentukan harapan masa depan bangsa, yakni taraf menanamkan modal: investasi material, investasi manusia, investasi mental.

Sementara, dari sorotan Yudi Latif, pembangunan Indonesia yang terjalani selama 50 tahun lebih, terlampaui (hanya) menekankan investasi material; kurang sungguh-sungguh menggalakkan investasi manusia, bahkan cenderung mengabaikan investasi mental atau seperti kata Radhar Panca Dahana, tak mencipta pabrik inovasi budaya baru.

Akibatnya, dambak tragis dari itu, pemerintah untuk memimpin dengan cara (mendomenasi/mengabaikan) seluruh dimensi kehidupan rakyatnya itu (tetapi tak serius), adalah lumpuh. Karena, dengan seluruh perangkat kekuasaan yang ia (merasa) miliki, perihal ekonomi dan demokratis yang justru menjadi salah satunya ukuran kehormatan negara-bangsa dan merendahkan penghargaan pada segi-segi intelektual yang diikuti bencana moral yang parah. Dampaknya, negara-bangsa kehilangan sosok pemimpin panutan dan terjadi seperti yang disebut Yudi Latif mengalami krisis keteladan pemimpin.

Padahal, pencapain tertinggi pemimpin, seperti dikatakan Viktor Frankl, bukan kehendak untuk bersenang atau untuk berkuasa tetapi dalam pencapain kehendak menemukan makna. Dan maknanya, George Orwell mangatakan, kemarin dan hari esok ditentukan hari ini.

Hari ini, dalam riuh karnaval pesta kemenangan: pilpres dan Kemerdekaan ke-76, para elite politik Tanah Air hanya berpikir tentang jatah dan berebut kursi kekuasan, seolah-olah tak memikirkan bagaimana memajukan bangsa ini kedepan. Seolah-olah tak memikirkan nasib rakyatnya yang kelaparan. Yang ada hanyalah memikirkan bagaimana bersilat ildah, berpakain adat yang terlantar, dan memasang baliho besar-besar di atas derita berdarah-darah rakyat Indonesia.

Dua mata kita melihat, rakyat miskin kita yang kena bencana, ditelantarkan negara, seperti terjerat dalam perbudakan baru, dalam bentuk sistem politik murahan dan investasi (kerakusan) kekuasaan. Tetapi, kita (merasa) bergembira saja merayakan HUT Kemerdekaan ke-76.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru