27.8 C
Jakarta

Rocky Gerung, Penghinaan Presiden, dan Sikap Kita

Artikel Trending

Milenial IslamRocky Gerung, Penghinaan Presiden, dan Sikap Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sesuatu tentang singgungan-ketersinggungan sudah pernah saya ulas empat tahun lalu, ketika suasana Pilpres 2019. Saat itu polarisasi merebak: cebong dan kampret. Satu sama lain saling mengolok, terutama di kalangan umat Muslim. Ada juga yang ikut terseret polarisasi tersebut, yaitu mereka yang non-agamis tapi berada di kubu oposisi. Rocky Gerung, misalnya. Ia juga dianggap sebagai kampret.

Tentu Rocky tidak tinggal diam. Dia juga keras mengolok lawan. Yang terkenal ialah ketika dirinya menganggap kubu sebelah sebagai cebong IQ 200 sekolam. Alih-alih dilaporkan, balasannya adalah hinaan serupa, seperti kadal gurun, Rocky kampret, Arab bahlul, dan olokan sejenisnya. Persatuan memang terancam waktu itu, tetapi kritik-kritik Rocky tidak pernah diproses hukum—atau diproses tapi tidak sampai membuatnya dipenjara.

Sebenarnya, di era ketika media sosial telah mengubah cara berinteraksi dan berkomunikasi, ujaran kebencian telah menjadi masalah serius di banyak negara, termasuk Indonesia. Ujaran kebencian, terutama yang ditujukan kepada tokoh publik seperti presiden, mengganggu stabilitas sosial dan memicu ketegangan di masyarakat. Jadi bukan tentang laik atau tidaknya diproses hukum, bukan juga tentang kebebasan berekspresi, melainkan dampak buruk akibat ujaran kebencian itu sendiri.

Kasus hari-hari ini, ketika Rocky Gerung secara terang-terangan menghina Jokowi dengan istilah ‘bajingan tolol’ dan menjadi perdebatan sengit antara pro dan kontra, itu menarik. Penghinaan terhadap presiden di satu sisi, dan peluang politis dari hinaan itu sendiri di sisi lainnya, sama-sama harus ditanggapi. Tidak hanya itu, langkah-langkah konkret menghadapi tantangan tersebut demi menjaga persatuan NKRI juga urgen dilakukan.

Konteks dan Implikasi

Ujaran kebencian terhadap presiden merupakan ekspresi merendahkan, mendiskreditkan, atau menghina tindakan atau kebijakan seorang pemimpin. Implikasinya dapat merugikan, baik secara sosial maupun politik, terhadap subjek yang dihina. Masyarakat terpecah-belah dan ketidakpastian politik meningkat. Karena ujaran tersebut menyinggung, tafsir bermain di dalamnya. Dari tafsir atas ujaran itulah, pro-kontra lahir.

Tanggapan masyarakat terhadap kasus Rocky Gerung sangat beragam. Kelompok yang membela Jokowi merasa, penghinaan tersebut adalah tindakan tak terpuji dan merusak marwah presiden. Di sisi lain, ada pendapat bahwa hak berbicara dan kritik terhadap pemimpin adalah bagian integral dari demokrasi, dan karenanya, Rocky punya hak untuk menyampaikan pendapatnya, sejauh itu tidak melampaui batas hukum.

Sebenarnya, dalam konteks apakah ujaran Rocky lahir? Ketika diselisik ternyata benar bahwa kata ‘bajingan’ merupakan label personal, bukan jabatan. Jika Rocky maupun yang pro dengannya berdalih bahwa yang diolok adalah jabatan Jokowi, yakni presiden, bukan Jokowi secara personal, itu tidak relevan. Pembelaan tersebut dapat dibenarkan seandainya Rocky memakai kalimat lain, misalnya ‘tidak becus’, ‘diktator’, dan sebagainya.

BACA JUGA  New-Khilafah dan Pemerkosaan Demokrasi di Indonesia

Artinya, secara kontekstual, Rocky memang menghina Jokowi. Andai Jokowi hendak melaporkan Rocky melalui UU ITE dengan delik aduan pencemaran nama baik, Rocky pasti ditangkap. Di sinilah perlu diperhatikan bahwa sejauh ini, delik aduan itu belum terjadi. Rocky hanya dilaporkan para simpatisan Jokowi, bukan Jokowi itu sendiri. Maka, implikasi hukum dapat dilakukan terhadap yang bersangkutan.

Lalu, apa implikasi dari ujaran tersebut? Baik Jokowi maupun Rocky sama-sama kena. Jokowi akan hilang integritasnya sebagai presiden, karena predikat ‘presiden’ dan ‘tolol’ sangat kontras. Sementara bagi Rocky, implikasinya adalah dia bisa dibui jika ranah hukum benar-benar diambil. Penghinaan presiden atau penghinaan Jokowi hanya soal bahasa namun jika soal nama baik, sepertinya Rocky mesti waspada.

Mengatasi Masalah

Ke depan, penghinaan presiden tidak boleh terjadi lagi. Generasi muda lebih sensitif, dan jika menghina seseorang telah mengakar jadi tradisi, masa depan NKRI adalah tentang polarisasi, perpecahan, pertengkaran, dan bahkan kehancuran nasional (chaos). Untuk itu, menanggapi kasus Rocky Gerung dan penghinaan terhadap presiden, beberapa langlah dapat dilakukan.

Pertama, pendidikan. Ini berperan penting dalam membentuk pemahaman yang lebih baik tentang nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan menghargai pluralitas. Program pendidikan yang mempromosikan keragaman budaya dan agama dapat membantu mengurangi stereotip dan prasangka yang menjadi akar dari ujaran kebencian. Di masa depan, tidak boleh ada lagi tradisi cemoohan rasial maupun keagamaan.

Kedua, ketegasan hukum. Hukum yang tegas dan konsisten harus diterapkan terhadap pelaku ujaran kebencian atau penghinaan. Ini dapat memberikan efek jera dan memberikan sinyal bahwa tindakan semacam itu tidak pernah ditoleransi. Ketiga, media massa. Platform media sosial berperan menyebarkan informasi tanpa penyaringan. Karenanya, pelatihan literasi media dan digital merupakan bekal yang krusial.

Keempat, dialogi antarkelompok. Ini membantu mengurangi ketegangan dan menciptakan pemahaman ihwal kerukunan. Diskusi konstruktif di ruang publik dapat membantu mengatasi perpecahan yang disebabkan oleh ujaran kebencian seperti yang Rocku lakukan. Kelima, meningkatkab patriotisme. Ini karena pengaruh buruknya tidak hanya pada tatanan sosial, tetapi juga pada perekonomian dan stabilitas politik.

Artinya, bagaimana kita mesti menyikapi Rocky Gerung dan penghinaan terhadap presiden? Jawabannya satu: mengedepankan akal sehat dan menjauhi akal busuk dalam segala hal.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru