31.9 C
Jakarta

Literasi, Komunitas, dan Hal-hal Sekitarnya

Artikel Trending

KhazanahLiterasiLiterasi, Komunitas, dan Hal-hal Sekitarnya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pergi ke Yogyakarta adalah mula-mula pelepasan. Begitu gurau saya ketika ditanyakan mengapa pilihan sederhana saya menentukan masa depan adalah kota yang “langgeng” dengan sebutan kota pelajar itu. Dalam beberapa hal, Yogyakarta seperti temali yang kemudian mengikat-erat tubuh saya sehingga menimbulkan kesan kuat; betapa meninggalkannya adalah kekalahan kedua.

Kekalahan pertama saya adalah terlalu jarang menulis dan membaca. Karena memang, terutama dalam peningkatan kerja kreatif, terlalu naif jika kita tidak menempatkan kota ini sebagai salah satu kota yang memiliki pergerakan intens terhadap pola pikir peradaban dan gerak dinamis bangsa. Atas anggapan sederhana tersebut, saya pun memulai harapan lebih dekat dengan budaya setempat.

Saya mengira, pembelajaran kampus tidak pernah betul-betul mengayak kepribadian saya menjadi lebih baik. Pengetahuan akan mengalir deras jika saya dapat mengkomparasikan apa yang diperoleh antara luar dan dalam kampus.

Setelah itu saya berkenalan dengan komunitas-komunitas yang terserak di sudut-sudut kota. Dan akhirnya saya masuk terus ke dalamnya. Dan tentu perkara selanjutnya mudah ditebak, saya terperangkap dalam kegiatan-kegiatan menyenangkan tersebut.

Ruang Komunitas

Setelah hampir tiga tahun menikmati dunia Yogyakarta beserta komunitas-komunitas yang terserak di dalamnya, saya memiliki pertanyaan-pertanyaan kecil yang susah ditanggapi dengan cepat dan tangkas.

Sebetulnya, sejauh mana ruang komunitas dapat mengambil perhatian kita terhadap suatu hal? Katakanlah dalam proses penguatan literasi. Pertanyaan tersebut, setelah dipertimbangkan cukup lama, saya mulai berpikir bahwa jawabannya ada setelah saya menyelesaikan hasrat untuk tinggal di Yogyakarta.

Tetapi tentu, pertimbangan tersebut belum sepenuhnya benar. Bisa saja saya menjawab dengan pragmatik, bahwa ruang komunitas dapat mengambil perhatian hingga tidak ada yang menarik atau kepentingan tertentu di dalamnya. Meski begitu, jawaban tersebut akan berguna jika saya berada dalam komunitas yang terstruktur dan terorganisir. Sejauh ini, saya cukup intens bergiat di komunitas yang satu-satunya asas kehidupannya adalah kekeluargaan.

Ruang komunitas dengan dasar kekeluargaan tentu secara harfiah tidak terlalu mengikat, akan tetapi jika ditilik dari kacamata batiniah, ikatan tersebut semakin tampak jelas sebab ikatan tersebut tidak hanya berpretensi kepada persoalan komunitas saja, akan tetapi juga dengan setiap individunya. Dan itulah iklim kebanyakan komunitas di tanah Yogyakarta.

Perjumpaan dengan Kutub

Dari sekian banyak komunitas yang saya “tumpangi” basecamp-nya, yang paling saya rasakan berkesan adalah Komunitas Kutub. Sebetulnya, ini bagi saya, adalah komunitas paling sederhana daripada yang lain. Bayangkan, dalam beberapa tahun terakhir saja, komunitas ini hanya memiliki kurang lebih sembilan hingga lima belas anggota. Hampir selalu, ketika ada yang sudah berhenti, anggota baru tiba dengan hasrat-hasrat serupa.

Komunitas Kutub sendiri berada lumayan jauh dari hiruk-pikuk Yogyakarta. Jika kalian sedang bermain ke ISI Yogyakarta, berarti hanya butuh tiga menit akan sampai ke tempat kegiatan komunitas tersebut. Tetapi meski begitu, komunitas ini sudah cukup terkenal di kalangan komunitas lain di Yogyakarta.

Selain waktu berdirinya sekitar 20-an tahun, komunitas ini juga didirikan oleh seseorang yang berpengaruh di masa itu, yakni alm. Zainal Arifin Toha. Suatu ketika, saya diceritakan senior Kutub, bahwa alm. Zainal Arifin Toha adalah guru Yogyakarta dan saat wafatnya, hampir seluruh media cetak menjadikan hedline beliau sebagai tajuk utama.

BACA JUGA  Giat Literasi dengan Menulis Sastra Moral

Terlepas dari hal itu, pertama kali saya tiba di komunitas ini cukup unik. Mulanya, saya di kontrakan teman di sekitar kampus UIN Sunan Kalijaga, lalu mengabarkan kepada anggota-anggota lain bahwa sore itu akan berangkat menuju basecamp Kutub. Diberilah saya alamat via maps oleh salah satu anggota yang saya kenal.

Saya pun, karena waktu itu belum memiliki motor, menggunakan jasa Go-Jek untuk sampai. Tetapi sialnya, go-jek hanya bisa sampai di jalan raya, tidak dihantar ke titik asli komunitas.

Alhasil, karena kebetulan paket data internet saya sedang habis, saya ke sana kemari di sekitar jalan raya menanyakan alamat Komunitas Kutub tersebut. Sampai azan berkumandang saya belum menemukan alamat aslinya. Setelah capai mencari, akhirnya ada orang berbaik hati memberikan hotspot untuk saya sehingga dapat menanyakan lebih lanjut di mana titik asli tempat Komunitas Kutub itu berada.

Dengan gembira dan sedikit capai, saya berjalan mengikuti alamat dengan titik paling akurat yang ditunjukkan Google Maps. Setelah sampai dengan sedikit berkenalan kepada anggota lain, saya pun beristirahat sebentar karena sehabis Isya, kata kawan-kawan lain, akan ada kegiatan rutin komunitas.

Kegiatan Rutin

Bagi saya, apa yang diupayakan komunitas ini cukup memberikan dampak bagi perkembangan intelektual. Karena hampir seluruh kegiatan didominasi oleh literasi dan diskusi. Kegiatan rutin komunitas kutub setidak-tidaknya ada tiga. 1) Kajian sastra, 2) Kajian Ilmiah, dan 3) Editorial. Dalam ketiga kajian tersebut, ditopang dengan budaya membaca yang tinggi. Buku-buku dari berbagai disiplin ilmu rapi dipajang demi meningkatkan wawasan anggotanya.

Saya akan berikan gambaran kecil mengenai tiga kajian tersebut. Dalam kajian sastra, seorang yang telah ditunjuk menjadi pemantik akan memberikan ulasan dalam dua tugas yaitu, tulisan berupa esai dan juga membincangkan persoalan yang diangkat secara luas dalam diskusi.

Sedangkan audiens diharapkan memberikan tanggapan-tanggapan kritis terhadap argumentasi pemantik. Persoalan yang diangkat harus berkutat dalam lingkup sastra, terutama prihal karya sastra baik itu milik anggota atau karya sastra dari penulis terkenal.

Sedangkan, dalam kajian ilmiah mekanisme kegiatan hampir serupa dengan kajian sastra. Bedanya, kajian ilmiah yang diangkat menjadi perbincangan adalah tokoh terkemuka yang memiliki gagasan penting dalam bidangnya. Sedangkan dalam kajian editorial, lebih menekankan tentang teknik penulisan dan karakteristik media.

Harapan

Saya sangat terbantu dengan kajian-kajian tersebut. Dalam beberapa bulan setelah saya intens menerapkannya, saya kemudian mampu menembus media cetak maupun online cukup bergengsi di tanah air seperti koran Tempo atau Suara Merdeka misalnya. Pengetahuan saya meningkat sekaligus teknik berbicara saya dalam forum juga semakin baik.

Atas fakta-fakta tersebut, saya kira, upaya yang dilakukan Komunitas Kutub dalam menguatkan wawasan juga menyemarakkan literasi tanah air patut ditiru sebagai landasan awal menjadikan bangsa lebih jernih lagi mempersoalkan banyak hal, terutama dalam kegiatan baca tulis. Karena ketika iklim literasi tercapai, bukan tidak mungkin jika peradaban bangsa ini juga akan makin baik lagi.

M. Rifdal Ais Annafis
M. Rifdal Ais Annafis
Pengarsip dan bakul buku di TBM Kutub Yogyakarta. Memenangi beberapa sayembara penulisan seperti Payakumbuh Poetry Festival 2021. Buku sajaknya yang telah terbit, Artefak Kota-kota di Kepala (2021).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru