26.6 C
Jakarta

Sosok Riyanto dan Gus Dur: Komitmen NU Menjaga Bangsa dalam Perayaan Natal

Artikel Trending

KhazanahTelaahSosok Riyanto dan Gus Dur: Komitmen NU Menjaga Bangsa dalam Perayaan Natal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Peristiwa Natal tidak hanya merupakan perayaan momentum bagi kalangan masyarakat Kristen, akan tetapi juga menjadi sebuah cerita yang cukup mengharukan di kalangan masyarakat NU. Adalah BANSER Riyanto, yang gugur pada malam Natal, tepatnya tanggal 24 Desember tahun 2000 silam.

Diketahui bahwa, Riyanto bukanlah berasal dari kalangan polisi atau tentara. Akan tetapi ia anggota Banser satuan kordinasi cabang Kabupaten Mojokerto. Bersama empat sahabat lainnya, Riyanto mendapatkan tugas menjaga Gereja Eben Haezar Mojokerto. Sejak maraknya teror bom di negeri ini, Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor menginstruksikan seluruh jajaran kepengurusan untuk membantu polisi menjaga dan mengamankan perayaan Natal umat Kristiani.

Dalam peristiwa ini, tiba-tiba ada yang memberi tahu bahwa di depan pintu gereja tersebut ada bungkusan hitam yang sangat mencurigakan, mendengar kabar tersebut, Riyanto bergerak secara cepat untuk mengambil bungkusan yang berisi kabel terhubung dengan rangkaian yang memercikkan api. Bukannnya kabur untuk menyelamatkan diri, ia justru berteriak “tiaraaaap” sambil lari mendekap bungkusan yang berisi bom itu kemudian meledak.

Seluruh tubuhnya terpental hingga seratusan meter.  Kondisi tangan dan muka Riyanto hancur. Dalam kondisi yang tidak benyawa, jasanya sangat besar bagi banyak orang yang hadir dalam perayaan natal itu. ia menyelamatkan banyak orang.  kematian Riyanto, disebut oleh Gus Dur dalam sebuah kalimat berikut, “Riyanto telah menunjukkan diri sebagai umat beragama yang kaya nilai kemanusiaan. Semoga dia mendapatkan imbalan sesuai dengan pengorbanannya.”

Kisah Riyanto di atas adalah bukti bahwa, komitmen NU terhadap kebangsaan dan persatuan Indonesia berada di garda terdepan dalam merawat kebhinekaan. Semua jajaran kepengurusan NU, saling membahu untuk ikut mengamankan  kegiatan yang dilakukan. Dalam konteks ini, NU memahami konsep Ukhuwah Insaniyah, hubungan kemanusiaan tidak hanya terjalin dengan sesame muslim, akan tetapi juga dengan non muslim. toleransi ini, mengharuskan kita semua untuk menjaga hak masing-masing, khususnya berbuat adil, tidak mendzalimi yang lain serta saling menolong antar sesama.

Sedangkan dalam konsep Ukhuwah Wathaniyah, NU memahami toleransi terhadap nonmuslim sebagai bentuk ikatan persaudaraan dan kebangsaan sebangsa dan setanah air yang terlepas dari perbedaan agama dan latar belakang lainnya. maka menjadi hal sangat wajar, apabila dalam tatan struktur kepengurusan NU, ketika melihat segala potensi pengeboman akan terjadi di berbagai gereja, pengawalan ketat yang dilakukan oleh BANSER, adalah tindakan yang sangat solutif untuk menyatukan persaudaraan antara yang satu dengan lainnya.

BACA JUGA  Politisasi Agama pada Waktu Pemilu: Bentuk Pembodohan Masyarakat dengan Jubah Agama

Soal perayaan natal yang kerap kali menjadi sasaran pengeboman oleh kelompok teroris, merupakan warning untuk meningkatkan keamanan pada pelaksanaan misa natal. Sebab pada momentum ini, umat Kristiani berkumpul dalam satu tempat yakni gereja.

Gusdur dan perayaan natal

Dalam perayaan natal dengan kisah Riyanto di atas, belum lengkap rasanya jika tidak menguliti sosok Gus Dur selaku sosok yang, memiliki ghirah dan semangat perjuangan yang tinggi tentang toleransi. Sebagai presiden pada masanya, tepatnya malam perayaan natal pada senin, 27 Desember 1999 di Balai Sidang Senayan, Gus Dur menyampaikan beberapa hal.

Menariknya, dalam kesempatan ini Gus Dur membuka pidatonya dengan ucapan “Assalamualaikum”. Dalam pengucapan salamnya itu, ia berargumen bahwa, “Saya sengaja tidak mengucapkan selamat malam, karena kata ‘Assalamualaikum’ berarti kedamaian atas kalian.”

Dikutip dari Kompas.com, Tanpa keraguan, Gus Dur mengatakan bahwa ia merasa senang dan berbahagia bisa hadir pada perayaan Natal tersebut. “Saya adalah seorang yang meyakini kebenaran agama saya. Tetapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat manusia. Sejak kecil itu saya rasakan, walaupun saya tinggal di lingkungan pondok pesantren, hidup di kalangan keluarga kiai. Tetapi tidak pernah sedetik pun saya merasa berbeda dengan yang lain,” kata Gus Dur.

Dari sambutan ini kita dapat memahami sosok Gus Dur yang dekat sekali dengan isu toleransi dan kemanusiaan. Gus Dur berdiri tidak hanya sebagai presiden, orang nomor 1 pada waktu itu. Akan tetapi ia sebagai orang NU yang memiliki hubungan darah dengan pendirinya, KH. Hasyim Asy’ari. Sikapnya yang revolusioner dalam melihat masalah kemanusiaan, menjadi semangat perjuangan untuk menjaga kerukunan umat beragama pada hari ini.

Melihat Gus Dur dan Riyanto, bukan untuk menyamakan posisi keduanya. Akan tetapi, melihat bagian dari upaya yang dilakukan oleh NU melalui sosok yang ada di dalamnya. Riyanto dan Gus Dur adalah sosok yang menguatkan basis pemahaman kebangsaan dan perbedaan yang harus dijaga bersama. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru