33.1 C
Jakarta

Wahabi: Manhaj Munafik yang Mencederai Kebhinekaan NKRI

Artikel Trending

Milenial IslamWahabi: Manhaj Munafik yang Mencederai Kebhinekaan NKRI
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Para dai Wahabi sedang ribut di berbagai media sosial. Mereka seperti kebakaran jenggot ketika Ustaz Adi Hidayat (UAH) mengatakan, dalam suatu ceramahnya, bahwa musik itu hukumnya tidak mutlak haram. Menurut UAH, hukum musik tergantung pada apa dampaknya bagi seseorang: apakah melalaikan atau justru meningkatkan semangat kebaikan. Hal itu jelas bertentangan dengan doktrin Wahabisme.

Dalam pandangan Wahabi, musik itu haram mutlak. Tidak ada pengecualian. Ia disamakan hukumnya dengan rokok, sepak bola, wayang, dan budaya-budaya lainnya. Bagi Wahabi, orang yang melakukan keharaman tersebut dianggap fasik, berdosa, bahkan kafir. Ustaz-ustaz dadakan seperti Ali Musri Semjan Putra, Firanda Andirja, dan komplotan Wahabi lainnya pun panas dengan ceramah UAH lalu mencemoohnya.

Apa yang menimpa UAH itu sebenarnya bukan kelakukan aneh Wahabi yang pertama. Sejak masuk ke NKRI, para dai Wahabi terus berusaha merusak kebhinekaan, mendestruksi lokalitas keislaman, dan memaksakan pendapatnya sendiri dengan menganggap sesat siapa pun yang berbeda. Ironisnya, banyak masyarakat yang termakan kepicikan Wahabi tersebut. Mereka termakan oleh kamuflase “manhaj salaf”, topeng kemunafikan Wahabi itu sendiri.

Karenanya, hal itu tidak boleh dibiarkan. Wahabi semakin ke sini semakin brutal dan mencederai keragaman tanah air. Doktrin puritanisme mereka mengacak-acak kedamaian negeri, memecah-belah umat Muslim, dan memalukan Islam itu sendiri. Betapa banyak tradisi islami yang dibid’ahkan, disesatkan, dikafirkan. Wahabi terus-menerus menjauhkan umat Islam dari tanah airnya sendiri. Harusnya, mereka diusir dari NKRI!

Wahabi, Wahabisasi, dan Kemunafikannya

Apa itu Wahabi dan siapa pencetusnya, info lengkapnya bisa dicari dalam buku-buku sejarah. Yang paling penting untuk umat Islam ketahui adalah: Wahabi bukan pengikut salaf sehingga mereka aslinya bukan Salafi. Apa yang mereka sematkan hanyalah klaim belaka untuk menutupi jejak buruk Wahabi, sehingga masyarakat tidak antipati dan mau menjadi pengikutnya. Padahal, Wahabi itu lahir dari kebrutalan politik belaka.

Abad kedua puluh awal, manhaj Islam arus utama adalah Ahlusunah Waljamaah. Dari segi kalam/teologi, fikih/yurisprudensi, dan akhlak/moral ia sudah mapan dengan bersanad dan bermazhab pada Asy’ariyah, empat imam mazhab, dan banyak tokoh sufi. Para teladan Ahlusunah Waljamaah adalah para ulama terdahulu yang saleh dan kompeten secara keilmuan (salaf-shalih). Manhajnya bersambung hingga ke Rasulullah.

Pasca-keruntuhan Turki Utsmani, seorang badui yang hina dari pedalaman Najed berambisi menjadi penguasa. Klan al-Saud itulah yang kemudian berkongsi dengan Inggris untuk melanggengkan kekuasaannya di Arab Saudi, dan berkomplot dengan Muhammad bin Abdul Wahhab untuk menjadikan manhaj Wahabi sebagai mazhab resmi Arab Saudi. Doktrinnya yang menguntungkan Saudi adalah “haramnya memberontak ulil amri”.

BACA JUGA  Melawan Otoritarianisme-Radikalisme dengan Tradisi Kritisisme

Itulah kenapa Wahabi dipelihara oleh klan al-Saud dan Kerajaan Arab Saudi hingga kini. Sebagai upahnya, Saudi memberikan dana tak terbatas kepada Wahabi untuk melakukan Wahabisasi global—sebuah proyek ambisius untuk me-Wahabi-kan umat Islam di seluruh dunia. Wahabi memusuhi dan mengafirkan para ulama salaf, imam mazhab, dan ulama sufi, sembari mengklaim diri sebagai “Salaf”—sebuah kemunafikan yang memuakkan.

Namun, antara manhaj Wahabi, proyek Wahabisasi, dan kemunafikan itu tampak samar karena jurus strategis: mereka menyekolahkan secara gratis masyarakat global di Arab Saudi, termasuk dari Indonesia, asalkan pulang ke negaranya membawa proyek Wahabisasi tersebut. Firanda, Semjan, Khalid, Syafiq, dan dai Wahabi lainnya adalah produk dari proyek Wahabisasi yang kini tengah “nyampah” di NKRI.

Jangan Sampai Indonesia Jadi Sarang Wahabi

Mengapa layak disebut “nyampah”? Sebab, kalau mau dilihat seksama, rezim Arab Saudi lambat laun membuang Wahabi—terutama melalui proyek Muhammad bin Salman hari ini. Arab Saudi kian modern dan Wahabi kebakaran jenggot, namun mereka tidak protes karena didanai oleh rezim dan pada saat yang sama, Wahabi mulai mencengkeramkan pengaruh di negara-negara di mana Wahabisasi dilakukan. Indonesia termasuk di dalamnya.

Jadi, ada proses pemindahan basis teritorial di situ. Bin Baz dan Albani memang dari Arab Saudi, namun rezim al-Saud tidak peduli dengan Wahabi kecuali untuk menjadi corong atas kelanggengan kekuasaan belaka. Habis manis sepah dibuang, dan ironisnya masyarakat Islam di Indonesia malah menyambut baik “sampah-sampah buangan” tersebut. Buktinya, umat Islam tanah air malah lebih suka Wahabi daripada kiai lokal yang wara dan alim.

Ilustrasi jelasnya seperti ini: dahulu banyak ulama Nusantara yang berpengaruh di Hijaz, namun pengaruhnya redup dan padam setelah Wahabi menguasai Arab Saudi. Hari ini, Wahabi bahkan tengah menggusur otoritas para ulama di Indonesia untuk digantikan Semjan, Firanda, dan Wahabi lainnya. Para kiai yang memperjuangan NKRI tampak sedang diredupkan, dan negara ini sedang diupayakan menjadi “sarang” Wahabi.

Melihat fakta itu, masyarakat tidak boleh diam saja. Wahabi harus dilawan. Wahabisasi tidak boleh dibiarkan menggerus kebhinekaan, apalagi merusak NKRI secara keseluruhan. Ulama lokal seperti Gus Baha, Gus Mus, Quraish Shihab, UAS, UAH, dan lainnya harus turun gunung agar tidak digeser dai ecek-ecek hasil dari proyek Wahabisasi. Kalau hukum musik saja jadi senjata Wahabi memecah-belah umat, kelak mereka akan menggerakkan umat untuk memecah-belah NKRI. Lawan!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru