31.5 C
Jakarta

Benarkah Plularisme Agama Itu Ideologi yang Cacat?

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBenarkah Plularisme Agama Itu Ideologi yang Cacat?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Pluralisme Agama: Dari Pandangan Hidup Ke Praktik Kehidupan, Penulis: Hamid Fahmy Zarkasyi, Anis Malik Thoha, Adian Husaini, dkk., Penerbit: Centre For Islamic and Occidental Studies (CIOS) dan Program Studi Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Darussalam Gontor, Cetakan: I, 2022, Tebal: 237 Halaman, ISBN: 978-623-99845-1-9, Peresensi: Muhammad Afiruddin

Harakatuna.com – Pluralisme agama merupakan paham yang menawarkan kerukunan antarumat beragama. Namun kenyataannya, pluralisme agama justru menjadi boomerang bagi eksistensi agama itu sendiri. Agama seolah-olah menjadi tempat persinggahan sementara dan tidak memiliki keterikatan yang pasti. Padahal agama memiliki keterikatan yang tidak bisa dibikin seenaknya sendiri bagi setiap pemeluknya.

Dalam buku antologi Pluralisme Agama: Dari Pandangan Hidup Ke Praktik Kehidupan menjelaskan perihal kecacatan pluralisme yang telah merasuki pikiran banyak umat manusia terutama umat Muslim.

Diawali pandangan dari Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi yang menjelaskan kedudukan agama pasca-modernisme bahwa agama mengalami pergeseran pemahaman makna yang tajam. Hal ini diakibatkan oleh alur pemikiran Barat yang menghegemoni pemahaman tentang agama tidak lagi sesuai dengan sumber-sumber nilainya, dan menjadikan agama sebagai sesuatu yang bernilai relatif.

Salah satu pikiran yang berpengaruh adalah doktrin nihilisme yang dipopulerkan oleh Nietzsche. Sederhananya doktrin ini membawa pada paham bahwa Tuhan telah mati. Jadi, nihilisme ini membawa perubahan kebenaran ke dalam nilai, tetapi nilai yang diwarnai oleh kepercayaan dan opini manusia.

Pada titik ini, pemikiran kebenaran diagungkan. Padahal pemikiran itu tidak lebih dari nilai-nilai subjektif yang boleh jadi salah seperti kepercayaan dan opini manusia yang lain.

Sebuah keniscayaan jika setiap agama lahir dengan klaim kebenarannya masing-masing, baik secara eksplisit atau implisit. Apakah klaim tersebut valid atau tidak, rasional atau irasional adalah hal lain. Namun perlu diketahui bahwa Islam menyuguhkan hal tersebut tidak secara dogmatis melainkan secara rasional kritis.

Prinsip rasional ini menurut Anis Malik Thoha terlihat secara jelas dalam Al-Qur’an ketika merespons atau memberikan solusi terhadap klaim-klaim yang dibuat oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani (QS. Al-Baqarah: 111-112 dan 135, QS. Al-Ma’idah: 18).

Meski demikian ayat-ayat di atas tidak bermaksud mereduksi klaim-klaim kebenaran agama lain, justru Islam tetap mengapresiasi eksistensi mereka dan membiarkan hidup sesuai dengan keyakinan mereka yang absolut dan eksklusif (QS. Ali Imran: 20 dan 63).

Adian Husaini dalam tulisannya berjudul Pluralisme Agama dan Problem Teologi Kristen membaca konsep pluralisme agama tidak lain hanyalah upaya barat untuk menyebarkan nilai-nilainya dan problem-problem internalnya demi meneguhkan hegemoninya.

Bahkan di Indonesia pluralisme disebarkan bukan dari wacana teologis, melainkan dari realitas sosial apalagi realitas sosial bangsa Indonesia yang plural menjadi alasan utama perlunya gagasan ini diterima. Pluralisme tak jauh berbeda dengan sekularisme yaitu ‘sejenis senjata pemusnah massal’ terhadap keyakinan fundamental agama.

Realita berbicara bahwa pluralisme agama yang digadang-gadang akan menjadi konsep alternatif kerukunan antarumat beragama justru gagal mendefinisikan dirinya sendiri. Harda Armayanto mengungkapkan hal ini karena telah terjadi pergeseran makna pluralisme itu sendiri.

BACA JUGA  Penanganan Terorisme di Indonesia: Perspektif Kebijakan Hukum Pidana dan Non-Pidana

Dari kondisi hidup bersama antaragama yang berbeda-beda dalam satu komunitas, dengan tetap mempertahankan ajaran masing-masing. Agama menjadi konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik, sehingga tidak memandangnya sebagai suatu sistem sosial.

Jika melihat fakta dalam upaya membangun kerukunan, Islam telah lama menjunjung tinggi dan menghargai pluralitas agama. Sejak lahir, Islam telah bersentuhan dengan ragam agama, ras, suku, dan tradisi. Islam dapat hidup rukun dengan mereka, namun tidak lantas mengakui kebenaran yang ada dalam agama-agama itu.

Meskipun Islam mengajarkan prinsip kebebasan dalam beragama (QS. Al-Kafirun ayat 6), namun di saat yang sama juga tegas melarang seorang Muslim keluar dari Islam. Maka jelas perintah Islam menunjukkan kebebasan yang bertanggung jawab, bukan kebebasan yang tanpa batas.

Kedudukan Islam di tengah pluralitas agama bukan tanpa dasar. Kebebasan berkeyakinan itu juga telah terjamin dalam Islam melalui QS. Al-Baqarah ayat 256. Tidak dibenarkan memaksa orang lain memeluk Islam, karena sebagai agama yang benar Islam tidaklah membutuhkan hal tersebut. QS. Al-Baqarah ayat 256 itu sekaligus menepis tuduhan bahwa Islam disebarkan dengan kekerasan dan pedang.

Qosim Nurseha Dzulhadi dan Mari Ulfa dalam karyanya Mendudukkan Konsep Kebebasan Beragama Dalam Islam menegaskan hal ini bahwa beragama dalam Islam dengan kesadaran akal, bukan paksaan. Penggunaan akal dalam beriman menunjukkan letak rasionalitas akidah Islam sehingga Islam hanya bisa dianut bagi mereka yang sudah akil balig.

Pluralisme agama sebagai sesuatu yang bernilai relatif tentunya tidak membenarkan jika ada yang mengklaim satu agama yang paling benar. Kholid Karomi dalam tulisannya, Benarkah Ibnu ‘Arabi Penganut Pluralisme Agama?, menyatakan ungkapan agama cinta bukan berarti mencintai kebenaran semua agama yang memiliki esensi yang sana dengan corak berbeda-beda. Ini cinta yang salah karena tidak sesuai syariat Allah. Agama cinta yang dimaksud adalah Islam. Fattabi’ūnī yuhbibkumullāh.

Dalam menjalankan hubungan antaragama, muncul konsep kalimat sawā’ dalam Islam. Harda Armayanto dan Adib Fattah Suntoro menjelaskan kalimat sawā’ adalah kalimat tauhid, bukan common word atau common platform yang berpaham semua agama sama dan setara.

Membaca buku ini, kita diajak untuk berpikir lebih kritis lagi tentang pluralisme agama. Selaiknya sebuah solusi, tapi justru menambah ironi dalam menjembatani kerukunan hubungan antarumat beragama.

Agama justru dibuat saling tabrak-menabrak. Tidak malah membuat harmoni keberagaman. Seseorang akan dibuat kabur keberagamaannya jika tidak cermat membaca fenomena pluralisme agama ini. Sebab paham ini telah lama muncul dan menyebar luas di berbagai kalangan.

Dalam buku ini dijelaskan secara runtut bagaimana kedudukan agama, kemunculan paham pluralisme hingga mendudukkan konsep kebebasan beragama yang berdasarkan asas-asas keislaman. Semoga dengan membaca buku ini bisa menjadi wasilah agar tidak terjerumus ke lubang buaya bernama kecacatan pluralisme agama.

Muhammad Afiruddin
Muhammad Afiruddin
Alumni STIQSI Lamongan. Guru MIM 14 Pambon.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru