31.2 C
Jakarta

Eko Kuntadhi dan Pentingnya Belajar Mencegah Benih-benih Radikalisme

Artikel Trending

Milenial IslamEko Kuntadhi dan Pentingnya Belajar Mencegah Benih-benih Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sadarkah kita bahwa masyarakat Indonesia hari ini telah mencapai titik polarisasi yang sangat riskan? Pertanyaan ini ditujukan untuk merefleksi diri. Sebab, semakin ke sini, masyarakat—terutama umat Islam—semakin terkotak-kotakkan. Kalau kita berbuat A, si B akan mengkritik habis-habisan. Kalau kita membela B, si A akan ngamuk tak karuan. Benih-benih radikalisme sangat jelas lagi keras, dan contoh terkininya adalah polemik Eko Kuntadhi di Twitter.

Eko, yang awalnya merupakan Ketua Ganjarist sebelum mundur gara-gara polemik ini, berhari-hari trending. Ia yang notabene aktivis di Cokro TV jadi bulan-bulanan netizen gara-gara menghina Ning Imaz dari Lirboyo, Kediri. Namun baru-baru ini pihak Ning Imaz mengaku sudah memaafkan, dan itu terjadi setelah Eko sowan ke pesantren Lirboyo bersama aktivis JIL, Guntur Romli. Yang belum reda netizen. Alih-alih setuju, mereka justru komentar, “buzzeRp bantu buzzeRp”.

Apa yang salah dari semua itu dan mengapa polemik Eko Kuntadhi menarik dibahas? Ada dua alasan. Pertama, pemantik polemik Eko dan Ning Imaz adalah repost yang kurang teliti. Sebenarnya Eko tidak berniat menghina Ning Imaz, tapi menghina ‘pemuja selangkangan’—suatu istilah sejenis ‘pemuja 72 bidadari’ dari kalangan radikalis-teroris. Sayang, serangan Eko salah sasaran. Eko yang mewakili pelaku kontra-narasi pun diserang balik netizen dan, malangnya, ia tetap akan tercitra buruk selamanya.

Kedua, yang dirugikan dari polemik tersebut adalah kedua pihak, baik Eko maupun Ning Imaz. Bahkan ketika pihak Ning Imaz memaafkan dengan sejumlah kesepakatan, netizen juga menyerang pihak Ning Imaz sebagai kalangan lemah yang mudah dimanfaatkan. Singkatnya, bagi netizen semacam itu, kebaikan Ning Imaz adalah kelemahannya sendiri. Eko sendiri kerugiannya lebih besar: mati pamor di masyarakat. Lalu siapa yang diuntungkan dari polemik tersebut?

Dua alasan tersebut pasti belum terpikirkan oleh sebagian orang. Karenanya, pada tulisan ini, perspektif yang digunakan adalah perspektif penengah yang berusaha mencari benang merah permasalahan dan apa pelajaran darinya. Polemik Eko dan Ning Imaz tidak bisa dilihat secara kasat mata belaka. Ia bukan polemik NU vs buzzeRp. Ada tangan-tangan tak terlihat yang ingin ikut campur dan memanaskan situasi. Meskipun memang, Eko sendiri harus banyak evaluasi diri.

Eko dalam Sorotan Radikalis

Dari enam kesepakatan Eko Kuntadhi dengan pihak Ning Imaz sebagai hasil sowannya ke Lirboyo bersama Guntur Romli, poin kelima dan keenam menarik untuk diulas. Poin kelima berbunyi, “Pondok Pesantren Lirboyo meminta dan berharap kepada saudara Eko Kuntadhi menjadikan kasus ini sebagai pembelajaran untuk bijak dan santun dalam bermedia sosial di masa-masa mendatang,” dan poin keenam meminta Eko tidak jadi aktor ujaran kebencian dan caci maki di media sosial.

Menganggap Eko sebagai ‘tukang gaduh’ atau ‘pendengung’ di media sosial memang tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Setiap dengungan Eko tidaklah monolitis. Hal itu berkaitan dengan posisinya sebagai influencer yang dianggap buzzeRp, yang artinya, ia adalah musuh bagi kelompok-kelompok yang ia selalu serang. Misalnya, HTI dan FPI. Polemik dengan Ning Imaz juga demikian; sejumlah influencer HTI ikut menyerang, contohnya Aab Elkarimi.

BACA JUGA  Mengakhiri Propaganda Ajaran Radikal di Medsos

Urusannya semakin runyam ketika Aab, dengan analisisnya yang rasional, mengorelasikan hinaan Eko pada Ning Imaz dengan narasi-narasi keras Eko selama ini kepada para aktivis HTI dan ustaz-ustaz yang dianggap radikal. Aab melakukan generalisasi untuk menciptakan kesepahaman pada ulama NU—meskipun ia sendiri sebagai orang HTI jelas tidak suka NU—bahwa yang namanya Eko Kuntadhi dan kroco-kroconya harus dipenjara. Tujuan narasinya sangat jelas.

Sebagai bukti, andai Eko Kuntadhi tidak sowan ke Lirboyo dan atau misalnya pihak Ning Imaz tidak memaafkan, maka nasib Eko jelas di ujung tanduk. Tak hanya Eko, para penyembah radikalisme akan menyeret kawan-kawan Eko di Cokro TV dan Ganjarist; suatu taktik yang mudah ditebak. Karenanya, pemaafan oleh Ning Imaz sangat ampuh meredam narasi-narasi buruk yang memantik benih-benih radikalisme di tanah air. Meskipun, Eko memang layak dibuat jera dulu.

Eko harus ingat sejumlah hal penting. Kesatu, bahwa ia selalu dalam pantauan radikalis. Sekali bikin gaduh, ia akan digoreng. Kedua, ia mewakili kontra-narasi radikalisme dan terorisme, atau politik identitas. Sekali ia salah langkah, yang diserang tidak hanya dia melainkan pelaku kontra-narasi secara umum. Maka, sesuai pesan tersirat dalam kesepakatan dengan Ning Imaz, ke depan, Eko Kuntadhi harus belajar mencegah benih-benih radikalisme.

Menahan Radikalisme

Bijak bermedia sosial, istilah yang dipakai Ponpes Lirboyo. Aslinya adalah agar Eko tidak membuat radikalisme semakin marak oleh ulah dirinya sendiri yang gegabah. Eko tidak hanya mesti belajar soal ketelitian, melainkan juga soal kebijaksanaan. Ia punya pengikut, ia adalah salah satu representasi kontra-radikalisme. Maka ia mesti belajar soal pengendalian diri. Sebab, pada setiap kesalahan yang ia lakukan, getahnya ngalir ke mana-mana.

Radikalisme tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir karena adanya kesempatan, baik kesempatan politik, sosial, maupun keagamaan. Polemik Eko dengan Ning Imaz memuat ketiga unsur tersebut sekaligus. Secara politik, Eko yang Ketua Ganjarist adalah musuh pendukung setia Anies. Secara sosial, Eko yang dianggap buzzeRp memang sering teralienasi dan stigmatis. Dan secara keagamaan, Eko dianggap pembenci Islam. Maka tak heran, pada polemik tersebut, isu islamofobia juga muncul.

Dengan demikian, mencegah benih-benih radikalisme bisa dilakukan dengan menutup ruang kesempatan tersebut. Melalui polemik Eko Kuntadhi, kita mesti belajar bahwa para radikalis sangat jeli memanfaatkan apa pun untuk narasi mereka. Kita juga mesti belajar bahwa kita, baik pihak Eko maupun pihak Ning Inaz, akan selalu dipantau oleh radikalis itu sendiri. Dan terakhir, tentu saja, Eko Kuntadhi sendiri harus memperbaiki citranya yang sudah kadung dicap buruk oleh netizen. Jangan sampai karena dia seorang, kita semua kena getahnya. Jangan sampai karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru