32.4 C
Jakarta

Mendesain Sistem Pendidikan yang Berorientasi Kontra-Radikalisasi

Artikel Trending

KhazanahOpiniMendesain Sistem Pendidikan yang Berorientasi Kontra-Radikalisasi
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati setiap tahun di seluruh Indonesia pada tanggal 2 Mei dengan berbagai kegiatan, di antaranya upacara bendera di sekolah. Terlepas dari berbagai kegiatan seremonial, sudahkah pendidikan di Indonesia menjawab berbagai tantangan dan ancaman bagi pendidikan itu sendiri?

Salah satu ancaman yang penting disorot dalam dunia pendidikan adalah radikalisme. Tak heran, bila kita pernah menjumpai sekolah yang tidak ada upacara benderanya, tidak ada yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, bahkan tidak ada bendera merah putih yang berkibar.

Akar-akar radikalisme inilah ancaman bagi bangsa Indonesia yang sudah masuk ke ranah pendidikan. Anak-anak sekolah menjadi target khusus rekrutmen kelompok radikalis. Beberapa penelitian juga membuktikan adanya upaya rekrutmen ke sekolah-sekolah yaitu dengan melakukan cuci otak (brain wash) terhadap pelajar yang selanjutnya diindoktrinasi dengan ideologi radikal tertentu.

Berdasarkan data yang dirilis Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai radikalisme, sebanyak 57,03% guru baik pada level SD maupun SMP memiliki pandangan intoleran di Indonesia. Senada dengan data yang dirilis oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) menyebutkan bahwa 48,9 % siswa mendukung adanya tindakan radikal.

Sementara itu, 84,4% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia. Adapun jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.

Dari data di atas, itu artinya ada realitas bahwa radikalisme sudah masuk ke mana-mana terutama dunia pendidikan dengan identifikasi dari perilaku yaitu sikap yang intoleran, anti-Pancasila dan anti NKRI. Melihat semua ancaman ini, bagaimana respon pendidikan di Indonesia menjawab dan berupaya mencegah akar-akar radikalisme? Mari kita ulas!

Akar-akar Radikal dalam Dunia Pendidikan

Proses pembentukan pola pikir anak-anak dimulai ketika masih mengenyam pendidikan formal mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Untuk melalui proses menuju tahap pertama pemikiran kritis dan agar bisa menyikapi berbagai hal yang ada di sekitar, anak-anak tentu akan mempertanyakan banyak hal kepada orang-orang yang banyak berinteraksi dengan mereka, terutama orang tua, guru dan teman.

Maknanya, ketika berada di sekolah, anak-anak banyak berinteraksi dan bertanya dengan guru atau pengajar. Pengajar memiliki peran sentral dalam penetrasi ilmu pengetahuan kepada anak-anak. Pola asuh melalui pembelajaran dan pendidikan bagi anak-anak memiliki kontribusi besar dalam pembentukan pola pikir mereka. Sehingga akan sangat berbahaya, jika kesempatan ini dijadikan oleh kelompok radikal untuk mendoktrin ideologi mereka kepada anak-anak.

BACA JUGA  Bahaya Brainwashing Radikalisme di Dunia Maya dan Strategi Penanganannya

Selain itu, akar-akar radikal dalam dunia pendidikan juga bisa ditemukan melalui buku-buku atau majalah. Dalam hal ini, sebut saja HTI yang saat itu begitu massif menyebarluaskan propagandanya melalui media buku atau majalah di sekolah-sekolah bahkan kampus.

Kemunculan bibit-bibit radikalisme pada anak-anak membuktikan bahwa posisi seorang anak dalam sistem sosial maupun individual masih tergolong pada klasifikasi dependent (bergantung). Sehingga kecenderungan ini yang dimanfaatkan oleh kelompok mereka untuk memengaruhi.  

Mewujudkaan Pendidikan sebagai Cita-cita Bangsa

Melihat fenomena ancaman radikalisme ini, setidaknya pemerintah harus mampu menjawab berbagai tantangan yang ada, yaitu dengan terus melakukan upaya preventif dalam berbagai program dan inisiasi. Ada tiga hal utama yang menjadi catatan penting untuk menjawab ancaman radikalisme. Pertama, wawasan kebangsaan, hal ini bisa dilakukan dengan menguatkan pendidikan kebangsaan di sekolah baik secara teori maupun praktik.

Kedua, moderasi beragama, yaitu sikap beragama yang memiliki keseimbangan yang baik antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang memiliki keyakinan berbeda (inklusif). Moderasi beragama merupakan kunci untuk kerukunan dan kedamaian, yang merupakan prasyarat bagi pembangunan yang berhasil, begitulah kiranya yang disampaikan juga oleh Plt. Dirjen Pendidikan Islam, Abu Rokhmad.

Ketiga, budaya bangsa melalui pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural adalah upaya pencegahan tindakan radikalisme yang dilakukan oleh pemerintah secara sistematis untuk mengembangkan potensi yang ada pada manusia dalam memahami keberagaman kebudayaan agar terwujudlah kehidupan yang rukun dan damai.

Selain tiga hal di atas, perlu adanya upaya juga dari pemerintah yaitu melalui evaluasi terhadap sistem pendidikan, kualitas pengajar, dan kurikulum yang diajarkan di sekolah. Pengajar juga harus dibekali kemampuan mengajar yang lebih inklusif.

Orang tua juga harus dilibatkan agar bisa lebih cermat dalam memilihkan lembaga pendidikan yang bebas dari doktrin radikalisme dan intoleran. Semuanya harus bersinergi bersama, agar terciptanya iklim pendidikan yang sesuai dengan cita-cita bangsa.

Fatmi Isrotun Nafisah
Fatmi Isrotun Nafisah
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru