31.5 C
Jakarta

Dinamika Penulisan Puisi di Media Siber

Artikel Trending

KhazanahLiterasiDinamika Penulisan Puisi di Media Siber
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Berbicara soal Artificial Intelligence (AI), pada mulanya dibentuk pada tahun 1958 dalam riset permainan catur. Proyek ini merupakan percobaan teknologi mengalahkan pemain catur dunia. Pada tahun 1997 di New York, tepatnya 39 tahun kemudian, supercomputer IBM Deep Blue berhasil mengalahkan juara catur dunia, Gari Kasparov. Seiring perkembangannya, pada tahun 2016, proyek AI Google berhasil membuat puisi. Fenomena ini cukup mengejutkan, namun bagi saya tidak mengkhawatirkan, entah.

Secara genetik, manusia menciptakan puisi melalui beberapa tahap, di antaranya, observasi, kontemplasi, penyaringan emosi, dan komposisi atau konstruksi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, saya sebagai manusia dan masih manusia, melakukan beberapa tahapan dalam menulis puisi.

Mula-mula saya melakukan penangkapan realita, melakukan pengumpulan data (baiklah kita katakan observasi), melakukan perenungan, pemilihan diksi, pemakaian kalimat, dan menyusun. Kemudian, melakukan penyaringan, melakukan “logika sastra,” menimbang, dan melakukan penyesuaian logika. Tahap terakhir, saya membacanya berulang-ulang, melakukan pengeditan tata bahasa dan kalimat.

Pergeseran Sastra Cetak Menuju Sastra Siber

Kehidupan bekerja dan bergerak mengikuti perkembangan zaman. Apabila Karl Marx mengatakan bahwa materi bergerak sesuai zamannya, peristiwa yang sama juga berlaku bagi dunia sastra (Sitanggang, 2022). Dalam kaitan itu, tentulah terdapat pergeseran nilai dalam dunia sastra yang terjadi akibat pergesekan teknologi. Fenomena baru atau barangkali jalan baru, yang sudah lama kita tunggu atau yang juga tidak sengaja kita rayakan.

Keterlibatan media pada ranah penciptaan karya sastra, khususnya puisi, bukan merupakan kegelisahan baru. Jauh sebelum tulisan-tulisan bernuansa sastra berkeliaran di media sosial seperti Instagram, Facebook, dan lainnya. Fenomena sastra siber sudah lebih dulu diperdebatkan dalam banyak situasi, salah satunya dalam buku Cyber Graffiti Polemik Sastra Cyberpunk (Situmorang, 2004). Buku yang disunting oleh Saut Situmorang tersebut merupakan respon yang berisi pro dan kontra terhadap sastra siber.

Dalam perkembangannya, puisi mengalami pergeseran seiring kentalnya nuansa media. Apabila puisi biasanya tayang pada surat kabar setiap minggu dalam bentuk cetak, kini banyak kita temui puisi-puisi yang dikemas media online dalam bentuk visual pada media sosial (gambar, suara, video, ilustrasi, dan lainnya). Fenomena sentuhan modernisasi tersebut tentulah merupakan bentuk dari peningkatan kreativitas dan proses integrasi.

Pada pihak lain, yang memandang dinamika perkembangan puisi pada ranah siber sebagai suatu kegelisahan, tetap tidak dapat disalahkan semena-mena, untuk tidak mengatakan sebagai pihak-pihak yang gagap teknologi dan modernisasi. Pergeseran ini tentulah berperan dalam menentukan mutu dari karya sastra tersebut. Apabila seorang sastrawan pada awalnya menunggu sekian minggu atau bahkan memasuki sekian bulan untuk melihat karyanya tampil di surat kabar, yang tentulah harus melewati kurasi redaktur. Dengan adanya internet, karya sastra muncul setiap saat.

Argumen pada tahun 2000-an, yang kemudian oleh Yayasan Multimedia Sastra (YMS) melahirkan Graffiti Gratitude (2001), sebuah antologi puisi siber dan Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (2002), kian meruncing. Sebagai orang media, kehadiran internet seharusnya mampu dibaca sebagai sebuah wacana, yang berperan kompleks dalam perkembangan sastra. Berangkat dari pro dan kontra, internet menghadirkan situasi baru, pemikiran baru, atau barangkali juga mengenai tradisi baru, ah atau malah angkatan baru?

Pada praktiknya, sastra internet bersifat mandiri, baik dari segi pencapaian maupun segi promosi. Selain itu, internet juga bersifat fleksibel dan terkini, namun mungkinkah kenyataan ini membentuk modus eksistensi alternatif sastrawan?

Sementara itu, kita tetap harus berupaya mempertahankan dinamika sastra, agar sastra siber tidak mengisolasikan dirinya pada ruang lain, dan keluar dari kesusastraan. Pada keadaan demikian, secara literatur, kekacauan harus diperhitungkan dari dinamika sastra yang serba instan (untuk tidak menyebutnya prematur).

Kritikus sastra dari Universitas Indonesia, Maman S. Mahayana menyatakan bahwa kualitas penyair siber masih dipertanyakan, sebagian masih tergolong penulis yang baik, belum sebagai penyair (Situmorang, 2004). Usman K.J. Suharjo dari Universitas Bengkulu juga mengkritisi kemungkinan pergeseran struktur pada sastra siber, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa cerpen yang mulai tidak mengikuti pakem, yang hanya berisi dialog, dan cerpen yang lebih pendek dari cerita mini, seperti cerpen yang ditayangkan oleh Rukmi Wisnu Wardani.

Jika diperhatikan, di tengah kemudahan yang ditawarkan industrialis internet, banyak sastrawan Indonesia yang juga telah memiliki situs pribadi untuk mempublikasikan karyanya, seperti Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, D. Zawawi Imron, A. Mustofa Bisri, Saut Situmorang, dan lainnya. Alternatif media pada budaya siber, layak untuk kita syukuri. Di tengah maraknya gairah bersastra, kita dapat melihat produksi modernitas karya-karya sastrawan, yang dapat kita nikmati dengan mudah dan cepat.

Kritik terhadap kualitas sastra siber yang tidak terkontrol, seolah menjadi “tuduhan” yang berkembang di tengah persepsi dan argumentasi. Pada kenyataannya, kita juga dapat mengakses karya-karya sastrawan besar Indonesia. Pernyataan ini tentunya berlanjut pada pertanyaan, bagaimana jika karya yang disebut “sastra” itu bukan lahir dari sastrawan Indonesia yang tidak perlu diragukan lagi kesusastraannya.

Misalkan saja, apabila situs pribadi tersebut dibuat oleh pihak-pihak yang hanya “iseng” (untuk menghindari mengatakannya tidak kredibel), apakah situs tersebut juga menyuguhkan karya yang tidak kalah bagus?

Argumentasi “kritik” kerap kali dijadikan dasar memberikan pandangan subjektif, perangkat selektif ala redaktur koran membentuk prinsip-prinsip seleksi. Pada kenyataannya, sebagaimana media cetak, kini situs-situs publik yang memuat puisi juga memiliki redaktur yang menerapkan sistem seleksi, sekalipun tentulah dengan pertimbangan yang berbeda. Bentuk “tanpa seleksi” hanya mengacu pada situs pribadi (seharusnya demikian), yang memuat karya pribadi.

Bagi saya, tentulah debar menunggu pemuatan karya pada situs-situs publik setiap minggu atau bahkan bulan masih dapat saya rasakan. Selain itu, perlu disadari bahwa keindahan sebuah puisi merupakan pekerjaan hati dan pemikiran yang relatif. Sehingga kerja dari “seleksi redaktur” juga merupakan produk dari kecocokan pemikiran dan perspektif dari redaktur itu sendiri. Sifat puisi yang multi interpretabilitas digunakan untuk memandang dan menilai dengan kebebasan semacam ini.

Keadaan ironis dan dilematis lainnya, biaya produksi dan distribusi koran, membuat eksistensi sastra koran semakin menyempit dan banyak di antaranya yang mulai menepikan rubrik sastra, kenyataan ini membentuk kemunduran, pergeseran atau justru melebarkan peluang sastra siber. Kebaikan internet dalam sastra, seperti argumen yang diusulkan Nanang Suryadi, terlihat apabila kita bersikap apriori. Dari segi bahasa, kemudahan informasi yang diakses oleh internet seharusnya mampu dikelola dan melahirkan kreativitas-kreativitas baru.

Sebagaimana dipaparkan Medy Loekito, internet merupakan saluran frustrasi penyair di tengah ketidakpastian penerbitan karya media cetak. Lebih dari itu, internet dipandang sebagai saluran alternatif penyair dalam menghadapi sikap tidak adil media massa yang mengutamakan nama-nama besar, dan menjadi lahan gratis atau jembatan bagi peradaban multikultural (Situmorang, 2004).

BACA JUGA  Mungkinkah Skill Menulis Seseorang Menghilang?

Penciptaan Puisi Melalui AI (Artificial Intelligence)

Ketika teman-teman mahasiswa banyak membicarakan cara-cara instan untuk menulis sebuah artikel, makalah, penelitian ilmiah, atau tugas-tugas lainnya. Sebagian teman-teman penyair di Banyumas, juga membicarakan cara mudah dan cepat untuk membuat puisi, tentulah menggunakan bantuan AI.

Tidak pernah saya pikirkan sebelumnya, demi mengetahui secara langsung bagaimana AI bekerja dalam penulisan puisi, saya mencobanya, saya ingin merasakan sensasi pembuatan puisi menggunakan kecerdasan buatan. Mula-mula saya membuat akun di website openai.com, dengan beberapa prosedur yang harus saya isi dan verifikasi.

Setelah pembuatan akun itu dikatakan berhasil, saya menuliskan kalimat perintah sederhana, “Buatkan saya dua puisi dengan kata kunci perempuan, dapur, cinta, dan doa.” Kurang dari tiga detik, munculah jawaban puisi, saya tuliskan sebagai berikut:

Puisi pertama:

Perempuan di Dapur

Di dapur, perempuan berdiri teguh

Mengolah rasa dalam tiap bumbu

Cinta yang membara, seperti api yang menyala

Dalam panci hati, ia memasak asa

Doa-doa terucap, di sudut hatinya

Agar cinta ini tak pernah sirna

Perempuan di dapur, tuk cinta sejati

Menyajikan hidup, dalam piring hati

Puisi kedua:

Cinta dalam Doa Perempuan

Doa perempuan, dalam malam sunyi

Mengalun indah, cinta yang tiada tanda

Di hati mereka, tersembunyi rasa dalam

Sebagai perempuan, ia cinta yang abadi

Dapur mereka, tempat memasak rasa

Dalam setiap hidangan, ada cinta yang tersirat

Perempuan yang mendoakan cinta terjalin

Hingga akhir nanti, tuk selamanya bersatu

Lebih lanjut, saya memberi perintah kedua, “Buatkan saya ide untuk menulis puisi tentang perempuan dan doa.” Kemudian sistem AI mulai membuat jawaban, dalam waktu singkat, kurang dari tiga detik. Gila, apa ini sebuah ancaman?

Judul: Doa Seorang Perempuan

Setiap malam, ia duduk dalam sunyi, seorang perempuan dengan hati yang khusyuk. Doanya merayap lembut ke langit tinggi, menggambarkan cinta dan harapan yang terus tumbuh.

Puisi ini bisa mencerminkan bagaimana seorang perempuan menggunakan doanya sebagai alat untuk mengungkapkan keinginannya, baik untuk dirinya sendiri, keluarganya, atau bahkan dunia. Dalam puisi ini, anda dapat menjelajahi bagaimana doa perempuan ini menjadi sumber kekuatan dan inspirasi, serta bagaimana peran mereka dalam membawa perubahan positif melalui doa-doa mereka.

Sampai di sini, saya tidak akan membandingkan puisi buatan AI dengan puisi karya saya sendiri, atau bagaimana ide AI dalam membuat sebuah puisi dengan bagaimana peristiwa “perjumpaan” saya dengan kreativitas menulis puisi. Akan tetapi, saya menemukan beberapa hal yang barangkali dapat kita pelajari bersama, pertama, akses untuk dapat melakukan percobaan atau penggunaan AI tidak sulit.

Sehingga dengan perangkat komputer atau sesederhana menggunakan ponsel pintar, kita sudah dapat mengakses AI. Kedua, proses pembuatan puisi tidak membutuhkan waktu yang lama, sehingga cenderung bersifat instan dan fleksibel. Ketiga, AI dapat memudahkan pekerjaan manusia ketika mengalami “kebuntuan kreativitas” .

Pada dasarnya, kecerdasan buatan bekerja berdasarkan database yang tersimpan di “otaknya.” Permintaan manusia diolah melalui data-data tersebut. Mari kita buat analogi sederhana, seorang perempuan berusia 27 tahun tentulah memenuhi kepalanya dengan banyak memori seperti pengalaman-pengalaman, ingatan, dan keterlibatan perasaan seperti emosi, rasa sakit, bahagia, air mata, dan lainnya.

Apabila seorang perempuan tersebut menuliskan sebuah puisi, maka ia akan mengambil sebagian besar “simpanan” yang ada di kepalanya itu, tentulah dengan gambaran realita yang ditangkap. Begitu pula teknologi, ia menjawab pertanyaan melalui database yang tersimpan di dalamnya.

Mengatakan ini sebagai ancaman? Ya, barangkali, ketika kerja pikiran manusia (sebagian banyak) dipertarungkan dengan kerja kecerdasan buatan terkait kecepatan. Namun, perlu dicatat! Bahwa sifat AI adalah mengikuti pola dan struktur bahasa yang sudah terprogram, tanpa mempertimbangkan konteks emosional yang mendasarinya.

Sementara kita, manusia, mampu melampaui pemikiran-pemikiran dan emosional tersebut. Hal ini jelas menunjukkan kedudukan puisi yang dibuat oleh AI dan puisi yang dibuat oleh manusia.

Selain itu, berkaitan dengan plagiarisme, kecerdasan buatan atau AI hanya menghasilkan teks berdasarkan data yang telah diinput oleh sistem. Oleh karena itu, besar kemungkinannya adanya plagiarisme di dalam teks tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa sifat “penciptaan” adalah menjadikan yang tidak ada, menjadi ada. Apabila konsep ini dikaitkan dengan plagiarisme pada pembuatan puisi melalui AI, jelas ini bukan penciptaan.

Rollo May memandang kreativitas harus dilihat melalui kerangka kerja ilmuwan atau seniman, pemikir juga ahli estetika; dan orang tidak perlu menghilangkan luasnya makna kreativitas seperti yang tercermin dalam diri tokoh-tokoh teknologi modern. Selain itu, Webster juga menyebutkan, hakikat kreativitas sebagai proses penciptaan atau menjadikan sesuatu menjadi ada (May, 2019).

Demikian, secara mekanistik, AI tidak melibatkan proses batiniah. Sementara manusia tidak terlepas dari pencampuran olah rasa dan pendalaman batiniah. Sampai di sini, saya teringat salah seorang guru saya, Profesor Abdul Wachid B.S. bahwa menulis puisi itu “ilham.”

Pada mulanya, penciptaan sebuah karya puisi dengan membuat-buat ekspresi, mengondisikannya, menunggu, dan mencari ilham. Proses pencarian ilham pada konsep ini tidak hanya berhenti pada kata “menunggu,” akan tetapi mencari melalui satu-dua kata, menuliskannya, dan mencorat-coretnya, sampai menemukan hikmah puisi yakni indah dan bermanfaat (Wachid, 2022).

Kita mendapatkan kepekaan baru dalam penulisan puisi. Perubahan zaman yang cepat seperti ini, tentulah dapat dimaklumi seiring dengan kemudahan yang ditawarkan internet. Namun pikiran positif saya, dinamika sastra siber tidaklah segawat yang diargumenkan. Pada kenyataannya, bukankah generasi sastrawan muda selalu muncul dari pergeseran sastra itu sendiri, yang tentulah dibumbui dengan seperangkat nilai yang berubah seiring perkembangan zamannya. Justru melalui hal ini, kita mendapat pelajaran mengenai proses kreatif.

Tentulah, kecerdasan buatan berada dekat dengan kecurangan, ketidakadilan, dan sifat-sifat lain yang jauh dari kata “penciptaan.” Ketika penggunaan AI dalam dunia sastra hadir sebagai suatu pertarungan, atau bahkan ancaman, mungkinkah kita harus menggunakan cara-cara kotor untuk sebuah penciptaan dalam ranah kreativitas?

Barangkali ini yang dimaksud oleh Rollo May tentang kebenaran kreativitas, bahwa jika kita manusia, khususnya penyair “menciptakan” puisi dengan bantuan AI, maka kelangsungan intelektual akan lahir dalam bentuk rasa bersalah terhadap kerja kreatif, rasa puas, dan kegembiraan pada proses penciptaan.

…dan harus ditekankan bahwa terkait plagiarisme, itu persoalan moral!

Referensi

May, Rollo. 2019. Kreativitas Dan Keberanian. Yogyakarta: IRCiSoD.

Sitanggang, Saut Raja H. 2022. “Sastra Kreatif Dan Kreativitas Sastra.” Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa, 2022. https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/815/sastra-kreatif-dan-kreativitas-sastra.

Situmorang, Saut, and dkk. 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk. Yogyakarta: Jendela. Wachid B. S, Abdul. 2022. “Cinta Penyair Cinta.” Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa, 2022. https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/3758/cinta-penyair-cinta.

Efen Nurfiana
Efen Nurfiana
Karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi, media online dan koran. Selain itu, karyanya terdokumentasi dalam kumpulan sajak Dadamu Serumpun Pohon (Wadas Kelir Publisher, 2023), Gus Mus dan Simbolisme Feminin (Wadas Kelir Publisher, 2023).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru