29.2 C
Jakarta

Hukum Udhiyah (Kurban) Menurut Empat Mazhab

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamHukum Udhiyah (Kurban) Menurut Empat Mazhab
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Iduladha merupakan salah satu acara akbar tahunan yang dilokoni oleh umat muslim sedunia. Hari raya ini juga lebih dikenal dengan sebutan lebaran kurban. Ini maklum, karena selain takbir akbar yang dikumandangkan saat iduladha tiba, kurban atau menyembelih hewan merupakan salah satu dari sederet daftar kegiatannya.

Kurban yang dilaksanakan saat lebaran tiba, bukan hanya sebatas hura-hura belaka.  Penyembelihan yang dilakukan juga bukan sebatas menjaga tradisi nenek moyang, apalagi hanya untuk menambah menu di meja hidangan yang kosong. Pasalnya, kegiatan rutin ini dilakukan sebagai bentuk patuh atas perintah Sang ilahi rabbi. Dalam surat al-Kautsar ayat 02 Allah Swt menegaskan: Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).

Yang menjadi pertanyaan, apa hukumnya berkurban saat lebaran tiba? Apakah wajib atau sunnah atau bebas laksana (mubah)? Lantas bagaimana kita menyikapi teks Al-Qur’an surat Al-Kausar/108: 2?

Ulama mazhab berbeda pendapat mengenai hukum berkurban. Pertama, dipelopori oleh mazhab Hanafi, beliau berpendapat bahwa menyembelih hewan ternak (sapi, kambing, unta) saat iduladha hukumnya wajib. Dalil yang digunakan adalah surat alKautsar ayat dua. Dalam redaksinya, nampak jelas bahwa perintah yang diajukan Allah Swt. Menggunakan bentuk amr (perintah). Dalam kaidah usul fikih yang terkenal menyebutkan: pada dasarnya perintah diarakan pada hukum wajib bukan yang lain, terkecuali ada dalil lain yang memalingkannya menuju hukum lain semisal sunnah atau mubah.

Dalil lain yang digunakan Abu Hanifah dalam menetapkan hukum wajib adalah Hadis riwayat Ibn Majah. Dalam hadisnya, Nabi mengecam dan mengucilkan seorang muslim yang berkecukupan, namun enggan berkurban. Melalui ancaman tersebut sebagian ulama memahami hukum wajib yang tersirat di dalamnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صلى اللهُ عليه وسلَّم -: ” مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ، فلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا ”

“Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami”, [al-Jami’ al-Sahih li al-Sunan wa al-Masanid XXXII/145].

BACA JUGA  Begini Hukum Wanita I'tikaf di Masjid pada Malam Lailatul Qadar

Kedua, merupakan pendapat mayoritas ulama, yakni Imam Syafi’i, Hanbali dan salah satu pendapat yang unggul dari kalangan Malikiyah. Mereka memperlakukan kurban hanya sebatas sunnah bukan wajib. Hal ini berlandaskan sunnah Nabi Saw. Dalam salah satu hadis yang ditemukan, Nabi lebih memasrahkan pelaksanaan kurban pada umatnya. Artinya pelaksanaan kurban saat hari raya tiba, tidak ditekankan dan dipaksa oleh syariat:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ فَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعَرِهِ وَأَظْفَارِهِ ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

“Jika sudah masuk sepuluh hari pada bulan Dzulhijjah, dan salah satu diantara kalian ada yang ingin berqurban, maka janganlah ia menyentuh (memotong) dari rambutnya dan kulitnya”, [Sunan alBaihaqi XLVII/381].

Selain itu, pendapat kedua ini juga berpegangan pada atsar sahabat. Fakta sejarah mengungkapkan bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab pernah sewaktu-waktu tidak melaksanakan kurban, Setelah diklarifikasi, ternyata mereka khawatir umat islam menganggap kurban adalah hal yang wajib bukan sebatas anjuran. Dan tindakkan kedua khalifah tersebut disambut baik oleh para sahabat yang lain, tidak adanya penolakan, [al-Mausuah al-Fikhiyah al-Qwaitiyah, V/76].

Alhasil, hukum pelaksanaan kurban masih diperdebatkan oleh ulama. Moyoritas mengatakan hanya sebatas anjuran yakni sunnah; sebagian yang lain ada yang mewajibkan yaitu pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hanifah. Mengenai ayat yang termaktub dalam surat alKautsar ayat dua pun secara otomatis mendapat tanggapan yang berbeda. Menurut kalangan yang mengatakan wajib, perintah yang terdapat pada ayat tersebut merupakan dalalah (indikasi) wajib alias tidak bisa ditawar-tawar. Sementara bagi pendapat yang mengatakan kurban hanya sebatas sunnah, perintah yang ada pada ayat tersebut tidak mengindikasikan wajib, melainkan hanya sebatas anjuran, pemahaman  ini bisa ditangkap melalui cuplikan hadis dan atsar sahabat.

Fathul Qorib, Mahasantri Mahad Aly Situbondo

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru