28.2 C
Jakarta

Recap 2023: Terorisme Menurun, Apa Lagi yang Harus Ditakutkan?

Artikel Trending

Milenial IslamRecap 2023: Terorisme Menurun, Apa Lagi yang Harus Ditakutkan?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menjelang tahun 2024, isu terorisme berada di titik nadir. Satu sisi, tahun depan akan digelar Pemilu 2024 yang diprediksi dapat menaikkan tensi ancaman teror. Di sisi lain, recap indeks potensi serangan terorisme pada 2023 menurun sekitar 56 persen, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jadi, sebenarnya apa lagi yang mesti diwaspadai kalau melihat ancaman terorisme tersebut menurun?

Yang jelas, sekalipun indeks terorisme pada 2023 menurun signifikan, bukan berarti kita boleh meredakan kewaspadaan. Pemilu 2024 adalah titik fokus ketidakpastian: dinamika politik dapat menciptakan celah baru teroris untuk beraksi. Karenanya, sambil merayakan penurunan ancaman terorisme, kita juga perlu mempertimbangkan beberapa aspek yang mungkin menjadi titik rawan untuk stabilitas nasional.

Apa saja itu? Pertama, bahwa turunnya indeks potensi terorisme tidak melulu mencerminkan berkurangnya ideologi ekstrem di masyarakat. Boleh jadi, kelompok teroris sedang merencanakan tindakan rahasia atau menggunakan strategi baru yang sulit dideteksi. Dalam konteks itu, penurunan tersebut mesti diartikan sebagai tantangan baru dalam memahami dinamika terorisme.

Kedua, bahwa pergeseran fokus dari teror langsung ke teror siber merupakan ancaman nyata yang tidak dapat disepelekan. Di era AI seperti sekarang, gerilya terorisme beralih ke dunia maya untuk menyerang infrastruktur, pemerintahan, bahkan masyarakat digital. Ketiga, dampak pandemi masih jadi pemicu potensial. Ketegangan horizontal akibat krisis ekonomi dan ketidakpastian sosial adalah ladang empuk indoktrinasi.

Indeks Terorisme

Turunnya indeks terorisme selama dua tahun terakhir sudah diketahui masyarakat secara umum. Selain melandai dari aspek serangan, indeks terorisme di Indonesia juga mengalami penurunan dari aspek jumlah kematian dan dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat. Ada tiga hal yang menjadi tolok ukur indeks terorisme, yakni sisi jumlah serangan, jumlah korban, serta dampak yang ditimbulkan dari serangan itu sendiri.

Perlu dicatat, hasil survei BNPT bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), Puslitbang Kemenag, Kajian Terorisme UI, BRIN, Nasaruddin Umar Office, The Nusa Institute, Daulat Bangsa, dan Alvara Research Institute mengatakan bahwa indeks potensi radikalisme tahun 2022 mengalami penurunan sebanyak 2,2 persen, dari 12,2 persen pada tahun 2020 menjadi 10 persen.

Survei tersebut menunjukkan bahwa indeks radikalisme lebih tinggi pada wanita, generasi muda, dan mereka yang digital-native. Adapun indeks risiko terorisme tahun 2022 lalu terdiri atas dimensi “target” dan dimensi “suplai” pelaku. Hasil penilaian telah berhasil melampaui target yang ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di mana indeks dimensi target di tahun 2022 berada di angka 51,54.

BACA JUGA  International Women’s Day dan Peran Perempuan dalam Terorisme

Angka ini lebih rendah dari yang ditetapkan dalam RPJMN 2020-2024 sebesar 54,26. Lebih lanjut, indeks dimensi suplai pelaku berada di angka 29,48. Angka itu lebih rendah dari yang ditetapkan RPJMN sebesar 38,00.

Ada keyakinan menarik terkait indeks tersebut, yaitu bahwa “semakin kecil angka indeks, maka risiko terorisme menjadi semakin rendah”. Lalu, bagaimana dengan titik kewaspadaan yang harus dilakukan?

Titik Kewaspadaan

Mewaspadai terorisme, untuk diketahui, tidak perlu beracuan pada indeks tertentu. Indeksasi itu tak diukur untuk menunjukkan kepunahan terorisme, melainkan untuk menentukan tensi kewaspadaan atas terorisme itu sendiri. Artinya, titik kewaspadaan itu harus selalu ada, bagaimana pun indeks terorisme berada. Hanya karena menurun, bukan berarti kita bisa bersantai dan leyeh-leyeh.

Kelengahan biasa terjadi dalam situasi melandainya indeks terorisme, sebagaimana telah diuraikan. Para aktor teror akan memanfaatkan situasi demikian untuk melakukan serangan. Dalam konteks itu, menurunnya indeks terorisme justru menjadi titik kewaspadaan bersama. Sebab, sekali lagi, sebagai ideologi, terorisme itu mustahil musnah. Maka kewaspadaan juga tidak boleh ikut menurun, apalagi musnah sama sekali.

Yang perlu ditakutkan ialah dua hal. Pertama, menurunnya kewaspadaan masyarakat dan para stakeholder kontra-terorisme. Para pemangku otoritas, yakni pemerintah, pasca-rezim Jokowi, pada 2024 mendatang, boleh jadi tidak akan fokus ke masalah terorisme. Menuju bonus demografi 2024, narasi Indonesia Emas mulai jadi prioritas daripada kontra-terorisme. Artinya, kewaspadaan akan terorisme juga tidak akan tinggi lagi.

Kedua, naiknya gerilya para teroris. Sejarah akan terulang, sebagaimana pada era awal Reformasi, sebelum Megawati berkuasa. Para teroris dengan gerakan bawah tanah mereka siap melakukan amaliah dengan logistik yang mumpuni. Jika itu terjadi, tahun 2024 akan menjadi tahun melonjaknya indeks terorisme secara signifikan. Apalagi tahun Pemilu, tambah kompleks. Ancamannya benar-benar di depan mata.

Tahun 2023 akan segera berakhir. Melihat indeks terorisme yang turun signifikan, tentu itu perlu diapresiasi. Namun demikian, tahun 2024 tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Melihat rekam jejak gerilya terorisme, yang perlu ditakutkan bersama dengan turunnya indeksasi tersebut ialah aksi teror yang tiba-tiba, saat kita lengah, saat pemerintah tak fokus, dan saat masyarakat abai. Takutlah, karena ia akan memakan banyak korban.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru