31.5 C
Jakarta

Soft Approach Radicalization; Siapa Saja Ancaman untuk NKRI?

Artikel Trending

Milenial IslamSoft Approach Radicalization; Siapa Saja Ancaman untuk NKRI?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Editorial kemarin membahas tentang kontestasi soft approach kontra-terorisme dengan soft approach teroris. Terdapat fakta yang mencengangkan bahwa pemerintah memiliki tantangan baru dengan agenda kontra-radikalisasi mereka. Pihak-pihak yang mengancam NKRI kini tidak melakukan konfrontasi. Mereka melakukan agendanya dari dalam, yang dapat disebut sebagai soft approach radicalization. Apa maksudnya? Bukankah dari dulu memang begitu?

Benar. Dari dulu memang yang namanya radikalisasi tidak pernah berlangsung terang-terangan. Aksi teror pun terjadi tanpa diduga. Seandainya radikalisasi dilakukan terang-terangan, terorisme sudah punah dari dulu. Juga tidak akan ada pelatihan militer di pegunungan Poso, atau di Aceh satu dekade lalu. Adalah fakta bahwa terorisme, sebagai sebuah ideologi dan gerakan, menempuh jalur bawah tanah. Tidak ada konfrontasi karena akan berhadapan dengan hukum.

Namun, soft approach radicalization yang marak hari ini tidak sama dengan gerakan bawah tanah tersebut. Term ‘soft approach’ dengan ‘underground movement’ memiliki perbedaan signifikan. Gerilya teroris, sekalipun jalur bawah tanah, bisa jadi konfrontatif. Namun, para teroris melakukannya diam-diam. Begitu juga soft approach, sekalipun tidak konfrontatif, bisa jadi dilakukan secara terbuka. Artinya, kedua term tersebut memiliki konotasi maknanya sendiri.

Soft approach radicalization lebih menarik untuk ditelaah karena aktualitasnya di satu sisi, dan kontestasinya dengan soft approach kontra-terorisme di sisi lainnya. Lebih dari itu, ia mengancam NKRI karena membuat masyarakat terperosok paham radikal dan terorisme tanpa menyadarinya. Pertanyaannya adalah, siapa pelaku yang berbahaya bagi negara? Apa gebrakan mereka? Dan bagaimana upaya kita untuk melawannya?

Dua Jenis Radikalis

Kalau harus diklasifikasi, ancaman untuk NKRI, dari kalangan islamis militan, ada dua. Pertama, mereka yang radikal dan pelakunya disebut radikalis, namun tidak melakukan gerakan pemberontakan. Organisasi yang tergolong pada jenis ini seperti HTI dan Ikhwanul Muslimin. Keduanya telah menjadi kelompok terlarang dan organisasinya bubar. Yang masih eksis adalah para aktivisnya. Gerakan mereka halus, soft approach. Narasinya menegakkan khilafah, tetapi tidak mengafirmasi bughat.

Sebagai contoh, HTI punya website dan kanal YouTube yang seluruh isinya berbicara soal tegaknya khilafah. Mereka aktif melakukan seminar dan kajian fikih politik yang mengacu pada kitab-kitab al-Nabhani. Masyarakat tidak akan sadar bahwa para aktivis HTI tengah melakukan radikalisasi—hanya menganggapnya kajian biasa. Mereka juga kerap menggelar event keislaman. Halus sekali cara mereka mengindoktrinasi umat. Tujuannya khilafah, namun tidak melakukan pemberontakan.

Kedua, mereka yang radikal dan pelakunya disebut teroris, serta menjadikan makar sebagai tujuan utama. Organisasi yang tergolong jenis ini seperti Jama’ah Islamiyah (JI) dan Jama’ah Ansharud Daulah (JAD). Keduanya sama-sama kelompok terlarang. Namun, pendukungnya masih bertebaran, bahkan mereka yang sudah pernah dipenjara; eks-napiter. Gerakan mereka juga menggunakan pendekatan yang soft. Tujuannya negara Islam (al-daulah al-islamiyah) dan membenarkan pemberontakan.

BACA JUGA  Remoderasi Pendidikan di Indonesia

Sebagai contoh, para pendukung Daulah hari ini tengah membentuk solidaritas. Mereka mengumpulkan para istri eks-napiter; menikahi para janda eks-teroris dan menyatukan anak-anak mereka dalam satu komunitas dan lembaga pendidikan. Di sanalah kaderisasi dibentuk untuk menciptakan teroris masa depan. Berbeda dari HTI yang sekalipun juga punya puluhan lembaga pendidikan namun formal, para pendukung Daulah membasiskan pendidikan mereka di ranan informal—untuk renegerasi belaka.

Dua jenis radikalis tersebut sama-sama berbahaya, terlepas dari perbedaan ideologi, basis pergerakan, maupun agenda jangka panjang mereka. Dalam konteks keriskanan tersebut, mereka serumpun; menjadikan soft approach radicalization sebagai jurus. Lalu, apa yang mesti kita lakukan ke depan? Sesuram itukah masa depan Indonesia, hanya dikuasai anak-anak ideologi HTI dan anak-anak ideologis pendukung Daulah?

Upaya Kita

Ada kelebihan para radikalis, yang juga sedikit disinggung pada Editorial kemarin, yang mesti kita sadari bersama, yaitu militansi. Siapa di antara mereka yang paling militan? Semuanya militan untuk organisasinya masing-masing. Militansi tersebut, sejauh ini, belum bisa di atas. Setiap upaya kontra-radikalisasi dan deradikalisasi menemukan rintangan dalam hal melawan militansi. Klaim legitimasi ilahiah, dalam gerilya mereka, benar-benar susah dilawan.

Sementara itu, apa yang kita punya? Selain wawasan keislaman dan keindonesiaan, kita tidak memiliki apa-apa. Kita harus jujur bahwa militansi—dalam diri setiap pelaku kontra-radikalisasi—bersifat temporal. Berbeda dengan para radikalis yang gerakannya berkelanjutan, kita bergerak karena dorongan tertentu yang jauh dari sikap militan. Karena itu, sebelum pada upaya-upaya strategis, membangun militansi merupakan bekal yang utama dan tidak dapat diabaikan.

Jika soal militansi sudah beres, kita bisa menggunakan tiga cara untuk menanggulangi soft approach radicalization. Ketiganya ialah, pertama, integrasi para otoritas. Ini mencakup unsur pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Otoritas terkait pemberantasan radikalisme-terorisme yang dimaksud ialah BNPT, Densus 88, BIN, BPET-MUI. Integrasi otoritas juga mesti melibatkan unsur akademik, seperti SKSG Universitas Indonesia. Juga media, seperti Harakatuna. Semuanya harus terintegrasi.

Kedua, pengarusutamaan moderasi. Yang dimaksud pengarusutamaan di sini mengacu pada langkah yang serius—bukan hanya proyek belaka. Faktanya, selama ini, moderasi beragama belum maksimal. Yang mengejutkan, di sejumlah elemen masyarakat, ia dianggap nama lain dari liberalisme. Artinya, moderasi belum menjadi prinsip mainstream keberislaman di Indonesia. Kemenag RI, NU, dan Muhammadiyah, dalam hal ini, harus lebih optimal lagi. Jangan hanya proyek saja.

Ketiga, kontinuitas program kontra-radikalisasi dan deradikalisasi. Ini juga penting sebagai upaya menyelesaikan masalah soft approach radicalization. Gerakannya harus kekal, kontinu, dan tidak temporal. Misalnya, di BNPT, terjadi perubahan program ketika struktural lembaga berganti. Yang demikian merupakan masalah, karena menjadikan kontra-radikalisasi dan deradikalisasi tidak efektif bahkan mati suri. Sementara itu, ancaman untuk NKRI berkelanjutan. Masalah ini wajib dibenahi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru