26.9 C
Jakarta

Khozinudin, Aktivis HTI yang Wajib Ditangkap dan Dipenjarakan

Artikel Trending

Milenial IslamKhozinudin, Aktivis HTI yang Wajib Ditangkap dan Dipenjarakan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tersebar poster HTI, dari salah satu aktivisnya, yaitu Ahmad Khozinudin, yang berbunyi begini,

Syariah Yes, Khilafah Yes, Pancasila No, NKRI No. Jadi, sebagai umat Islam maka wajib terikat dengan kesepakatan founding fathers, yakni para sahabat. Wajib terikat dengan syariat Islam dan memperjuangkan sistem khilafah. Syariah dan khilafah yes, Pancasila dan NKRI no.”

Pernyataan yang digaris tebal akan saya ulas di sini. Melalui tulisan ini, saya hendak menyatakan bahwa Khozinudin sudah layak, bahkan wajib, dipenjarakan. Jika beberapa tahun lalu ia hanya ditahan dan diinterogasi Polri karena dugaan hoaks, kali ini ia wajib ditangkap karena memprovokasi dan menggerakkan masyarakat untuk melakukan makar. Ia menentang negara dan ingin mengkudetanya.

Siapa itu Khozinudin? Sebenarnya ia bukan orang baru. Sepak terjangnya dalam HTI cemerlang: ia paling giat mempropagandakan khilafah ala HTI kepada masyarakat Indonesia. Jalan yang ia pakai ialah hukum. Dalam setiap narasi, Khozinudin berbicara tentang ketidakadilan hukum, urgensi syariatisasi hukum, dan lainnya. Intinya, Khozinudin adalah aktivis HTI tulen dan memiliki jabatan mentereng.

Ia, misalnya, merupakan Direktur Pusat Kajian dan Bantuan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (PKBH HTI). Khozinudin juga menjabat sebagai Ketua LBH Pelita Umat. Ia punya kanal YouTube sendiri dan beberapa kali menuai kontroversi. Keahliannya di bidang hukum ia manfaatkan untuk menciptakan polarisasi umat Muslim, dan menggiring mereka semua ke dalam komando makar NKRI untuk menegakkan khilafah.

Apakah yang demikian masih layak dibiarkan? Sama sekali tidak. HTI telah menjadi ormas terlarang, maka semua propaganda tentang ideologinya, apalagi gerakannya, juga terlarang. Jika itu dilakukan terang-terangan seperti yang Khozinudin lakukan, pasal yang bisa dijeratkan juga semakin lengkap. Itulah kenapa dari semua kesalahan fatal yang Khozinudin buat, ia layak dijebloskan ke dalam penjara.

Kepandiran Aktivis HTI

Ada empat kekeliruan yang sekaligus menampakkan kecacatan berpikir Khozinudin dan aktivis HTI secara umum, dalam konteks kalimat yang bergaris tebal di atas. Pertama, syariah yes, khilafah yes, Pancasila no, NKRI no. Kalimat berisi penegasan anti-NKRI yang nyata. Tidak lagi butuh tafsir bahwa HTI dan seluruh aktivisnya, termasuk Khozinudin, jelas menentang NKRI. Secara ideologis, ia sudah melakukan makar (bughat).

Makar di sini dalam artian memberontak secara ideologi, karena ia melawan Pancasila sebagai ideologi negara. Ia melabrak pilar-pilar kebangsaan, dan berpijak pada dasar yang lain yaitu (klaim) syariah dan khilafah. Adakah argumen untuk memberikannya toleransi? Pasal 224 RKUHP atau Pasal 107 KUHP sudah menegaskan bahwa spirit atau gerakan seperti yang dilakukan Khozinudin merupakan pidana.

Kedua, founding fathers, yakni para sahabat. Ini adalah pernyataan yang fatal, menganggap para sahabat sebagai bapak pendiri khilafah. Siapa sahabat yang menerapkah khilafah seperti yang diklaim HTI? Abu Bakar dipilih secara musyawarah alias demokratis. Umar dan Utsman juga sama. Ali juga demikian. Monarki itu, yang anti-demokratis, baru ada di zaman Muawiyah dan anaknya, Yazid. Jadi jelas, Khozinudin ngawur.

Selain itu, klaim bahwa sahabat merupakan founding fathers secara otomatis bertentangan dengan klaim HTI yang lain bahwa khilafah itu syariat. Faktanya, syariat itu dari Allah Swt. dan Rasul Saw. Tidak ada kapasitas bagi sahabat untuk menciptakan syariat. Menyandarkan syariat kepada sahabat itu kepandiran yang nyata. Artinya, statement Khozinudin yang kedua ini kontradiktif dengan doktrin syariatisasi khilafah.

BACA JUGA  Fitnah di Kalangan Orang Alim, Umat Islam Harus Apa?

Ketiga, syariat Islam. Ini adalah klaim Khozinudin—sebagaimana aktivis HTI pada umumnya—bahwa khilafah adalah syariat. Tidak hanya terburu-buru, klaim ini juga tidak punya dasar dalam sumber primordial Islam: Al-Qur’an, hadis, ijmak, dan qiyas. Khilafah dalam diskursus Islam adalah bagian dari fikih politik (al-fiqh al-siyasi) dan berada di ranah ijtihad ulama. Sudah nyata, Khozin benar-benar tidak berilmu.

Keempat, sistem khilafah. Ini juga menunjukkan kepandiran aktivis HTI secara umum. Sudah jelas bahwa khilafah itu berasal dari bahasa Arab ‘al-khilafah’ yang artinya suksesi, kepemimpinan, atau pemerintahan. Jadi khilafah itu bukan sistem tertentu, tapi pemerintahan secara umum. Sistemnya apa? Bebas, selama selaras dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Jebloskan ke Penjara!

Saya yakin, banyak intelektual tanah air yang mampu mematahkan doktrin-doktrin HTI. Faktanya, dasar mereka memang dangkal. Tidak susah untuk menyanggahnya. Tapi persoalannya satu: apa yang Khozinudin lakukan, sebagaimana juga yang para aktivis HTI lainnya lakukan, itu semua bukanlah tentang debat intelektualitas, melainkan kepentingan politik kekuasaan. Masalahnya di situ.

Jadi mau sampai jingkrak-jingkrak diskusi pun, para aktivis HTI akan kukuh melakukan indoktrinasi kepada seluruh umat Islam bahwa khilafah itu syariat yang harus ditegakkan di satu sisi, dan bahwa Pancasila dan NKRI itu thaghut di sisi lainnya. Sampai kapan pun, narasi demikian akan terus dilancarkan. Ia dianggap bagian dari kepentingan Islam, padahal hanya kepentingan para dedengkot HTI.

Untuk itu, memenjarakan mereka, terutama Khozinudin, adalah wajib hukumnya. Sekali lagi, wajib. Tidak ada tawar-menawar. Yang ia lakukan jelas-jelas pidana, maka ia mesti dipenjarakan secepatnya. Lalu, bagaimana cara memidanakannya?

UU No. 16 Tahun 2017 tegas menyebutkan bahwa tidak hanya ormas, tapi juga orang yang menjadi anggota atau pengurus dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan paham yang kontradiktif dengan Pancasila. Ancaman sanksinya ialah pidana, sebagaimana diatur di Pasal 82A ayat (2), tentang ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.

Selain itu, dalam Pasal 107 poin (b) KUHP dikatakan, barangsiapa melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, hingga mengundang kerusuhan atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta, maka ia dipidana penjara paling lama dua puluh tahun. Jadi, tunggu apalagi?

Yang tersisa dari semua ini adalah ketegasan para otoritas terkait. Maukah memenjarakan Khozinudin dan gerombolan lainnya, atau hendak dibiarkan begitu saja? Pilihan terbaik, dari semua itu, adalah menjebloskannya ke penjara. Terserah mau dimasukkan ke penjara lokal atau bahkan penjara Guantanamo. Yang jelas, orang-orang seperti Khozinudin dan yang lainnya, tidak layak berada di Indonesia, apalagi ia selalu teriak anti-NKRI. Tangkap!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru