27.6 C
Jakarta

Bermakmum kepada Penguasa yang Tidak Menerapkan Hukum Allah, Benarkah?

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanBermakmum kepada Penguasa yang Tidak Menerapkan Hukum Allah, Benarkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Negara dan agama seringkali dibenturkan. Ada yang mengatakan bahwa negara harus tunduk kepada agama, karena agama adalah sesuatu yang sakral. Ada yang lain berpendapat, bahwa negara tidak bisa diatur oleh agama. Di tengah perdebatan yang tak kunjung selesai ini, muncul kelompok radikal yang cukup eksklusif dalam memahami teks, sehingga mengkotak-kotakkan negara menjadi dua: negara Islam dan negara kafir.

Pengkotakan negara tersebut dibangun dari pemahaman kelompok radikal yang cukup sempit terhadap teks, sehingga mengantarkan mereka salah paham. Mereka memahami surah al-Maidah ayat 44, 45, dan 47 dengan keliru. Memang secara tekstualis ayat tersebut menyebutkan, bahwa siapapun yang tidak memutuskan suatu keputusan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu termasuk orang-orang kafir, orang zalim, dan orang fasik. Hukum Allah, bagi kelompok radikal, adalah apa yang tertera dalam Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan.

Pemahaman kelompok radikal yang keliru ini cenderung mengantarkan mereka menjadi pribadi yang ekstrem. Mereka gampang mengkafirkan suatu negara yang tidak menggunakan sistem Islam, salah satunya Negara Indonesia yang dibangun dibawa sistem demokrasi. Klaim kafir ini tidak segan-segan dilayangkan kepada negara merah putih ini, meski penduduknya mayoritas muslim. Hampir jutaan penduduk di negara ini menjadi bagian dari organisasi keagamaan bernama Nahdlatul Ulama (NU) yang dibangun oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Di dalam organisasi NU ini, dan juga organisasi yang senafas seperti Muhammadiyyah, Persis, dan masih banyak yang lainnya, terdapat prinsip-prinsip dasar yang dipegang, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi (wasathiyyah). Moderasi menjadi penengah antara pemeluk agama yang berbeda-beda di Indonesia, mulai pemeluk agama Islam hingga pemeluk agama Konghuchu. Moderasi ini termasuk bagian dari ajaran Islam yang pernah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Saw. ketika dihadapkan dengan umatnya berbeda secara keyakinan. Nabi Saw. tidak gampang kalap melihat perbedaan itu, melainkan beliau menyikapinya dengan santun.

Kembali kepada sistem suatu negara, sesungguhnya tidak harus dibangun di bawah kekuasaan Islam. Karena, yang dibutuhkan dalam kehadiran agama langit ini adalah nilai-nilai globalnya, bukan bentuknya. Nilai-nilai moderasi seperti yang disinggung tadi itu yang paling penting dihadirkan di tengah masyarakat yang berbeda, baik pemikiran maupun keyakinan. Dengan menghadirkan nilai moderasi, semisal keterbukaan pemikiran dan menjunjung tinggi kemanusiaan, suatu negara suata dapat dikatakan Islami, meskipun tidak menyebut dirinya dengan label “Negara Islam”.

BACA JUGA  Satu Hal yang Sering Terlupakan Saat Memasuki Bulan Ramadhan

Pemahaman tentang negara Islam dan negara kafir itu jangan sampai terjebak dengan pandangan al-Maududi dan Sayyid Quthub yang menganggap bahwa sistem demokrasi yang dianut oleh hampir seluruh negara Islam saat ini sebaga salah satu bentuk penerapan hukum selain hukum Allah dan karenanya dianggap sebagai komunitas-negara kafir. Pandangan mereka berdua jelas tidak dapat dibenarkan. Sebab, menerapkan hukum selain hukum Allah itu bukanlah persoalan akidah (ushul), melainkan persoalan furu’ (syariat), sehingga melanggarnya tanpa merendahkan pelakunya termasuk golongan pendosa dan fasik, bukan kafir.

Tidak sependapat dengan pandangan kedua ulama tersebut, ath-Thabari memberikan pemahaman terkait ayat yang multitafsir itu bahwa: “Sesungguhnya telah kafirlah orang yang menentang (jahada) apa yang Allah turunkan. Akan tetapi, orang yang mengakui hukum Allah tetapi tidak menerapkannya, ia adalah orang yang zalim dan fasik.” Orang yang pantas diklaim itu, dalam pandangan syaikh mufassirin ini, adalah mereka yang menentang dengan tidak menerapkan hukum Allah. Al-Qurthubi menguatkan bahwa orang muslim melakukan pelanggaran dosa besar, ia bukanlah kafir.

Meskipun pelanggaran dengan tidak menggunakan hukum Allah dalam suatu negara itu kafir, maka Ibnu Qayyim mencoba membedakan status kekafirannya dalam dua macam: kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar adalah kekufuran yang menyebabkan seseorang keluar dari agama sehingga kekal di neraka, sedangkan kufur kecil menyebabkan pelakunya diancam siksa neraka namun tidak kekal di dalamnya. Kufur besar membuat pelakunya keluar dari agama, sementara kufur kecil tidak sampai membuat pelakunya keluar dari agama. Kufur kecil ini dalam konteks pembahasan ini adalah tidak menggunakan hukum Allah dalam suatu negara. Ibnu Abbas menyebutkan, bahwa kekufuran semacam ini tidak sampai mengeluarkan seseorang dari Islam.

Sebagai penutup, sudah jelas bahwa klaim kafir yang dilayangkan oleh kelompok radikal adalah penafsiran yang keliru. Mereka cenderung membatasi ayat sesuai dengan pemahaman mereka saja. Mereka tidak melihat pandangan pakar tafsir terdahulu, seperti ath-Thabari, al-Qurthubi, dan Ibnu Qayyim yang memahami ayat tersebut dengan pemikiran yang luas. Bahwasanya, kekufuran yang dimaksud dalam tiga ayat itu bukanlah kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Maka dari itu, tidak heran jika organisasi sebesar NU tetap mengapresiasi sistem demokrasi yang berlaku di Negara Indonesia.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru