27.2 C
Jakarta

Radikalisme Lahir dari Keluarga?

Artikel Trending

Milenial IslamRadikalisme Lahir dari Keluarga?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Hari ini semakin tersadar, bahwa radikalisme sebenarnya sumber utamanya tidak lahir dari ranah agama. Melampaui itu, radikalisme penyebab utamanya adalah dari sisi yang lain.

Menurut Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komarudin Hidayat, bahwa hari ini, semakin banyak ilmuwan, peneliti, dan sejarawan yang mulai menyadari penyebab utama radikalisme-terorisme lebih ke persoalan politik, ekonomi, hukum, dan sosial budaya.

Menurut Komarudin, alasan agama muncul setelah alasan lainnya. Misalnya, seperti rasa ketidakpuasan, kemarahan, dan ketidakseimbangan kelompok.

Sisi Lain Radikalisme

Di sisi lain, radikalisme muncul baru pada ranah agama karena sentimen keagamaan. Harus diakui, umat yang berbeda secara keagamaan menjadi satu alasan mereka saling membenci. Bahkan antargolongan yang satu agama saja, yang berbeda pilihan ormas, menjadi satu alasan saling salah dan menyalahkan.

Hal tersebut yang menjadi isu riskan dan masalah yang sampai saat ini dan masih terus berlangsung. Apalagi, diperkuat dengan informasi yang sengaja diarahkan kepada sesuatu yang lain. Banjir informasi menciptakan paradoks pilihan bagaimana radikalisme tumbuh dan berkembang.

Dalam situasi demikian, arus informasi yang tak tersaring membuat orang kebingungan, sehingga mudah terdorong dengan sendirinya pada ajaran-ajaran radikal atau self-radicalization. Kendati begitu, kini makin banyak tokoh utama yang menjadi motor serta inisiator berkembangnya radikalisme-terorisme.

Sekolah Sarang Radikalisme?

Bahkan sekolah-sekolah menjadi sarang ajaran radikalisme. Sekolah-sekolah banyak memasukkan kurikulum tersembunyi. Sebagai contoh, sekolah di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, mengajarkan yel-yel bernada rasis dan radikal. Dan juga sekolah-sekolah yang basisnya di Solo juga bahkan mengajarkan hal ajaran keagamaan yang parah. Akhirnya, siswa-siswa banyak bercita-cita menjadi calon teroris.

BACA JUGA  Di Tengah Gusarnya Politik, Ada Teroris Bermain Pendanaan dan Intrik

Melihat keadaan demikian, radikalisme di lingkungan pendidikan sangat berbahaya, selain karena bisa meracuni pemikiran para murid yang polos, juga menjadikan ia terperangkap kepada dunia dan medan terorisme.

Sudah banyak contoh nyata di mana anak-anak didik dimanfaatkan menjadi tumbal teroris. Mereka menjadi bahan amaliyah karena suatu ajaran keras yang mereka ikuti. Akhirnya, pendidikan yang seharusnya bisa mengentaskan anak didik dari kebebalan hidup, malah menjadi tumbal yang juga menyengsarakan banyak orang.

Pentingnya Pendidikan Keluarga

Kendati itu, jangan sampai anak-anak malah bercita-cita jadi teroris. Sekolah harus steril dari ajaran dan kurikulum yang radikal. Orang tua juga harus memastikan bahwa anak-anaknya jauh dari lingkungan yang ekstrem.

Maka itu, sekali lagi, para orang tua harus mewaspadai agar anak-anaknya tidak terpapar radikalisme di sekolah. Caranya adalah dengan pendidikan literasi media. Para murid tidak hanya diajarkan cara membaca dan membuat resensi buku, tapi juga mengkritisinya secara mendalam.

Selain itu, adalah dengan mengajarkan para murid untuk berpikir kritis. Jika para murid biasa berpikir kritis dan diberi ruang untuk berpendapat, maka mereka akan tumbuh jadi pribadi yang tangguh dan cerdas. Dan saya rasa, mereka tidak mudah menjadi tumbal dari radikalisme yang selama ini tumbuh subur menerjang kita.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru