27.8 C
Jakarta

Childish Religiosity: Pangkal Perseteruan Antarumat Beragama

Artikel Trending

Milenial IslamChildish Religiosity: Pangkal Perseteruan Antarumat Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ke mana keberagamaan membawa kita? Pertanyaan ini, bagi sementara pihak, boleh jadi merupakan pertanyaan sensitif. Sebab, bagi masing-masing pemeluk agama, apa yang mereka anut dipercaya dapat membawa pada gerbang kebahagiaan abadi. Pada saat yang sama, baik Islam, Kristen atau Yahudi, sama-sama memiliki keyakinan bahwa apa yang berada di luar kelompok mereka adalah kafir (infidel). Sesama pemeluk Islam pun, misalnya, ada keyakinan yang menganggap perbedaan internal sebagai bidah (heretic).

Term yang terakhir ini bukan yang lebih ringan daripada yang pertama. Mereka yang dicap heretic, dalam komunitas suatu agama, akan terkucilkan—bahkan diserupakan dengan infidel. Alih-alih menciptakan harmoni, semua itu kemudian menciptakan masalah serius yang disebut sebagai perseteruan beragama. Ranahnya dua arah, yaitu internal dan eksternal. Keberagamaan pun jadi tidak sehat: hanya melahirkan masalah tanpa ujung.

Mengapa itu terjadi? Jawaban paling simpel, boleh jadi, adalah ‘politik’. Keberagamaan melahirkan solidaritas eksklusif yang agresif. Umat Hindu sesama Hindu berpangku tangan memerangi umat Muslim di Indonesia. Mereka yakin, jika populasi Muslim mencapai tiga puluh persen penduduk India, pengikut Hindu merasa terancam. Perseteruan pun tidak kunjung usai; yang ternyata diakomodasi secara politis oleh pemerintah.

Di Indonesia, ada umat Islam yang ingin meresponsnya secara reaktif. Mereka ingin melakukan hal yang sama kepada umat Hindu, sebagaimana yang Hindu yang lakukan kepada umat Islam di Indonesia. Contoh Hindu dan Islam ini tak jauh berbeda dengan di Eropa dan Amerika, ketika umat Kristiani kena sindrom islamofobia. Pembakaran Al-Qur’an di Swedia direspons dengan pembakaran Kedubes Swedia di Irak. Semuanya adalah tentang keberagamaan, bukan?

Saya menyebut semua itu sebagai keberagamaan yang kekanak-kanakan (childish religiosity). Fenomena inilah yang, menurut saya, menjadi pangkal perseteruan antarumat beragama hari-hari ini. Keagamaan dipahami tidak secara dewasa; beragama tidak melepas pemeluknya dari kekanak-kanakannya. Terorisme pun terjadi karena hal itu. Agama menjadi semacam geng, yang kerap konflik antarsatu dengan yang lainnya. Perdamaian? Sayang sekali, bak dipaksakan.

Yahudi-Kristen-Islam

Childish religiosity jelas bukan fenomena baru. Di kampung-kampung, misalnya, dengan keberislaman yang eksklusif, dan didukung juga dengan komunitas yang terbatas, keagamaan menjelma sebagai sesuatu yang rigid; hitam putih; benar salah; surga neraka. Cara beragama ditonjolkan dengan perilaku, sikap, atau tindakan yang dangkal dan kurang matang. Pelakunya bukan anak-anak, tetapi pemeluk agama dewasa yang naif dan kekanak-kanakan.

Mereka yang childish tidak mampu merenungkan esensi agama. Militansinya sekadar hasil taklid, dan mereka menjalani praktik-praktik keagamaan sama sekali tanpa pemahaman mendalam. Sembahyang, misalnya, ada dalam Yahudi, Kristen, dan Islam. Esensinya adalah penghambaan—penyembahan. Tetapi childish religiosity tidak sampai berpikir ke ranah substantif tersebut. Mereka melakukannya sekadar ikut-ikutan dan absen dari refleksi mendalam.

Selain itu, mereka juga memiliki kecenderungan superfisial. Interpretasi literal terhadap ajaran agama, bahkan teks keagamaan itu sendiri, kerap kali menegasikan aspek moral, etika, atau nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, childish religiosity memuat ortodoksi keagamaan yang mengklaim diri sebagai yang paling benar, paling dekat Tuhan, paling ahli surga. Di suatu negara, mereka bahkan mengklaim paling berhak tinggal dengan cara mendiskriminasi yang berbeda.

BACA JUGA  Ramadan: Melihat Janji Manis Aktivis Khilafah yang Harus Dibasmi

Childish religiosity juga anti-berpikir kritis. Mereka menerima keyakinan atau tindakan tanpa merenungkan implikasi dan konsekuensi yang lebih luas, apakah itu melanggar maqashid al-syariah, HAM, hukum internasional. Karena itulah, mereka memiliki sikap anti-keragaman. Childish religiosity tidak mampu berinteraksi dengan pandangan agama lain, atau merespons perbedaan dengan pemahaman yang terbuka dan toleran.

Apakah Yahudi, Kristen, dan Islam mengajarkan keberagamaan semacam itu? Jelas tidak. Agama mengajarkan kemanusiaan dan inklusivisme, namun keberagamaan pemeluknya sering kali mengkorupsinya. Karenanya, yang childish bukan agama, melainkan pemeluknya. Hinduisme tidak ada bedanya dengan semitisme; sama-sama tidak dewasa. Sebagian umat Muslim di negara ini juga demikian. Ironisnya, kekanak-kanakan tadi kadang sengaja didesain.

Menjahit Perdamaian

Bagaimana childish religiosity dapat terlihat? Jawabannya, jika sudah bergesekan dengan yang namanya politik. Atau juga, misalnya, perbedaan yang dianggap prinsipil. Di Indonesia, childish religiosity tampak di kalangan umat Muslim. Sebagai agama mayoritas, segelintir umat Muslim ingin mendominasi yang lain tidak hanya dalam hal jumlah, tetapi juga kebijakan nasional. Bahwa Islam harus mengatur ini dan itu, lebih berhak daripada agama-agama lainnya.

Di India, childish religiosity marak di kalangan Hindu. Mereka merasa terancam karena eksistensi Islam dan menjadikan perseteruan sebagai jalan akhir. Artinya, di banyak negara, ia menjadi pangkal perseteruan antarumat karena berbagai kepentingan. Maka untuk menjahit perdamaian antarumat, hulu masalah tadi perlu diatasi: umat beragama mesti beragama secara dewasa dalam artian tidak naif dan rigid. Perdamaian, di tengah childish religiosity, adalah kemustahilan.

Pendidikan agama yang holistis, kontekstualisasi nas-nas keagamaan, juga keterbukaan terhadap perbedaan merupakan bekal dalam menjahit perdamaian. Agama mesti dikembali ke relnya yang sejati: ketundukan kepada Tuhan hingga mengoptimalisasi belak-kasih terhadap sesama. Agama mesti berperan menyatukan, bukan mencerai-beraikan lantaran egoism masing-masing pemeluknya. Mau Islam, Kristen, Yahudi, Hindu atau apa pun, perdamaian adalah segalanya.

Itu yang menjadi tugas bersama ke depan. Tidak hanya Muslim, umat Kristen juga tidak boleh abai dengan childish religiosity. Juga bukan sekadar di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Childish religiosity tidak hanya melahirkan perseteruan tanpa akhir, tetapi juga menghilangkan esensi keberagamaan itu sendiri. Dan karena masalah ini ada di pengikut agama, maka yang harus berbenah adalah umat beragama itu sendiri.

Antitesis childish religiosity ialah beragama secara dewasa, yang mengedepankan persatuan, kerukunan, keterbukaan, dan kesalehan universal. Surga, meminjam istilah Quraish Shihab, terlalu luas untuk dikaveling umat Islam saja, atau umat Kristen saja, atau bahkan Hindu saja. Tuhan bukan entitas yang sempit. Beragama secara childish tidak akan membawa maslahat, justru ia mengekalkan seluruh umat manusia dalam konflik, seteru, dan perang abadi. Ironi.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru