27.8 C
Jakarta

Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Artikel Trending

KhazanahOpiniAntara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Diakui atau tidak, kita itu selalu gagal memahami “wajah” sesama kita yang lain. Konflik-konflik, dan tindakan intimidasi dan intoleran lainnya, menunjukkan bahwa kita itu belum sepenuhnya memandang wajah yang lain itu sebagai sesuatu yang mesti kita cintai dan kasihi.

Justru sebaliknya, kita malah selalu membenci dan merusaknya. Sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian, kita mestinya menempatkan sesama kita yang lain sebagai sosok yang mesti kita hormati dan cintai.

Manusia akan selalu hidup berdampingan dengan manusia lain, di mana pun ia berada. Seperti halnya kita selalu hidup dalam antara kumpulan-kumpulan orang lain yang berdampingan dengan diri kita. Manusia selalu mengikat dirinya dalam hubungannya dengan manusia lain.

Karena itu, dalam keragaman masyarakat yang kompleks tentu akan terjadi pola hubungan yang kompleks pula. Seperti yang terjadi dalam wajah kelompok Muhammadiyah dan NU, dua ormas besar Islam veteran Indonesia.

Kita akan coba mulai memahami hubungan antarsesama manusia menurut Jean-Paul Sartre. Hubungan antara manusia dengan manusia lainnya tercermin dalam konsep eksistensialisme yang dicetuskannya. Sartre sendiri meyakini bahwa manusia adalah “yang dipaksa untuk bebas”.

Artinya, kita sebagai manusia memiliki kebebasan mutlak untuk membuat pilihan dan menentukan arah hidup kita sendiri. Tetapi, di saat bersamaan, dengan kebebasan itu juga datang tanggung jawab penuh atas tindakan dan keputusan yang kita pilih.

Dalam konteks hubungan antarmanusia, Sartre menyoroti tentang ide bahwa manusia akan selalu menjadi objek bagi orang lain. Begitu juga sebaliknya. Saat kita berinteraksi dengan orang lain, kita melibatkan diri dalam dinamika kompleks ketika kita tidak hanya menjadi diri sendiri, tetapi juga menjadi bagian dari citra yang orang lain miliki tentang kita. Konsep ini disebutnya sebagai “pandangan (gaze) orang lain”.

Dalam hal ini, pandangan orang lain akan terus memengaruhi cara kita melihat diri kita sendiri dan membatasi kebebasan kita. Sartre, misalnya, menyatakan bahwa ketika seseorang menyadari bahwa ia sedang diamati, ia dapat merasa “tertahankan” atau “terbelenggu” oleh pandangan orang lain.

Hal demikian apabila tidak dipahami secara dewasa dan arif, tentu akan menciptakan konflik antara keinginan untuk menjadi diri sendiri dan tekanan sosial untuk memenuhi harapan diri atau—yang terkait dengan—norma, aturan, hukum, dan kuasa yang diberlakukan oleh sekumpulan masyarakat itu sendiri.

Dalam konsep “kejahatan ontologis” yang dipaparkan Sartre juga menyatakan bahwa keberadaan manusia adalah kejahatan dalam arti bahwa kita selalu berada dalam proses menjadi, dan kita tidak pernah menjadi entitas yang tetap.

Oleh karena itu, hubungan antarmanusia memang akan selalu diwarnai oleh ketidakpastian dan ketidakstabilan yang berseberangan. Ini sering terjadi di segala lini kehidupan. Termasuk dalam hal pilihan pemahaman terhadap tafsiran agama, seperti yang sering terjadi pada Muhammadiyah dan NU, misalnya dalam penetapan kapan berpuasa atau kapan lebaran.

Di sinilah, kalau kita tarik dalam persoalan terjadinya perilaku intoleran dan diskriminasi terhadap sesama lain, biasanya disebabkan oleh adanya pandangan masyarakat yang dimotori oleh harapan diri, norma agama, aturan kelompok, dan hukum kuasa yang kemudian membelenggu bahkan mengintimidasi masyarakat (baca: kelompok) yang lain.

Muhammadiyah-NU: Belajar Memahami Alteritas yang Lain

Kenapa warung prasmanan selalu lebih diminati banyak orang? Salah satu alasannya karena ada keragaman dan variasi menu yang disajikan. Sehingga tidak membosankan. Begitu juga hidup, selalu memiliki keragaman variasi. Anda misalnya tentu selalu menginginkan variasi koleksi baju, jam tangan, sepatu, bahkan mungkin pasangan (jika Anda mampu adil, umpamanya).

Artinya, perbedaan pendapat dan pandangan itu adalah hal yang lumrah sebagai sebuah napas kehidupan itu sendiri. Yang tidak lumrah adalah ketika Anda memaksakan napas pendapat dan pandangan Anda ke orang lain. Kecuali kalau memang sangat dibutuhkan napas buatan disalurkan.

Kalau agama saja tidak ada paksaan dalam hal pengimanannya, kenapa Anda malah hendak memaksakan pendapat atau pandangan Anda ke orang lain? Hidup tidak begitu! Biarlah orang lain hidup dengan cara mereka sendiri.

Kita tidak perlu iri kepada sesama yang lain, apalagi sampai menyakiti. Manusia harus lebih banyak belajar kepada tumbuhan dan hewan. Di kehidupan hewan misalnya, tidak ada satu jenis hewan pun yang iri kepada hewan yang lain.

Burung tidak pernah iri kepada ikan, dan ikan juga tidak pernah iri kepada singa yang dilabeli raja hutan. Mereka hidup dalam satu-kesatuan ritme kehidupan yang sama-sama ingin mencapai kebahagiaan, meski dengan cara bernapas yang berbeda-beda. Bahkan, sesama semut sekalipun, tidak ada yang ngurusi urusan sesama semut lain. Mereka justru bekerja sama dengan saling setia, saling menghargai, dan menghormati tugas mereka masing-masing.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Stop Sikap Ekstremisme di Ruang Digital!

Dinamika kehidupan manusia memang akan selalu terjadi, sebagaimana yang dinarasikan oleh Sartre. Tetapi, berubah tidaknya dinamika tersebut menjadi konflik sebenarnya tergantung pola sikap dan respons manusianya. Bagaimana cara Anda memandang orang lain, menempatkan sikap, dan merespons ragam pendapat dan pandangan orang lain menjadi faktor penentu sebuah konflik akan muncul atau tidak.

Manusia, yang diwakili oleh “wajah”-nya, selalu merepresentasikan sesuatu yang indah sekaligus sakral sebagai rujukan dalam proses identifikasi seseorang. Karena itu, Emmanuel Levinas lewat telaah filosofisnya menempatkan wajah sebagai bagian yang sangat penting dari manusia. Wajah itu sendiri melampaui bagian fisik manusia. Orang tidak dapat melihat dan menyentuh wajah, demikian kata Levinas, justru karena wajah “hadir dalam penolakannya untuk ditundukkan”.

Penampakan “wajah” merupakan momen perjumpaan etis. Perjumpaan dengan wajah selalu mengundang kita untuk menyapa orang lain. Wajah orang lain selalu mendatangi kita agar kita membuka hati dan pintu rumah kita. Ia mengajak kita agar memperlakukannya dengan penuh rasa keadilan dan kebaikan.

Undangan untuk berlaku etis terus menggugah kita untuk menyadari kewajiban kita kepada orang lain. Kewajiban etis ini bersifat asimetris. Maksudnya, yang harus kita berikan kepada orang lain tidak dapat kita tuntut darinya. Hubungan kita dengan orang lain tidak boleh didasarkan pada hubungan balas jasa: kita hanya dapat menyerahkan hidup kita untuk dia, tetapi kita tidak berhak menuntut imbalan dari dia.

Dalam diskursif filsafat, momen etis inilah yang sejak sekian lama diabaikan oleh diskursus ontologi. Ketika kita berjumpa dengan “wajah yang lain”, wajah tersebut akan membuka ruang yang harus kita pahami. Yakni, alteritas orang lain. Alteritas itu, kata Levinas, lebih merupakan sebuah “sapaan”. Keberadaannya tidak ingin menegasikan suatu kesamaan, tetapi mengundang kita untuk keluar dari imanensi kita dan mentransendensikan diri kita bersama orang lain. Jadi, inisiatif percakapan selalu datang dari orang lain, bukan dari kita.

Momen perjumpaan dengan wajah akan bermakna jika kita dapat berbicara dengannya karena dorongan untuk menyapa, bukan menaklukkan, apalagi menguasai percakapan. Dalam penyapaan, tak ada pretensi untuk memutlakkan pendapat atau pandangan kita kepada orang lain tersebut. Wajah yang lain selalu hadir sebagai ajakan etis untuk berbuat adil dan melakukan kebajikan. Wajah yang lain selalu membawa pesan perdamaian.

Ketika memahami hubungan antarmanusia yang berbeda bersama Sartre, kita seakan selalu ngeri terhadap orang lain, karena adanya potensi orang lain yang akan mengganggu bahkan merusak kepentingan diri. Menciptakan “kejahatan ontologis” di wilayah etis. Tetapi bersama Levinas kita bisa melihat bahwa “wajah” manusia adalah sesuatu yang indah dan sakral. Karenanya, kita harus membuatnya menjadi lebih indah dengan cara menghargai dan menghormatinya.

Sama dengan yang dilakukan oleh dua ormas Islam saudara seperguruan yang saling melengkapi satu sama lain: Muhammadiyah dan NU. Di momen Ramadan 1445 H ini, keduanya sangat bermesraan dalam menghargai perbedaan pilihan awal Ramadan. Sebagaimana biasanya, saudara tua akan selalu diberikan ruang untuk memilih terlebih dahulu sebagai sebuah kehormatan, sedangkan adik itu memilih yang setelahnya tanpa mengurangi nilai keistimewaan yang dihadirkan.

Tapi yang jelas, di momentum Ramadan ini, sang kakak identik dengan 11, dan sang adik identik dengan 12. Ini menunjukkan, bahwa kakak-adik tersebut, sebenarnya 11-12, beda tipis saja. Toh, mereka sama-sama akan merayakan momen yang sama untuk tujuan yang sama.

Menghargai dan menghormati pilihan orang lain, meskipun berbeda dengan pilihan kita, adalah kewajiban bagi seorang manusia. Kewajiban yang diserukan oleh perjumpaan kita dengan “wajah yang lain” juga terkait dengan dimensi religius. Levinas menjelaskan bahwa wajah adalah jejak dari Allah dalam pengertian Zat metafisika tertinggi.

Levinas mengatakan bahwa kita perlu mendengar suara Allah yang tidak dinodai oleh ego diri kita sendiri. Dengan kata lain, kehadiran Allah tidak dapat dipikirkan dalam kerangka pikiran egois kita.

Sebaliknya, Allah hanya bisa dipikirkan dengan semestinya dalam konteks metafisika, yakni penampakan “Yang Tak Berhingga” melalui “wajah yang lain”. NU tidak akan bisa menemukan keindahan “wujud” Allah tanpa kehadiran Muhammadiyah, begitu juga sebaliknya. Dan, begitu juga di tempat lainnya.

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru