31.5 C
Jakarta

Revitalisasi Nilai Berkeislaman dan Berkeindonesiaan untuk Kontra-Radikalisasi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifRevitalisasi Nilai Berkeislaman dan Berkeindonesiaan untuk Kontra-Radikalisasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Negara pada hakikatnya merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang berdiri diatas kesepakatan-kesepakatan dari bermacam golongan, suku bangsa, ras dan agama untuk bersama-sama bernaung dalam lingkungan organisasi masyarakat yang mereka dirikan, guna menuju suatu tujuan bersama.

Isi kesepakatan itulah, baik yang tercapai sejak awal berdirinya negara maupun yang baru dalam perjalanan selanjutnya yang kemudian dituangkan dalam sebuah konstitusi.

Dalam konteks kenegaraan, isi konstitusi itulah yang kelak akan menjadi pembatas dan koridor bagi para anggota keluarga negara -baik itu golongan, suku bangsa, ras dan agama- maupun perorangan dalam melakukan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan negara. Bahkan dalam hal-hal tertentu atau terkadang juga melakukan kegiatan keagamaan yang menyangkut bidang muamalah.

Pelanggaran terhadap pembatas-pembatas itu dapat dikenai sanksi oleh negara, di samping mendapat reaksi dari kelompok atau golongan lain yang menjadi anggota keluarga negara. Pelanggaran akan menimbulkan keresahan diantara sesama anggota keluarga negara, bahkan tak mustahil akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan negara itu sendiri.

Apakah persepsi tentang negara yang demikian itu juga merupakan persepsi dari semua golongan, suku bangsa, ras, dan masyarakat pemeluk agama yang telah bersepakat mendirikan atau turut bernaung dalam suatu negara akan terus berlangsung pada perjalanan selanjutnya? Hal ini bergantung pada dua faktor.

Pertama, sekukuh dan sedalam mana suatu golongan, suku bangsa, ras, atau masyarakat pemeluk agama mempunyai niat dan motivasi ketika untuk pertama kali mereka ikut mendirikan atau kemudian turut bernaung dan berada dalam organisasi negara itu.

Semakin kukuh dan dalam niat dan motivasi itu, akan semakian kuat pula suatu golongan, suku bangsa, ras, atau masyarakat pemeluk agama akan berpegang teguh pada persepsinya itu. Sebaliknya sedemikian menjadi akan semakin rapuh, dan pada gilirannya akan lenyap.

Kedua, ada atau tidak adanya perasaan senasib dari pada anggota keluarga besar negara itu tatkala kemudian mereka bersama-sama menyelenggarakan dan mengemudikan negara. itulah sebabnya, kesepakatan untuk mendirikan negara merupakan sebuah gesamakt, bukan sebuah konsensus.

Dari sejarah berdirinya bangsa dan negara Indonesia serta perjalan selanjutnya hingga saat ini, selain dari peran para pahlawan dan tokoh Islam dalam mendirikan negara ini, tercatat tiga peristiwa besar yang menunjukkan dan membuktikan, betapa kukuh dan dalamnya persepsi sedemikian itu ada pada diri dan tubuh umat Islam.

Pertama, keteguhan panglima Besar Jenderal Soedirman pada komitmennya terhadap negara, tatkala beliau tak menyerah terhadap Belanda pada saat seluruh pimpinan pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta pada aksi militer kedua belanda tahun 1958 telah ditahan tentara belanda. Panglima Besar Soedirman, yang juga tokoh dan pimpinan Hizbul Wathan Muhammadiyah itu, tak menyerah terhadap tentara Belanda, dan tetap memimpin perang gerilya, meski paru-parunya hanya tinggal satu yang berfungsi.

Kedua, keteguhan syafruddin prawiranegara pada komitmenya terhadap bangsa dan negara, tatkala beliau dan kawan-kawannya mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ditengah hutan belantara sumatera guna mempertahankan eksistensi pusat Pemerintahan Republik Indonesia, karena pusat pemerintahan Indonesia di Yogyakarta sudah dinilai menyerah kepada Belanda oleh dunia Intemasional.

Ketiga, keteguhan komitmen Mohammad Natsir pada cita-cita mewujudkan negara kesatuan Republik Indonesia, tatkala beliau tampil dengan mosi integralnya diparlemen untuk mengembalikan bentuk negara federal menjadi negara kesatuan kembali, sesudah pemerintah kolonial Belanda berhasil merekayasa terbentuknya negara republik Indonesi serikat yang telah mengubah cita-cita proklamasi 17 agustus 1945. tiga peristiwa besar ini, kadang hendak dilupakan.

UUD 1945 telah menegaskan, bahwa negara republik Indonesia bukan negara sekuler, pasal 29 ayat(l) UUD 1945 dengan tegas menyatakan, bahwa “Negara Berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa”. Bahkan bukan hanya itu, ayat (2) pasal tersebut dengan tegas pula

menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” Makna “menjamin” yang terdapat pada ayat ini jelas bersifat aktif, tidak pasif, karena mempunyai dua aspek.

Pertama, negara berkewajiban bertindak sebagai fasilitator bagi terselenggaranya peribadatan oleh kalangan pemeluk agama, sepanjang hal itu di perlukan para pemeluknya, tanpa negara mencampuri otoritas dan otonomi ajaran agamanya. Kedua, negara berkewajiban untuk mencegah terjadinya gangguan yang datang dari luar lingkungan suatu agama, dari pihak mana pun datangnya.

Mencetak Good Governance

Dalam sejarah dan realita perjalan bangsa dan negara kita selama ini telah dapat dibuktikan bahwa kedudukan negara selaku fasilitator, tidak hanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk penyediaan sarana fisik berupa piranti keras (hardware), tetapi juga diwujudkan dalam bentuk-bentuk piranti lunak (software), yaitu berbagai peraturan perundang-undangan.

Telah pula dibuktikan, bahwa kedudukan sebagai fasilitator tidak hanya diwujudkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan implementasi peribadatan yang bersifat ubudiyah, tetapi juga untuk hal-hal yang bersifat muamalah.

Mewujudkan konsep kepemerintahan yang baik (good governance) Semangat reformasi telah mewarnai pendayaguaan aparatur negara dengan tuntutan untuk mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan, dengan mempraktekkan prinsp-prinsip good governance.

Selain itu, masyarakat menuntut agar pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam menanggulangi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan mampu menyediakan public goods and services sebagaiamana yang diharapkan oleh masyarakat.

Good governance yang dimaksud adalah merupakan proses penyelenggraan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services disebut governance (pemerintah atau kepemerintahan), sedangkan praktek terbaiknya disebut good governance (kepemerintahan yang baik) agar good governance dapat menjadi kenyataan dan berjalan dengan baik, maka dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat.

Good governance yang efektif menuntut adanya “alignment” (koordinasi) yang baik dan integritas, profesional serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian penerapan konsep “good governace” dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara merupakan tantangan tersendiri.

Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggujawaban yang tepat, jelas, dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayag una, berhasil, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.

Perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat peran dan kapasitas parlemen, serta tersedianya akses yang sama pada infbrmasi bagi masyarakat luas.

Konsep dasar akuntabilitas didasarkan pada klasifikasi responsibilitas manejerial pada tiap lingkungan dalam organisasi yang bertujuan untuk pelaksanaan kegiatan pada tiap bagian. Masing-masing individu pada tiap jajaran aparatur bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang dilaksanakan pada bagian.

Konsep inilah yang membedakan adanya kegiatan yang terkendali (controllable activities) dan kegiatan yang tidak terkendali (uncontrollable activities). Kegiatan yang terkendali merupakan kegiatan yang secara nyata dapat dikendalikan oleh seseorang atau suatu pihak. Ini berarti, kegiatan tersebut benar-benar direncanakan, dilaksanakan dan nilai hasilnya oleh pihak yang berwenang.

Akuntabilitas didefinisikan sebagai suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggun jawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui media pertanggung jawaban yang

dilaksanakan secara periodik. Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas instansi pemerintah merupakan perwujudan kewajiban instansi pemerintah untuk mempertanggung jawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut, telah ditetapkan TAP MPR RI nomor XI/MPR/ 1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme dan undang-undang nomor 28 tahun 1999

BACA JUGA  Mensterilkan Generasi Muda dari Jeratan Paham Radikal

dengan judul yang sama sebagai tindak lanjut TAP MPR tersebut. dan sebagai kelanjutan dari produk hukum tersebut diterbitkan Inpres nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP).

Asas umum penyelenggaraan negara menurut undangundang nomor 28 tahun 1999 meliputi asas kepastian hukum, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas. Menurut UU tersebut, yang dimaksud asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai denagan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kohesivitas kekuasaan dan moral sebelum masuk kedalam penemuan pengertian filosofis, maka terasa perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu adanya perbedaan dan keterpilahan dari konsep kekuasaan dengan konsep moralitas. Hal ini penting untuk melihat secara lebih dalam dan meluas tentang hakekat demokrasi sebagai sebuah teori politik yang menjadi basis bagi etika politik modern.

Pertanyaan sentral yang harus dijawab adalah apakah konsep kekuasaan itu selalu memuat aspek moralitas? Atukah kekuasaan itu selalu berdiri sendiri tanpa ada campur tangan moralitas didalamnnya? Filsafat politik Aristoteles yang selalu menjadi acuan untuk memahami politik pernah menjawab hal ini.

Perspektif Para Cendekiawan

Dengan mengacu pada kehidupan untuk membangun polis pada waktu itu, Aristoteles menyatakan bahwa berpolitik adalah ungkapan beretika tanpa dimensi politik manusia belum dapat nampak sebagai manusia.

Negara adalah suatu yang positif untuk memenuhi kebutuhankebutuhan manusia sebagai zoon politicon. hal ini ditempuh untuk mencapai kebijaksanaan lewat pengalaman, yaitu hidup yang baik, yang membawa pada kebahagiaan (eudamonia). kalaulah berpolitik itu sebagai ungkapan hidup beretika berarti dalam istilah politik itu sendiri sudah inheren ada etika. Artinya, politik itu pastilah etis.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Aristotales memahami politik tidak bisa dilepaskan dari etika, atau kekuasaan tidak mungkin dilepaskan dari moralitas. Lain halnya dengan Hannah Arendt yang mencoba untuk mendefinisikan kekuasaan sebagai suatu yang terlepas dari kekerasan. Konsep kekuasaan Arendt memahami kekuasaan bukan sebagai alat untuk memaksa orang lain melaksanakan tujuan seseorang, melainkan sebagai pembentukan kehendak bersama dalam suatu komunikasi yang diarahkan pada saling memahami.

Hal ini berlawanan dengan Weber yang menganggap bahwa kekuasaan dan kekerasan bagaikan sebuah mata uang yang berkeping dua. Kekuasaan di anggap sebagai bentuk yang tersembunyi dari kekerasan dan kekerasan dianggap sebagai manifestasi kekuasaan yang paling mencolok.

Arendt ingin menyangkal pendapat ini dan menyangkal seolah-olah dari kekerasan bisa muncul kekuasaan dan sebaliknya dari kekuasaan muncul kekerasan. Jika beranggapan secara sederhana bahwa kekerasan adalah sesuatu yang tak bermoral, maka dapat disimpulkan bahwa Arendt menginginkan adanya pengertian kekuasaan yang tidak mungkin lepas dari moral.

Hal-hal yang tidak bermoral semacam kekerasan dengan segala bentuk pemaksaan kehendak lainnya tidak boleh dilekatkan dan dipahami inheren ada dalam konsep kekuasaan.

Para sosiolog umumnya mengambil titik tolak yang netral dalam menelaah kekuasaan, artinya tidak akan menilai kekuasaan sebagai hal yang baik atau buruk, kecuali dari sudut pelaksanaannya. Karakteristik pokok hubungan kekuasaan, yang paling sering dijumpai ada dua ciri. Oleh karena unsur tekanan atau konflik terwujud pada penggunaan sanksi negatif, maka kekuasaan dapat dirumuskan sebagai hubungan prosesual antara dua pihak.

Pertama, pengaruh asimetris, dengan kemungkinan pengambilan keputusan ada pada salah satu pihak, walaupun pihak lain menentangnya. Kedua, penggunaan sanksi-sanksi negatif sebagai perilaku menonjol dari pihak yang dominan. jika dihubungkan dengan kekerasan, maka sanksi negatif itu dapat berwujud kekerasan dalam hal ini potensial dalam suatu relasi kekuasaan.

Sementara itu Michel foucault memahami kekuasaan secara luas. Kekuasaan menurut Foucault bukan suatu yang dapat dipertukarkan, diberikan, tetapi dilaksanakan. Kekuasaan hanya ada dalam pelaksanaan dimana yang terpenting adalah suatu hubungan kekuatan. Hubungan yang mengandung niat seseorang untuk mengarahkan perilaku orang lain.

Dalam imajinasi Foucault, kekuasaan adalah hubungan-hubungan yang amat kompleks dari kekuatan-kekuatan yang terus berubah dan menyebar keseluruh bidang kemasyarakatan. Kekuasaan juga beraksi melalui unsurunsur terkecil, misalnya keluarga, hubungan seksual, tetapi juga hubungan pemukiman, perkampungan dan sebagainya, selama kita berada dan masuk dalam jaringan kehidupan sosial, kita akan selalu menemukan sebagai suatu yang mengalir didalamnya, yang beraksi, yang menimbulkan efek-efek.

Konsep kekuasaan menurut pemahaman Foucault ini amat menarik, kekuasaan dapat eksis dan beraksi dimana saja dan kapan saja seperti iklan produk. Hal lain yang menarik dari Foucault adalah bahwa ia menyatakan “dimana ada kekuasaan, disitu ada perlawanan”, akibatnya, perlawanan ini tidak dalam posisi eksterioritas dalam hubungan dengan kekuasaan; kekuasaan selalu mengandaikan adanya perlawanan. kalau demikian halnya, maka dapat dipersepsi bahwa kekuasaan selalu mengandung unsur-unsur negatif untuk dilawan.

Secara luas dapat ditafsirkan bahwa mungkin sekali bahwa kekuasaan itu mengandung benih-benih amoralitas. Dengan demikian kekuasaan dapat dipahami sebagai sesuatu yang dapat memuat moralitas dan dapat pula tidak memuat moralitas. kekuasaan dapat dipilah dan dipisahkan dari moralitas. Penegasan yang amat sangat mengenai keterpisahan kekuasaan dan moralitas dikemukakan secara eksplisit oleh Machiavelli. Bahkan machiavelli menganggap bahwa kekuasaan dan moralitas adalah sesuatu yang sangat berbeda dan tidak bisa disatukan.

Bagi machiavelli tidak ada gunanya untuk membicarakan legitimasi moral bagi kekuasaan politik demi efektifitas dari kekuasaan itu sendiri. Sehingga, negara tidak perlu dibebani pandangan-pandangan moral dalam praktek-praktek kekuasaanya. Benar bahwa kekuasaan politik merupakan sebagaian dari kekusaan sosial, tidaklah mungkin dapat dijalankan dengan baik tanpa menggunakan kekuasaan atau sifat memaksa secara fisik seperlunya. Namun sifat memaksa ini bagaimanapun juga harus legitimit.

Machiavelli menolak pemahaman mengenai kekuasaan yang benar itu, ia merendahkan martabat dimensi kehidupan politik pada persaingan antara pemimpin ‘mafia’ yang saling berebutan kekuasaan. Tentu saja, ini merupakan konsep kekuasan yang tidak terhormat, Disini ia mereduksi paham kekuasan pada tingkat yang paling rendah. Apa yang hendak disimpulkan dari telaah komparatif sederhana mengenai konsep kekuasaan dan konsep moralitas tersebut adalah adanya keterpilahan dari kedua konsep tersebut secara teoritis.

Hal ini tidak berarti bahwa kepaduan atau kemenyatuan dari kedua konsep tersebut tidak bisa, melainkan secara terbuka harus kita unkapkan potensi untuk itu cukup besar. jadi dapat dipahami secara teoritis logis bahwa kekuasaan secara potensial dapat terpisah secara total dari moralitas, dan secara potensial dapat pula menyatu secara total dengan moralitas.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan dan moralitas adalah dua hal yang berbeda, dalam arti dapat dipilah. Namun sering kali dalam kenyataan empiris kedua ekstrim itu tidak dapat terlihat dengan jelas, yang lebih nampak adalah tarik ulur kekuasaan dengan moralitas dalam mengaktualisasikan masing-masing kepentingan yang bersandar pada masing-masing keyakinan tertentu dari partisipan kehidupan politik yang ada.

Dari tesis di atas, jelas bahwa wacana kekuasaan dan moralitas yang bersumber dari agama tetap menyisakan dua cara pandang dalam konteks kenegaraan dan ideologi sebagaimana perumusan awal sejarah perdebatan para Founding fathers dalam mendirikan negara Indonesia.

Kelompok Nasionalis-Sekuler dan Nasionalis-Islamis yang masing-masing dipelopori oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Natsir. Negara Indonesia secara tegas sebagaimana telah diurai awal bahwa bukan negara sekuler, tetapi bukan pula negara agama yang hanya mengakomodasi agama tertentu tetapi dengan pluralitas keagamaan, suku bangsa, ras dan lain-lainnya menjadikan konsep kebhinekaan tunggal ika sebagai pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kendatipun, domain warna dari agama tertentu tidak dapat dihindari dari pengaruh kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari karena konsep demokrasi.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Kader aktif PMII UNUJA sekaligus mahasiswa dan santri aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Minat kajian keislaman dan filsafat.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru