32.7 C
Jakarta

Refleksi HUT RI Ke-76: Pentingnya Peran Pesantren Membendung Terorisme dan Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifRefleksi HUT RI Ke-76: Pentingnya Peran Pesantren Membendung Terorisme dan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Allah SWT telah memberikan nikmat kepada kita sehingga masih bisa merayakan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-76 meskipun dalam kondisi Pandemi Covid-19. Realisasi nilai-nilai kemerdekaan harus dapat dirasakan oleh semua kalangan dan lapisan masyarakat. Kemerdekaan dari berbagai segmen termasuk “merdeka” negeri ini dari paham yang menyebabkan rasa cemas termasuk bebas dari radikalisme.

Timbulnya radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah bagi masyarakat terutama generasi muda. Penyebaran paham radikal sudah sampai pada generasi muda yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi dan umumnya berasal dari pondok pesantren.

Penyebaran paham radikal di tingkat perguruan tinggi sangat marak. Kebanyakan dari generasi muda yang terjerumus oleh paham-paham radikal saat masih bersekolah kurang dibekali pengetahuan keagamaan dan rasa cinta tanah air, sehingga mudah direkrut untuk dijadikan anggota kelompok jaringan terorisme. Jelaslah bahwa terorisme sebuah fakta yang terjadi di Nusantara ini.

Kata “terorisme” berasal dari kata “teror” menurut arti bahasa Arab disebut dengan istilah “irhab”. Kamus Al-Munawwir mendefinisikan Rahiba-Ruhbatan, wa ruhbanan, Wa rohabban, Ruhbanan sebagai khaafa “takut”. Kata Al-Irhab diterjemahkan dengan intimidasi. Terorisme berarti menakut-nakuti (to terrify), kata ini berasal dari bahasa Latin, Terere yang diartikan dengan “menimbulkan rasa gemetar atau cemas” (Masyhar, 2009 : 57).

Sedangkan berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia, dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

Maksud unsur-unsur terorisme adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis untuk menghancurkan kedaulatan negara dengan kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain. Atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.

Terorisme merupakan istilah yang sudah sejak lama dikenal dalam masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Istilah terorisme menjadi sangat populer setelah kasus teror terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) New York, Amerika Serikat, pada 11 September Tahun 2001 yang menewaskan 2.752 orang (Masyhar, 2009 : 41). Sedangkan di Indonesia, kasus bom pernah terjadi beberapa kali, salah satunya adalah tragedi Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menewaskan kurang lebih 200 korban jiwa.

Tentunya penting pendidikan berbasis anti-terorisme di era 4.0 seperti saat ini. Esensi dari pendidikan ini merupakan pendidikan yang anti terhadap segala bentuk kekerasan. Baik kekerasan langsung (direct violence) ataupun kekerasan tidak langsung (indirect violence). Budaya kekerasan dengan ragam bentuk sebenarnya bertentangan dengan spirit pendidikan yang senyatanya bertujuan untuk memanusiakan manusia, khususnya pendidikan agama yang senantiasa menyeru kedamaian (rahmatan lil ‘alamin).

Pendidikan anti-terorisme merupakan sebuah upaya membimbing seseorang atau kelompok untuk melawan tindakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan publik. Pendidikan anti terorisme memiliki fungsi sebagai media pembentukan akhlak, etika, ataupun karakter peserta didik yang dapat dijadikan sebagai alternatif solusi untuk mencegah bahkan menghilangkan aksi-aksi terorisme yang muncul sebagai akibat dari gerakan radikal Islam.

Tujuan dari pendidikan anti terorisme ialah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman sedini mungkin bagi masyarakat melalui pelajaran yang ada di sekolah dasar hingga perkuliahan termasuk lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren.

Pendidikan anti terorisme dapat diberikan dengan cara disisipkan pada kurikulum mata pelajaran agama ataupun kewarganegaraan yang bersifat fleksibel, maupun melalui kegiatan ekstrakurikuler berupa pendalaman materi dan seminar. Strategi implementasi meliputi pemberian materi yang sesuai kebutuhan di setiap tingkatan pendidikan, kemudian konsep yang matang dan penganggaran uang dalam menunjang terwujudnya gagasan.

BACA JUGA  Pancasila: Fondasi Bangsa untuk Melawan Ideologi Radikal Pemecah Persatuan

Pendidikan anti terorisme dapat dilakukan melalui dunia pendidikan pesantren. Kita mengetahui bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara bahkan dunia, selama ini dalam realisasinya telah memberikan kontribusi dalam merawat Islam di Indonesia dengan damai, tolen dan inklusif. Menurut dia peristiwa atau gerakan-gerakan yang bernuansa kekerasan selama ini terjadi bukanlah kultur asli Indonesia melainkan impor dari luar negeri.

Pesantren dengan santrinya dan kitab kuning sebagai rujukan utama dalam kajian kesehariannya, lebih menggunakan pendekatan kontekstualis dalam memahami teks, apakah itu dari Al-Qur’an, sunah, atau dari kitab kuning, para santri mampu mendialogkan antara teks dan konteks, antara sisi historis dari teks dan bentuk kontekstualisasi dari penerapan teks tersebut di zaman yang lebih kekinian. Itu artinya bahwa kelompok afiliasi terorisme sering kali tidak mengerti tentang aspek-aspek historis dari kemunculan doktrin agama.

Umpamnya, dalam kajiannya, para santri lebih memaknai istilah jihad siyasah dalam konteks keindonesiaan. Karena memang penerakan sistem bernegara di Indonesia, sudah sangat dekat dengan cita rasa Islam. Seperti prinsip demokrasi dengan musyawarah, prinsip berketuhanan, berkeadilan, atapun cita-cita kesejahteraan bersama, tidaklah menyalahi aturan Islam yang baku, justru memiliki makna yang searah.

Tidak sebagaimana teroris yang bahkan dalam memaknai sistem pemilu tak lebih sebagai al-intiqaf fi al-islam, pemilu yang haram. Hal ini berbeda dengan sebagian kelompok yang mendegungkan khilafah dalam memahami persoalan ini. Memahami teks termasuk kitab kuning yang juga mereka pelajari secara harfiah, parsial, dan hanya melihat apa yang nampak dipermukaan.

Jadi dasar epistemologi yang mereka pakai hanyalah melalui prinsip epistemologi bayani, yakni suatu pandangan yang hanya berdasarkan pada teks semata dan hanya melalui teks sajalah segala sesuatu dapat dijelaskan. Juga mereka tidak peduli betapa akal dan intuisi sangat berperan dalam memahami segala sesuatu.

Justru landasan epistemologi yang berbasis pada akal dan intuisi, dianggap tidak orisinal dan dapat meracuni cara pandang yang murni terhadap teks keagamaan. Mereka lebih menggunakan standar epistemologi yang keliru dalam memahami agama.

Sebagai negara timur, kita mengatahui bahwa budaya kekerasan bukan bagian dari karakter masyarakat Indonesia. Sejak dulu Indonesia memiliki keanekaragaman tetapi tetap menjaga kedamaian tidak terlepas dari peran pesantren.  Pesantren secara masif mengajarkan Islam yang damai dan tidak keras. Santri dan santriwatinya selama ini mampu mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari melalui kitab-kitab seperti kitab kuning untuk disiarkan kepada masyarakat.

Substansi di dalam kurikulum Pesantren juga mengajarkan Islam moderat secara tidak langsung menjadi penyangga Indonesia. Karena selama ini Indonesia pernah dan masih menjadi target kelompok terorisme. Alumni pesantren secara langsung maupun tidak langsung berperan menjadi agen Islam moderat. Mereka telah menyebar baik sebagai pengurus organisasi masyarakat maupun pejabat dan dapat berperan apapun demi menjaga kedamaian bangsa.

Kemerdekaan yang telah diraih seperempat abad lebih. Kita harus mengakui bahwa kehadiran pesantren dengan ulama sang nahkodanya dalam masyarakat baik melalui majlis ilmu, zikir maupun dakwah lainnya secara tidak langsung ikut mencegah paham terorisme di Nusantara. Pesantren merupakan laboratorium di mana tempat memperbaiki segala hal yang tidak baik dan akan melahirkan sosok yang berintegritas secara keilmuan dan menjunjung tinggi akhlakul karimah.

Di antara upaya Pondok pesantren dalam menanamkan konsep jihad bagi para santrinya untuk menangkal potensi terorisme yang mengatasnamkan jihad, melalui konsep ajaran agama Islam yang lebih menitikberatkan pada upaya pendidikannya.

Akhir kalam, momentum 76 tahun kemerdekaan RI pesantren sebagai salah satu elemen utama dalam merebut kemerdekaan juga berperan dalam mengisi dan menjaga kemerdekaan itu sendiri termasuk menjadi gerbong utama dalam mencegah terorisme dan radikalisme di negeri ini di samping mengatasi kesenjangan karakter, moral dan akhlak serta gudang lahirnya ulama  juga wadah tempat menangkal paham terorisme, benarkah?

Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen dan Ketua PC Ansor Pidie Jaya, Aceh.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru