27.6 C
Jakarta

Buku Sastra Sebagai Pemantik Rasa Empati

Artikel Trending

KhazanahLiterasiBuku Sastra Sebagai Pemantik Rasa Empati
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Buku-buku sastra mewartakan rasa. Rasa itu terkemas dalam beragam gaya bahasa, strategi naratif, dan kekhasan dari setiap penulisnya. Rasa itu pula yang membuat kita terhubung dengan sesuatu hal manakala kita menyelami sebuah karya sastra.

Lewat satu karya yang membahas situasi mencengkam di Kamp Konsentrasi Nazi, barangkali kita bisa turut masuk dalam suasana itu, merasa bahwa situasi itu sedekat nadi kita, dan bisa membayangkan akan betapa menderitanya mereka, seperti digambarkan dalam novel Juru Tatto dari Auschwitz (The Tattooist of Auschwitz) karya Heather Morris.

Dari buku pula, kita bisa masuk ke situasi menyenangkan liburan di kapal yang mengarungi perairan Singapura ala Rachel Chu dalam novel Crazy Rich Asian (GPU, 2018) karya Kevin Kwan. Oleh sebab itu, sebuah buku  bisa menghadirkan beragam sensasi rasa dan pengalaman yang berbeda-beda.

Tentang hal ini, saya teringat petikan dialog dari salah satu novel Sosuke Natsukawa yang berjudul The Cat Who Saved Books (Picador, 2021), yang menyebut bahwa rasa yang utama bisa kita dapati dari buku adalah rasa empati. Buku, terutama buku sastra, mengandung buah pengalaman dan pandangan tertentu dari penulisnya atas suatu hal atau kejadian dalam sebuah zaman.

Sebagaimana kita tahu, mereka menyisipkan pesan-pesan tertentu terhadap pembacanya. Kadangkala pesan itu mudah tertangkap secara gamblang, tapi tak sedikit pula yang menyelimutinya hingga mengaburkan keberadaannya. Yang pasti, pesan itu selalu ada. Dan empati menyusup di antara pesan-pesan itu.

Kalau kita teringat novel-novel Sayaka Murata, kesan mengkritik tatanan sosial yang membelenggu individu barangkali akan langsung teringat. Di situ, ia pun memasukkan rasa empatinya terhadap sesama, keadaaan sekitar dan masyarakatnya, bahwa kesadaran akan situasi yang membelenggu itu, yang dikritiknya lewat novelnya, dimaksudkan pula untuk memantik rasa empati pembacanya.

Kepedulian dan kesadaran itu pun tidak berhenti pada dirinya saja, tetapi juga mesti disalurkan seluas mungkin. Manakala pembaca menengok karya-karyanya, ia berharap pembaca bisa menyadari adanya permasalahan serupa, sehingga rasa empati yang ada dalam diri mereka pun tumbuh.

Namun, apakah pembaca buku selalu sadar akan rasa itu? Kita bisa mengatakan dalam beberapa taraf tertentu, kesadaran itu ada di tingkat rendah. Sebab, ada orang yang memperlakukan buku tidak lebih sebagai barang jualan yang melulu berorientasi laba. Penerbitan buku dilakukan secara masif, tetapi tanpa memperdulikan nilai dari buku itu sendiri.

Mereka seperti hanya mengalihbentukan lembaran kertas menjadi tumpukan kertas bersampul, bertuliskan satu nama, dan berjudulkan sebuah judul. Pasar pun menyerap mereka tidak lebih seperti barang belian yang nihil luhur harganya, pasar juga membuatnya terperosok, hilang, kemudian digantikan dengan tumpukan kertas lain yang baru keluar dari penerbitan. Oleh karenanya, bisa saja keberadaan sesuatu yang nantinya memantik empati itu teracam tak terendus sama sekali.

BACA JUGA  Menulislah, Ide Itu Begitu Berharga

Di sisi lain, ada pula pembaca yang justru memperlakukan buku sebagai barang yang dipenjarakan semata. Mereka menyimpan buku-buku dalam kotak kaca, menyusunnya secara apik, tetapi hanya menjadikan mereka tak lebih sebagai hiasan rumah. Tumpukan buku itu justru dibuat untuk menampilkan kesan intelektual dari si pemilik rumah, sementara perkara apakah ia membacanya atau tidak, itu masih dipertanyakan.

Selain itu, ada juga tipe pembaca yang kerap membaca cepat, lalu buru-buru menyimpulkannya. Kendati hal ini bisa dipandang sah-sah saja, tetapi kita juga patut mempertanyakan, apa yang didapat dari proses pembacaan semacam itu? Apakah mereka menikmati proses pembacaan itu sendiri?

Pada akhirnya, upaya itu hanya fokus pada target jumlah bacaan tertentu, tanpa memperhatikan hal-hal yang hanya bisa didapat saat kita membacanya perlahan dengan perhatian yang lebih dalam.

Sialnya lagi, laku itu bisa membuat kita terjebak dalam situasi ketika buku melulu berisi informasi semata, sebab rasa yang barangkali hadir di dalamnya abai kita selami atau nikmati. Padahal, terkadang rasa itu yang lebih esensial, rasa itu yang membuat kita tidak lupa terhadap buku-buku yangg telah kita baca. Rasa itu yang meninggalkan satu kesan dalam benak kita setamat membacanya. Rasa itu yang bisa saja membentuk empati kita.

Rasa itu juga yang membuat kita mendapatkan kesadaran kalau buku mengandung hal-ihwal kemanusiaan itu sendiri. Dengan membacanya, kita bisa mengenal satu peradaban tertentu dengan berbagai kejolak kemanusiaan yang termaktub di dalamnya.

Ia menghadirkan gambaran kehidupan yang barangkali rusak, carut-marut, di samping pula semangat untuk menggapai suatu harapan. Rasa itu lantas membuat kita peduli terhadap sesama, keadaan di sekitar kita, atau atas satu keadaan di tempat lainnya.

Selain itu, adanya beragam perbedaan, dari mulai pemikiran, pengalaman, identitas, penderitaan, dan perjuangan dalam sebuah buku membuat kita dapat menghadirkan percik-percik kebijakan dalam diri kita. Dari proses membacanya, mengindikasikan semua hal itu, membuat kita berada dalam proses pemahaman yang nantinya bisa berujung pada kebijakan dalam memandang suatu hal. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila kita mendengar orang yang mendapat satu kesadaran akan sesuatu hal setelah menamatkan sebuah buku.

Katakanlah, dari buku-buku seperti Breasts and Eggs (Picador, 2020) karya Mieko Kawakami atau Tarian Bumi (GPU, 2000) karya Oka Rusmini, pembaca jadi bisa berempati pada perempuan yang masih terbelenggu dalam masyarakat patriarkis yang menghadirkan ketidaksetaraan gender. Atau, seperti pada novel yang disebutkan sebelumnya, Juru Tatto dari Auschwitz (The Tattooist of Auschwitz) karya Heather Morris, pembaca jadi bisa berempati pada mereka yang menjadi korban kekejaman rezim Nazi.

Dengan membaca karya-karya itu, empati pembaca jadi terpantik, dan untuk sampai pada level kesadaran itu, barangkali memang kita mesti menganggap bahwa buku (sastra) tidak sebatas setumpukan halaman yang ingin lekas-lekas dituntaskan atau melulu dikerangkeng sebagai pajangan.

Wahid Kurniawan
Wahid Kurniawan
Pegiat literasi. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru