31.3 C
Jakarta

Terorisme Itu Bukti Kedangkalan Spiritual, Bagaimana Memberantasnya?

Artikel Trending

KhazanahPerspektifTerorisme Itu Bukti Kedangkalan Spiritual, Bagaimana Memberantasnya?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Nabi pernah bersabda, “Sesungguhnya sifat ramah itu membuat suatu urusan menjadi indah, dan jika sifat ramah telah dicabut, suatu urusan itu menjadi buruk”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah ra.

Berbicara tentang Islam, akan berkaitan erat dengan sifat-sifat etis di dalam pembahasannya. Secara etimologis, Islam berasal dari kata al-salam, yang artinya kedamaian atau kesejahteraan. Sejahtera menurut KBBI adalah aman, sentosa, dan makmur. Atau aman dari segala macam gangguan dan mara bahaya.

Islam menghendaki umatnya untuk menebarkan kemanfaatan, bukan kemudaratan. Hal itu sesuai dengan tutur Nabi Muhammad Saw., “Sebaik-baik manusia adalah yang menebar kebermanfaatan bagi manusia lain”. Secara tegas dan lugas, Nabi memberikan tutor kehidupan agar bermanfaat. Norma itulah yang seharusnya menjadi pedoman bagi masyarakat Islam secara luas.

Sedangkan, kita tahu bahwa di tengah-tengah kita masih terdapat gerakan-gerakan Islam yang tidak memenuhi standar-standar kehidupan umat Muslim sesuai titah Nabi. Terorisme, misalnya.

Tindakan-tindakan yang mereka praktikkan tidak bisa disandarkan dengan sabda Nabi di atas. Padahal, sebagai umat yang bijak dituntut untuk menaati dan meneladani sifat ataupun perintah dari pembimbingnya. Dan pembimbing kita selaku umat Islam adalah Rasulullah Muhammad Saw.

Terorisme Bukan Bagian Dari Ajaran Islam

Tidak ada yang bisa dibenarkan dari aksi terorisme, dari sudut manapun. Tidak ada perintah maupun term terorisme atau gerakan ekstremisme lain dalam Islam. Para penggiat aksi terorisme membela dirinya dengan menukil beberapa ayat, salah satunya adalah QS. al-Furqan [28]: 52,

فَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَجَاهِدْهُمْ بِهٖ جِهَادًا كَبِيْرًا

Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan (semangat) perjuangan yang besar.

Lafaz jihad dalam ayat tersebut menjadi dasar argumen para penggiat terorisme. Ditilik makna secara kebahasaan, “jihad” merupakan derivasi kata dari “jahdun” yakni usaha atau “juhdun” yakni kekuatan. Jihad fi sabilillah bukan berarti holy war (perang suci), melainkan berjuang di jalan Allah.

Sedangkan terorisme bukanlah bagian dari jihad fi sabilillah. Nabi sendiri pernah berkata tatkala ditanya, “Wahai Rasul, jihad apa yang paling baik?”, Rasul Muhammad menjawab, “Jihad yang terbaik adalah mengatakan yang sebenarnya terhadap kebatilan”.

Jihad Pikiran, Bukan Kekerasan

Era kontemporer ini merupakan era di mana akal lebih diunggulkan dibandingkan dengan kekuatan. Kebatilan tidak akan musnah jika hanya diberantas dengan pedang, bom, ataupun senjata perang lain. Hal itu justru akan menimbulkan kemudaratan lain. Maksud hadis Nabi, “Mengatakan yang sebenarnya terhadap kebatilan,” bisa diinterpretasikan dengan melawan kebatilan dengan akal yang jernih, logis, dan sistematis.

BACA JUGA  Mengubur Egoisme Politik, Mewujudkan Indonesia Harmoni

Dikatakan pula, bahwa seni berpikir secara logis, atau dalam tradisi filsafat disebut rasional, merupakan cara tepat untuk menyelesaikan masalah. Berbeda dengan barbarisme, yang hanya berhasrat kekerasan sebagai upaya penyelesaian masalah.

Jamaludin al-Afghani, seorang tokoh pembaharu Mesir, menyadari akan keterpurukan Islam dibandingkan dengan digdaya kaum Barat. Faktor terbesarnya adalah kedangkalan spiritual dan intelektual. Sehingga, al-Afghani menyerukan bahwa umat Islam perlu mewacanakan pengajaran kaidah-kaidah Islam secara akurat dan mengafiliasikannya dengan tradisi keilmuan yang ada.

Begitu juga dengan beberapa tokoh Muslim lain seperti Muhammad Abduh, misalnya. Mereka selalu menggaungkan kepada masyarakat Muslim untuk memodernisasi pikiran mereka, dan tidak terbengkalai oleh pikiran-pikiran klasik, yang menghasilkan tafsiran-tafsiran yang tidak sesuai dengan zaman.

Kedangkalan Spiritual

Islam pernah berjaya pada masa Daulah Abbasiah, yaitu yang menjadi pusat peradaban adalah Baghdad. Banyak tokoh Muslim yang muncul pada masa itu, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan masih banyak lagi. Cabang-cabang ilmu seperti filsafat, kedokteran, astronomi, geografi, dan masih banyak lagi, juga terpusat di kekhalifahan Abbasiah.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa pada masa Abbasiah, hanya ilmu yang menjadi ikon peradaban. Literatur-literatur keagamaan, juga banyak muncul. Ibnu Katsir, al-Baidhawi, al-Razi, al-Thabari, muncul dengan karya-karya tafsir Al-Qur’an mereka.

Integrasi antara ilmu dan agama sudah menjadi perbincangan klasik, khususnya di Indonesia sendiri. Ilmu yang berdasarkan akal dan agama yang berdasarkan iman membutuhkan proses berpikir. Keduanya merupakan inti dari lubuk hati dan tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, iman yang kuat juga disisipi dengan ilmu yang kuat.

Gerakan terorisme bisa kita katakan sebagai representasi dari golongan yang tidak memiliki kekuatan iman maupun ilmu. Kesalahan pertama, mereka mengartikan jihad sebagai upaya penegakan ajaran dengan mengandalkan kekuatan fisik. Kesalahan kedua, tidak ada rasa toleran dalam menyikapi perbedaan di sekelilingnya. Kesalahan ketiga, dan ini merupakan kesalahan terbesar, mereka enggan memanfaatkan kekuatan akal sebagai landasan keimanan mereka.

Alhasil, tindakan-tindakan ekstrem, radikal, keji, dan yang menimbulkan kekacauan lain, menjadi ciri khas ajaran mereka. Padahal diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi Saw. bersabda, “Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara satu dengan yang lain, karena seorang Muslim itu saudara bagi Muslim yang lain, tidak diperkenankan menzalimi, menipu, atau melecehkannya”.

Peringatan bahwa “Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya”, nampaknya tidak dihiraukan oleh kaum terorisme. Serangan kejam mereka menyasar kepada siapa saja yang berbeda haluan paham keimanan dengan mereka.

Mahfudhin
Mahfudhin
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah. Peminat kajian tafsir Al-Qur’an, filsafat, linguistik, pendidikan, dan sosial-budaya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru