29.5 C
Jakarta

Penanganan Terorisme di Indonesia: Perspektif Kebijakan Hukum Pidana dan Non-Pidana

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuPenanganan Terorisme di Indonesia: Perspektif Kebijakan Hukum Pidana dan Non-Pidana
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Penulis: Ali Masyhar, Judul: Gaya Indonesia Menghadang Terorisme: Sebuah Kritik atas Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Bahasa: Indonesia, Kota Terbit: Bandung, Jawa Barat, Penerbit: Mandar Maju, ISBN: 978-979-538-338-3, Halaman: Xiii, 355 halaman, 26 cm, Peresensi: Harmaji.

Harakatuna.com – Ada banyak tesis menarik dalam dua buku yang ditulis oleh Ali Masyhar. Buku pertama yang berjudul “Gaya Indonesia Menghadang Terorisme: Sebuah Kritik atas Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia” memiliki setidaknya tiga tesis. Tesis pertama dikutip dari Muladi dan Arief yang menyatakan bahwa pemberian hukuman pidana kepada seseorang tidak semata-mata karena orang tersebut telah melakukan suatu kejahatan.

Hukuman diberlakukan dengan tujuan agar tidak ada yang melakukan kejahatan. Tesis ini menarik karena dalam kenyataannya di lapangan, hukuman pidana diberlakukan terhadap orang yang telah melakukan suatu kejahatan. Pemberian hukuman pidana dilakukan setelah cukup bukti dan berdasarkan keputusan pengadilan bahwa seseorang telah melakukan kejahatan dan harus dihukum pidana (hlm. 154).

Hal ini berarti bahwa jika tujuan hukum pidana seperti yang dijelaskan dalam tesis pertama, maka penerapan hukum pidana di lapangan belum sesuai dengan tujuan hukum pidana. Hampir semua orang yang telah dijatuhi hukuman pidana karena orang tersebut telah melakukan suatu kejahatan.

Pertanyaannya adalah apakah orang tersebut tidak memahami hukuman pidana atau aparat penegak hukum tidak memahami tujuan hukuman pidana sehingga orang yang telah melakukan kejahatan selalu dipidana? Jika aparat penegak hukum menginterpretasikan tujuan hukum pidana sesuai dengan tesis pertama maka orang yang melakukan kejahatan tidak harus dipidanakan.

Hukuman pidana sebagai tindakan represif digunakan sebagai upaya terakhir. Aparat penegak hukum tidak harus melakukan tindakan pidana terlebih dahulu. Aparat penegak hukum dapat melakukan upaya lain seperti upaya non-pidana. Jika upaya non-pidana lebih dominan maka tujuan hukuman pidana akan tercapai. Hal ini berarti bahwa seseorang yang melakukan kejahatan tidak harus dijatuhi hukuman pidana tetapi dapat dilakukan dengan upaya lain yang lebih manusiawi.

Tesis kedua dari buku Ali Masyhar adalah bahwa hukum pidana yang terdapat dalam KUHP terlalu ringan. Selain itu, pelaku intelektual tidak dapat dihukum dengan tegas.

Pelaksanaan hukum pidana juga memakan waktu yang lama karena harus dipertautkan dengan hukum acara pidana atau hukum formal (hlm. 155-156). Tesis ini setidaknya dapat menyimpulkan bahwa hukum pidana dan penerapannya memiliki masalah yang substansial. Masalah yang terkandung dalam hukum pidana adalah kurangnya hukum pidana sebagaimana disebutkan dalam tesis kedua.

Kekurangan dalam hukum pidana seharusnya diperbaiki agar hukum pidana memiliki nilai yang adil. Selain itu, penerapan hukum pidana dapat mencapai keadilan. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana perlu dievaluasi dan diperbaiki. Kebijakan hukum pidana yang banyak terdapat dalam KUHP perlu diganti.

KUHP yang digunakan saat ini memiliki banyak kekurangan dan menyebabkan tidak tercapainya nilai keadilan. Karenanya, ia harus segera diganti agar masalah dan kekurangan di dalamnya dapat dieliminasi atau diminimalkan, terutama dalam substansi dan penerapannya.

Selain itu, hukum acara pidana yang terdapat dalam KUHAP juga perlu direvisi atau diganti. Hal ini bertujuan agar antara KUHP dan KUHAP dapat bersinergi dan menjawab tantangan era masa depan yang semakin kompleks, terutama dalam masalah tindak pidana terorisme.

Tesis ketiga yang terdapat dalam buku ini ialah terkait dengan demokrasi. Tesis ini menyatakan bahwa demokrasi merupakan bagian dari upaya menanggulangi tindak pidana terutama kejahatan terorisme. Hal ini karena dalam demokrasi terdapat upaya persuasif, negosiasi, dan prioritas terhadap toleransi.

BACA JUGA  Peran Pesantren dalam Memberangus Radikalisme-Ekstremisme

Demokrasi juga melarang kekerasan dan paksaan. Demokrasi juga mempromosikan kebebasan dan keamanan rakyat, serta melindungi hak asasi manusia. Kondisi ini hanya dapat dicapai dengan melakukan kebijakan sosial bernilai demokratis. Ketika hal tersebut terjadi maka pencegahan terhadap terorisme dapat dilakukan (hlm. 177-178).

Jika demokrasi merupakan cara untuk mencegah terjadinya terorisme karena keunggulan demokrasi seperti yang disebutkan sebelumnya, pertanyaan berikutnya adalah mengapa negara-negara demokrasi besar sering kali terjadi tindak terorisme? Apakah negara tersebut tidak menerapkan demokrasi yang nyata? Atau pada kenyataannya demokrasi tidak dapat mencegah terjadinya terorisme?

AS dan Indonesia adalah negara demokrasi terbesar di dunia. Namun pada kenyataannya, di kedua negara tersebut sering kali terjadi tindak kejahatan terorisme.

AS sering diserang dengan tindakan terorisme seperti peristiwa di gedung WTC pada tahun 2001 silam dan peristiwa pemboman lainnya yang terjadi di kota-kota seperti Boston. Indonesia hampir sama. Setelah serangan bom pada tahun 2002, terorisme di Indonesia seperti balas dendam. Kejadian terorisme di Indonesia terus muncul termasuk Bom Bali II—pemboman di Hotel Ritz Carlton dan J.W. Marriott—dan yang terbaru adalah bom di jalan M.H. Thamrin Jakarta.

Belum lagi kejadian terorisme lainnya. Jumlah tindak kriminal terorisme yang terjadi di kedua negara demokrasi besar tersebut menunjukkan bahwa demokrasi sebagai sarana untuk mencegah tindakan kriminal terorisme mendapat pro dan kontra serta perdebatan yang besar.

Bagi beberapa negara demokrasi, demokrasi dianggap sebagai upaya untuk mencegah kejahatan terorisme. Mungkin juga bahwa di AS dan di Indonesia tindakan kriminal terorisme tidak disebabkan oleh demokrasi atau kedua negara tersebut adalah negara demokrasi tetapi tidak ada keseimbangan antara demokrasi dan upaya pencegahan lainnya.

Faktanya, tindakan kriminal terorisme dapat berkembang di negara demokratis. Oleh karena itu, kemajuan demokrasi harus disinergikan dengan penegakan hukum yang adil, perlindungan keamanan, kemakmuran, dan keberlanjutan bagi rakyat, serta toleransi.

Selain tiga tesis tersebut, ada satu tesis yang juga menarik dalam buku Masyhar ini: bahwa tindakan kontra kriminal harus dilakukan terlebih dahulu dengan upaya non-pidana. Jika upaya non-pidana tidak dapat mengatasi kejahatan maka baru digunakan upaya pidana. Hal ini karena upaya pidana tidak dapat mencapai penyebab kejahatan. Selain itu, upaya pidana yang menggunakan KUHP masih memiliki banyak kekurangan atau kelemahan (hlm. 69).

Tesis yang terakhir menarik untuk ditinjau karena menyatakan bahwa dalam mencegah tindakan kejahatan seharusnya menggunakan upaya non-pidana untuk mencapai penyebab tindakan kejahatan. Jika demikian, maka penegak hukum harus menangani pelanggaran hukum terlebih dahulu dengan memprioritaskan upaya non-pidana. Jika kebijakan non-pidana belum dibuat dalam bentuk produk hukum yang kuat, maka peran agen hukum sangat penting dalam menegakkan upaya non-pidana.

Penegak hukum harus terlebih dahulu memahami upaya non-pidana dan kemudian menegakkan upaya non-pidana yang adil dalam menangani pelanggaran hukum. Jika penegak hukum dapat memprioritaskan upaya non-pidana dalam menangani pelanggaran hukum maka penyebab pelanggaran hukum dapat diatasi. Selain itu, keadilan substansial akan lebih mudah dicapai.

Rujukan

Masyhar, Ali. 2008. Pergulatan Kebijakan Hukum Pidana dalam Ranah Tatanan Sosial. Semarang: UNNES Press.

__________. 2009. Gaya Indonesia Menghadang Terorisme: Sebuah Kritik atas Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Harmaji
Harmaji
Anggota Polrestabes Semarang. Mahasiswa Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru