27.6 C
Jakarta

Edukasi Digital; Ikhtiar Menjauhkan Generasi Muda dari Radikalisme dan Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifEdukasi Digital; Ikhtiar Menjauhkan Generasi Muda dari Radikalisme dan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Radikalisme sudah seharusnya tidak dipelihara oleh generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa. Seperti yang sudah banyak kita lihat, siapapun yang mencoba mengikuti faham ini akan terjerumus ke ekstremisme bahkan bisa juga berubah menjadi terorisme. Hal itu bisa terjadi karena ketiga faham tersebut saling berhubungan dalam keinginan merubah sesuatu sistem politik dan sosial secara memaksa dan cepat.

Dalam ajaran agama Islam, pemikiran seperti itu tidak dibenarkan apalagi sampai dilakukan secara masif. Meskipun terdapat adanya kesalahan dalam tatanan sosial ataupun politik, kita bisa melakukan tindakan dengan cara yang baik dan lembut dengan maksud berusaha mengubahnya dan memperbaikinya menjadi lurus tanpa harus adanya unsur pemaksaan.

Negara kita memang tidak sepenuhnya menganut syariat Islam, tetapi bukan berarti kita harus berfikir bahwa negara kita mewajibkan rakyatnya menganut syariat islam . Jika kita membicarakan tentang budaya sosial yang ada di Indonesia, Sebagian besar berasal dari aneka ragam agama yang sudah membentuk fondasi dari sejak lama. Termasuk agama Islam yang juga ikut menyumbangkan pengaruh budaya sosial terhadap masyarakatnya.

Dengan banyaknya kolaborasi pengaruh budaya dari berbagai agama, perlu adanya ideologi yang menyatukan perbedaan itu. Pancasila menjadi penengah untuk resolusi perkara tersebut dimana semua agama merasa keadilan ditegakkan pada sila ke-1 yaitu “ketuhanan yang Maha Esa”. Kita sebagai generasi muda muslim sudah sepatutnya menghormati dan menjaga ideologi tersebut agar tercapainya kerukunan umat beragama di Indonesia.

Dengan hadirnya sila ke- 1 pancasila tersebut, masyarakat harus paham bahwa kebebasan dalam memilih agama itu jelas dan tanpa adanya paksaan. Siapapun bebas memilih agama Katholik, Protestan, Budha, Hindu hingga Islam. Ini sepaham dengan ajaran agama Islam bahwa tidak ada pemaksaan perihal agama sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 256: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)….

Adapun Ketika kita ingin mensyiarkan agama Islam hendaknya dilakukan secara ahsan dan memperhatikan batasan. Jangan sampai dengan niat ingin mensyiarkan agama Islam, kita menggunakan cara berlebihan seperti menekan atau memaksa mereka untuk mengikuti keyakinan agama Islam.

Tentunya itu membuat masyarakat tidak nyaman dengan usaha persuasif yang diiringi pemaksaan. Rasulullah SAW sudah mengajarkan pada umatnya untuk menghindari perbuatan itu dalam sabdanya: “Hindarilah perilaku berlebihan (ghuluw) dalam beragama, karena sesungguhnya hancur nya umat sebelum kalian disebabkan perilaku berlebihan”.

Kita bisa ambil contoh fenomena radikalisme yang akhir-akhir ini menggemparkan kota Garut yaitu NII. Kelompok tersebut menginginkan perubahan pada ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila yang dimana mereka ingin NKRI harus berlandaskan syariat Islam secara penuh dan menyeluruh. Pengusung Kelompok tersebut yaitu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo telah menyebarkan doktrin untuk melawan Ideologi negara Indonesia dengan berbagai cara melalui dakwah ke masyarakat.

Sejak tahun 1949, kartosoewirjo sudah memproklamasikan NII serta konsep-konsep dan sistem pemerintahan yang berasal dari ideologinya. NII menginginkan negara Indonesia berbentuk negara bersyariat islam tanpa memperhatikan bhinneka tunggal ika.Tentunya ini bisa memecah kedaulatan NKRI.

Golongan yang terkena dampaknya langsung adalah kaum muda karena anak-anak muda menjadi sasaran utama mereka dalam menanam doktrinnya. Mereka melibatkan anak muda yang bahkan belum mencapai usia 18 tahun untuk berjuang membawakan ideologi dari NII ini. Jika dibiarkan, akan lebih banyak anak muda yang menjadi korban doktrin radikalisme dari NII yang secara terang-terangan ingin mengubah ideologi negara secara memaksa.

BACA JUGA  Menjadikan Ruang Maya sebagai Ajang Politik Damai

Generasi muda Indonesia yang akan menjadi kunci masa depan bangsa Indonesia harus dijaga dengan memberikan pendidikan secara intens agar terhindar dari faham radikalisme yang bisa merusak otak mereka. Oleh karena itu, penulis akan membahas sudut pandang penulis mengenai resolusi masalah tersebut dengan cermat serta disajikan secara argumentatif.

Generasi muda membutuhkan kehadiran pendidikan yang benar dan baik untuk bekal mereka menghadapi dinamika problematika sosial dan politik yang sedang terjadi di Indonesia. Pendidikan yang diberikan bisa dalam bentuk formal maupun non-formal selama materi itu bisa diterima secara perlahan-lahan sampai ke akar pola pikir mereka.

Media sosial dengan beraneka ragam platform merupakan wujud nyata dari perkembangan era digital yang dimana semua informasi bisa tersebar luas tanpa ada batasan. Sarana ini bisa menjadi sumber pemicu timbulnya pola pikir yang bisa menjadi baik ataupun buruk tergantung asalnya darimana. Oleh karena itu perlu adanya pemahaman terkait hal tersebut.

Erni Ratna dewi, seorang ahli ilmu Pendidikan di STKIP Andi Matappa Sulawesi selatan menjelaskan di dalam jurnalnya yang berjudul “Hubungan Media Sosial dalam Pembentukan Karakter Anak” bahwa hubungan media sosial dengan karakter anak itu bergantung dari aplikasi dan konten yang dipilih. Jika aplikasinya serta konten yang dipilih oleh anak tersebut mendidik hal positif, maka kepribadian anaknya juga akan positif dan begitu pula sebaliknya.

Peran orangtua dalam pemantauan penggunaan media sosial turut menjadi pilar substansi dalam pendidikan yang mengarahkan ke teori dan materi yang benar. Orangtua harus tahu apa yang sedang dibutuhkan oleh anaknya di usia muda dan memberikan nasehat serta saran untuk membantu anaknya memahami materi yang sedang dipelajari.

Dalam jurnal Erni tersebut, orangtua juga harus memahami efek dari media sosial yang memiliki pemicu tumbuhnya pemikiran yang radikal dengan memberikan konten yang bisa menarik perhatian anak sehingga mereka menyukainya. Oleh sebab itu, Orangtua harus bisa menjadi selector dalam pemilihan konten di media sosial karena anak  ingin mengetahui jati dirinya melalui platform yang digunakan. Jika tidak berhati-hati, bisa menimbulkan dampak negatif yang bisa berpengaruh terhadap pola pikirnya yang bisa membentuk pemahaman yang salah.

Seperti yang sudah banyak kita lihat, anak muda pun bisa menemukan kajian keislaman dari platform seperti Instagram, Facebook, Tik-tok dan lain-lain. Platform media sosial tersebut bisa memberikan informasi dan materi agama secara update setiap harinya. Maka disini anak muda perlu mengkritisi informasi yang mereka terima setiap harinya sebelum disebarkan dan diklaim benar akan fakta validitasnya. Tidak sedikit anak muda yang mudah terpengaruh dengan informasi yang baru mereka terima tanpa dibantu oleh peran orangtua.

Jika anak muda tidak berhati-hati menanggapi informasi yang baru, bukan mustahil bibit radikalisme berpotensi merasuki pemikiran mereka. Sebaiknya orangtua sebagai pemantau bisa mengajak anaknya bertukar pikiran mengenai informasi dan materi yang baru saja mereka dapat dari berbagai platform media sosial.

Orangtua juga mesti paham variasi bentuk konten edukasi yang ada di media sosial agar bisa diinterpretasikan ke anaknya. Dengan begitu, pemikiran radikalisme pun bisa dihindari dengan pemberian edukasi yang tepat melalui teknologi di era digital ini.

M. Ridho Hardisk Pratama
M. Ridho Hardisk Pratama
Mahasiswa Universitas Islam Bandung

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru