31.9 C
Jakarta

War Takjil: Potret Kerukunan Antarumat yang Harus Dilestarikan

Artikel Trending

Milenial IslamWar Takjil: Potret Kerukunan Antarumat yang Harus Dilestarikan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di tengah ancaman polarisasi masyarakat sebagai residu Pemilu 2024, ternyata ada sinyal kerukunan antarumat yang menggembirakan. Sinyal tersebut ibarat menjadi oase di tengah gurun, yang menegaskan bahwa di Indonesia yang multikultural ini, masih banyak masyarakat yang spirit kebhinekaannya patut diapresiasi. Hari-hari ini, “war takjil” menjadi istilah yang cukup populer yang merepresentasikan hal itu.

War takjil, penting diketahui, muncul seiring bulan Ramadan. Sebagaimana biasanya, saat bulan puasa, umat Islam punya tradisi ngabuburit menjelang berbuka. Mereka berburu takjil, makanan pembuka, yang terdiri dari aneka ragam cemilan-makanan. Lumrahnya, terjadi antara jam 16.00 hingga azan Maghrib. Umat Muslim dapat beli apa saja yang mereka inginkan dan, tentu saja, makanan takjil itu enak-enak.

Rentang waktu dua jam itulah yang kemudian jadi ajang “war”. War artinya perang, namun maksudnya adalah rebutan. Pokoknya adu cepat siapa yang keduluan beli takjil terenak. Menariknya, rebutan tersebut tidak hanya dilakukan sesama umat Islam, tetapi juga non-Muslim. Saudara-saudara yang Kristiani juga ikut meramaikan. Mereka juga berebut, bahkan dengan ikut-ikutan pakai jilbab dan baju Muslim.

Mereka juga punya slogan, yang hari-hari ini santer terdengar, seperti “bagimu agamamu, bagiku takjilmu,” atau “dalam agama kita toleransi, tapi dalam takjil kita perang”, dan sejenisnya. Intinya war takjil menjadi keseruan tersendiri bagi umat beragama di tanah air.  Dan tak hanya itu, keseruan war takjil bahkan diikuti oleh pendeta—dalam khutbah mereka. Atau yang terbaru, diikuti juga oleh tokoh politik Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.

Merawat Kerukunan dalam Keberagaman

Tentu, war takjil tidak dapat dipandang sebagai keseruan yang kosong. Ia adalah manifestasi kerukunan antarumat, wujud toleransi bersama, dan spirit kebhinekaan yang menakjubkan. Ramadan sebagai bulan umat Islam diramaikan oleh umat non-Islam, itu sama halnya dengan ketika hari Natal umat Islam juga ikut meramaikan dengan caranya sendiri. Di Indonesia yang beragam, kerukunan adalah sesuatu yang mesti dirawat.

Merawat kerukunan di tengah keberagaman tentu saja bukan perkara mudah. Di beberapa negara, kerukunan antar-Muslim pun susah terjadi, apalagi kerukunan antarumat beragama. Betapa banyak negara yang saling serang hanya karena perbedaan kelompok: Sunni vs Syiah, misalnya. Di India, Hindu tidak toleran dengan umat Islam. Di negara-negara Barat, islamofobia juga semarak. Setiap agama selalu terlibat konflik nasional.

Di Indonesia, gesekan-gesekan ke arah perpecahan bukan tidak ada. Tidak jarang perbedaan preferensi politik melahirkan friksi. Ketegangan antarumat juga beberapa kali terjadi. Namun rata-rata kasusnya adalah oknum, yakni lahir dari umat beragama yang minim akan wawasan keagamaan itu sendiri. Mereka terutama lahir dari kelompok pan-islamisme, Muslim konservatif, atau dari umat Kristiani yang puritan.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Pemuda Jadi Target Teroris

War takjil pun mengejawantah sebagai spirit toleransi dan kerukunan bersama. Ternyata di tengah-tengah masyarakat, friksi dan polarisasi itu tidak ada. Umat Islam dan non-Muslim masih kerja bersama, sekantor, bahkan memiliki relasi yang cukup erat. Semua itu terbuka dari keseruan war takjil hari-hari ini, setelah beberapa waktu tertutup oleh panasnya tensi politik yang berpotensi memecah-belah persatuan dan merusak kerukunan. Mari lestarikan.

Mencegah Propaganda Perpecahan

Kalau diamati, ketegangan antarumat di Indonesia terjadi secara insidental saja. Ia tidak permanen, namun juga tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Sebenarnya dalam mindset masyarakat secara umum, baik Muslim maupun Kristiani, sama-sama ingin merawat kerukunan dan mencegah perpecahan. Namun kadang ada saja pemicu ketegangan, yang beberapa di antaranya sengaja dilakukan oleh oknum.

Untuk itu, war takjil harus dijadikan titik tolak mencegah segala bentuk propaganda perpecahan yang kerap terdengar belakangan ini. Celah perpecahan tak bisa dibiarkan menganga hingga merubah mindset masyarakat perihal persatuan itu sendiri. Ketika ada yang berusaha memancing friksi, maka ia harus dilawan bersama—bukan malah terpancing dan terjerumus ke dalam propaganda perpecahan itu sendiri.

Kunci dari upaya mencegah propaganda perpecahan berada di tangan anak muda. Demikian karena merekalah masa depan bangsa, harapan kerukunan jangka panjang. Anak muda hari ini mesti memiliki pikiran yang inklusif, terbuka dan tidak terjerembab rigiditas, juga wajib memiliki komitmen Bhinneka Tunggal Ika yang kuat. Upaya ke arah persatuan juga mesti dilakukan, dirawat, dan dilestarikan. War takjil adalah salah satu upaya hal itu.

Hanya dengan cara itu, di masa depan, tak ada lagi yang memperdebatkan soal hukum mengucapkan Natal, atau yang sewot dengan ibadah puasa umat Islam di bulan Ramadan. Di masa depan, jika propaganda perpecahan saat ini berhasil dilawan bersama, hanya akan ada masyarakat yang suportif satu sama lain. Saat Muslim berpuasa, non-Muslim ikut meramaikan atau paling sedikitnya tidak mengganggu.

Sebaliknya, saat umat lain sedang menggelar event keagamaannya, umat Muslim tidak perlu ribut. Sekalipun mayoritas, Muslim mesti punya pandangan yang progresif dalam hal keberagamaan. Agama apa pun, generasi bangsa harus fokus pada upaya pengembangan bangsa, demi masa depan gemilang Indonesia. Sebagaimana propaganda perpecahan wajib dicegah, belas kasih antarumat wajib menjadi prinsip bersama dalam beragama dan bernegara.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru