29.5 C
Jakarta

Striving for Superiority: Berjuang Melawan Stigma sebagai Keluarga Teroris

Artikel Trending

KhazanahTelaahStriving for Superiority: Berjuang Melawan Stigma sebagai Keluarga Teroris
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Striving for superiority adalah suatu bentuk usaha yang digunakan untuk mengatasi perasaan rendah diri pada diri seseorang yang selanjutnya akan menghasilkan perasaan aman dan nyaman tanpa kekhawatiran dan kecemasan. Dalam persoalan terorisme, rasa rendah diri yang dimiliki oleh mantan Napiter sangat besar ketika sudah memiliki pilihan untuk keluar dari lingkaran setan tersebut. Hal ini karena mereka kerap kali mendapatkan stigma negatif bahkan diasingkan oleh masyarakat.

Kisah Ryan (nama samaran) dalam acara WGWC Talk, mengaku bahwa di-PHK oleh perusahaan karena berita tentang dirinya sebagai Napiter masih ada di media. Kesempatan berkarir di sebuah perusahaan justru pupus lantaran dosa masa lalu yang masih terekam jelas. Berdasarkan kisah ini, setidaknya kita memahami bahwa, mantan Napiter kerapkali mendapatkan perilaku yang tidak baik dari masyarakat. Kenyataan ini yang bisa menjadi faktor mengapa mantan Napiter kembali bergabung dalam kelompok teroris. Selain mendapatkan pengasingan dari masyarakat, ia juga akan dianggap kafir oleh kelompoknya karena sudah berbeda haluan dengan berikrar terhadap Pancasila, di mana hal itu merupakan bentuk kekafiran yang nyata bagi kelompok teroris.

Jika kita melihat mantan Napiter, barangkali perilaku pengasingan dari masyarakat dan stigma yang melekat itu bisa dikatakan sebagai konsekuensi yang diterima karena sudah terlibat dalam lingkaran terorisme. Namun, bagaimana ketika stigma tersebut diterima oleh keluarga teroris? Orang lain yang tidak tahu menahu soal keterlibatan anggota keluarganya menjadi teroris. Apakah mereka harus bertanggung jawab secara sosial atas dosa yang dilakukan oleh keluarganya? Pengasingan ini bisa diterima oleh anak teroris, istri teroris, ibu, ayah yang notabenenya mereka tidak tahu menahu keterlibatan suami/ayah bergabung dalam kelompok teroris.

Sebagai seorang perempuan yang menjadi istri/ibu, bisakah kita menerima kenyataan ternyata suami kita adalah seorang teroris? Bahkan tanpa bisa mengonfirmasi kepada suami, ia sudah lebih dulu mati ditembak oleh Densus 88 atas kasus yang menjeratnya. Belum selesai dengan itu, seluruh masyarakat melakukan penghakiman terhadap keluarga dengan stigma negatif sebagai pelaku teroris. Tentu, jika sudah memiliki anak, mereka akan kerap mendapatkan pengasingan dari masyarakat karena menjadi anak teroris.

BACA JUGA  Menyikapi Hasil Keputusan MK: Mari Belajar Bernegara dengan Bijak

Keluarga: Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Resiliensi

Tingkat resiliensi pada diri seseorang, berpengaruh terhadap penerimaan atas apa yang terjadi. Pada level keluarga, resiliensi keluarga dapat dipahami sebagai kemampuan anggota-anggota dalam keluarga untuk beradaptasi dan pulih selama krisis dan selama menjalani fase kehidupan yang berisi tantangan dan permasalahan. Bentuk resiliensi keluarga dapat mencakup bagaimana anggota keluarga saling menguatkan satu dengan yang lainnya dengan berbagai macam bentuk support, usaha membangun kembali kestabilan aktivitas sehari-hari setelah adanya krisis, serta usaha mengintegrasikan pengalaman-pengalaman menakutkan menjadi kekuatan dan motivasi untuk meneruskan kehidupan.

Atas penjelasan tersebut, maka peran keluarga sangat penting untuk keberlangsungan hidup satu sama lain. Dukungan penuh atas luka yang diperoleh dari peristiwa ini, akan menjadikan setiap anggota keluarga teroris, bangkit untuk menjalani kehidupan yang baru. Tentu dengan harapan dan semangat yang baru dan belajar dari kesalahan yang silam.

Dalam penelitian Sujoko (2018), sosok S (inisial teroris) yang ditembak oleh Densus 88 lantaran kasus terorisme, keluarga yang ditinggalkan bisa bangkit karena dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berasal dari dukungan keluarga/orang terdekat bahkan masyarakat. Dukungan ini memperkuat kondisi psikis keluarga almarhum, khususnya istri dan anak-anaknya. Semakin banyak dukungan psikis yang diberikan, akan memperkuat kondisi psikis. Begitu pula sebaliknya.

Dengan demikian, striving for superiority yang dilakukan oleh keluarga teroris adalah menjaga interaksi sosial, melakukan kegiatan sosial, serta tidak mempermasalahkan stigma negatif yang diberikan oleh masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa, hidup terus berlanjut dan harus dijalankan. Sikap terbuka terhadap masyarakat juga berpengaruh terhadap seni menjalani kehidupan bagi keluarga teroris.

Hal yang harus dipahami oleh masyarakat adalah menghilangkan stigma negatif kepada keluarga teroris. Dukungan kita terhadap mereka akan berpengaruh besar terhadap proses pulih yang dijalaninya dengan besarnya luka yang dialami. Edukasi terhadap masyarakat tentang terorisme sangat penting diberikan. Sebab siapa pun orangnya memiliki potensi besar untuk menjadi teroris atas dasar kurangnya pengetahuan tentang terorisme atau justru memiliki kekecawaan terhadap aparat sehingga merubah haluan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru