30.1 C
Jakarta

Surat yang Dirindukan

Artikel Trending

KhazanahOpiniSurat yang Dirindukan
image_pdfDownload PDF

Siang itu tepat jam satu Diva baru pulang sekolah. Rasa lelah mulai dirasakannya karena dari pagi sampai siang belajar di sekolah. Inginnya segera tidur, tapi sebentar lagi ada shalat jama’ah Zuhur.

“Diva dipanggil pengurus keamanan,” seorang santri berdesis.

“Tidak bercanda, Mbak?!” Diva antara percaya dan tidak percaya. Baru pertama kali dipanggil keamanan.

“Aku baru saja dari kantor pesantren.”

“Panggilan apa, Mbak?” Diva mulai penasaran berselimut rasa takut yang menjadi-jadi.

“Aku belum tau juga. Aku baru mau balik, si pengurus itu, aduh lupa namanya, minta aku ngabarin Dek Diva ke kantor pesantren.”

Diva terpaku seorang diri. Mematung. Pikirannya mulai kusut. Pengurus keamanan satu-satunya pengurus yang ditakuti, karena sikapnya cuek, wajahnya yang sulit senyum, dan bicaranya yang sangar.

“Bismillah, Dek! Insya Allah selamat. Tidak ada masalah.”

“Terima kasih, Mbak.”

Tak terdengar respons berikutnya, si mbak sudah tak kelihatan batang hidunya. Dia kembali ke biliknya atau entah ke mana.

Diva bergegas menuju ke kantor pesantren. Melangkah penuh kekhawatiran. Jantung berdegub kencang. Kantor pesantren kelihatan di depan mata.

“Assalamualaikum, Ustadzah.” Diva mengucap salam.

“Waalaikum salam, Ukhti. Silahkan duduk!”

Diva membatin: Disuruh duduk?! Aku mau diapain ya Tuhan?

“Diva Rizka Maulia?” tanya pengurus keamanan singkat.

“Na’am, ustadzah.” Diva menjawab singkat pula.

“Diva familinya Fairuz Zakyal Ibad?”

Mendengar sebutan Fairuz, pikiran Diva berkecamuk. Pasti gara-gara surat kemarin ini. Rab, bantu Diva untuk keluar dari keadaan yang menakutkan ini.

“Diva,” ucap si pengurus dengan nada menaik.

“Fairuz bukan famili saya.” Diva berkata sebenarnya.

“Fairuz itu penulis hebat. Karya-karyanya bertebaran di media-media nasional. Aku sering baca tulisan-tulisannya. Bagus. Membaca tulisan Fairuz seolah pembaca dibawa ke alam impian, ke alam masa depan yang penuh harapan.” Tak dinyana si pengurus bercerita panjang lebar tentang Fairuz.

Diva tidak mengerti. Aneh. Tapi, perasaan kalut yang menyelimuti pikirannya sedikit demi sedikit semakin pudar.

“Beruntung Diva kenal dengan Fairuz. Siapa yang tidak mau kenal dengan santri keren seperti dia? Pasti mau, tapi aku belum punya kemampuan menulis sehebat Fairuz. Rasanya malu mau kenal. Tak punya modal apa-apa.” Si pengurus tetap bercerita seolah Diva teman curhatnya.

BACA JUGA  Nasionalisme dari Pemain Naturalisasi Timnas Indonesia yang Harus Diapresiasi

Bibir Diva tersenyum. “Ana masih santri baru, Mbak. Belum punya kemampuan menulis seperti Fairuz.”

“Ooya… Tetaplah belajar dengan giat! Aku bertahun-tahun di pesantren belum bisa apa-apa. Baca kitab aja masih kaku, apalagi menulis yang membutuhkan bacaan yang kuat.”

Diva tersenyum. Terdiam.

“Maaf dari tadi kelamaan Diva duduk di sini. Ini surat dari Fairuz.” Sepucuk surat yang diharapkan baru Diva rengkuh siang itu. Rasanya seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Bahagia banget, padahal belum membacanya.

“Ana balik, Ustadzah.” Diva pamit dan segera keluar dari kantor pesantren.

Siang itu bukan lagi menyeramkan, menakutkan, dan menyebalkan. Diva mau berkata kepada dunia, hari itu adalah hari yang penuh dengan kebahagiaan.

Begitu lipatan surat itu dibuka, mata ini rasanya tidak ingin melepasnya, seakan penulisnya bertutur langsung di depan mata, padahal itu hanya sebatas perasaan saja. Penulis surat itu berada di balik tembok tebal dan tinggi yang memagari santri putri.

Benar apa yang dikatakan si pengurus tadi. Tulisan Fairuz mampu membawa pembacanya menjadi bagian dari cerita penulisnya. Kata-katanya yang sederhana. Diksinya yang bagus. Ceritanya yang dramatis.

“Fairuz, siapa akhi sebenarnya?” Diva mulai tertarik mengenalnya, termasuk mengenal kepribadiannya lebih dalam.

“Ehem, ehem, ehem surat dari Fairuz.” Adel tiba-tiba berdiri mematung di depan mata.

Diva tersipu malu. Surat yang dibacanya seketika dilipatnya.

“Baca dong!”

“Sttt, dilarang berisik!”

“Siap laksanakan!”

“Hati-hati ketahuan Kak Nadia dan Hanum.”

“Terus.”

“Diva malu ketahuan mereka.”

“Kan sepertemanan.”

“Memang.”

“Makanya, mereka harus tahu kalo Diva sekarang….”

“Sttt, pokoknya dirahasiakan.” Diva memotong.

“Siap komandan!”

Pada akhirnya, surat itu terdiam dipangkuan pembacanya.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru