30.9 C
Jakarta

Mutlak Intelektual Berkata Jujur Pada Persoalan Radikalisme di Indonesia

Artikel Trending

EditorialMutlak Intelektual Berkata Jujur Pada Persoalan Radikalisme di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Banyak intelektual bertepuk tangan ketika melihat golongannya sendiri berada dia atas angin. Mereka merasa benar dengan apa yang telah ia miliki. Namun di sisi lain, mereka merendahkan golongan yang lain, dengan memakai alasan-alasan seperti latar belakang, ideologi, jumlah pengikut dan hal-hal lainnya.

Sehingga, golongan yang lain juga melakukan hal yang sama. Mereka sahut-sahutan di jalanan atas alasan-alasan yang dianggapnya benar. Sesuatu yang berangkali banyak intelektual/ormas di Indonesia juga melakukannya. Situasi itu kemudian memunculkan sebuah aroma baru dalam lanskap kehidupan keagamaan: saling curiga, saling menyalahkan, dan saling serang.

Sungguh yang terjadi adalalah permusuhan. Hingga saat ini, tidak ada satu pun ormas keagamaan di Indonesia yang akur satu sama lain. Maksud akur di sini adalah mereka benar-benar saling menghargai, baik secara pemahaman keagamaan, pilihan politik, ruang publik, dan hal yang menyangkut praktik keagamaan mereka lainnya.

Dengan kondisi di atas, apa tawaran Intelektual Indonesia? Banyak sudah para peneliti mengulas tentang bagaimana Indonesia menjawab tantangan di atas. Namun seringkali yang kita lihat hanyalah personifikasi yang sudah dimodifikasi. Jawabannya selalu proyek negara yang sudah sekian lama ditinggalkan oleh warganya karena tidak berefek positif, namun justru berefek samping.

Alasan lainnya, biasanya Indonesia mengklaim bahwa mereka telah melakukan banyak hal dalam merawat Keindonesiaan. Misalnya, intelektual Indonesia mengatakan bahwa dengan modal sosial-kultural yang dimiliki Indonesia, Negara-Bangsa Indonesia tidak akan pernah terjadi apa yang namanya permasalahan, permusuhan, dan apalagi kehancuran.

Kemudian mereka mengacu kepada alasan-alasan klise seperti berikut: upaya mewujudkan kehidupan toleran dan harmonis telah banyak diinisiasi oleh pemerintah Indonesia. Sehingga realitas yang terjadi, Indonesia tidak akan pernah terjadi semacam konflik, kekerasan bernuansa keagamaan, dan pecahnya keberagamaan.

Apakah di atas telah benar-benar terjadi? Tidak sepenuhnya. Justru yang ada sekarang adalah pengentalan permusuhan yang dipupuk dan dibangun oleh masyarakat atau golongan yang memiliki pengikut, baik yang jumlahnya banyak, mau pun yang sedikit. Maka keharmonisan di akar rumput tidak sepenuhnya terjadi.

Misalnya kasus Ahmadiyah, Syiah Sampang, hingga tren meningkatnya ujaran kebencian di kalangan antarormas, sesama intelektual, dan anak mudah muslim menjadi contoh yang serius dalam melihat masalah kasus ini. Dan selalu saja, masalah-masalah tersebut terus ada, tidak pernah diselesaikan, bahkan tambah hari, tambah miris saja.

BACA JUGA  Digital Native: Strategi Baru Kontra-Radikalisasi

Situasi ini cukup kasihan jika melihat keadaan Indonesia sekarang. Apalagi melihat intelektualnya yang selalu mudah mengatakan bahwa Indonesia tidak terjadi apa-apa. Suatu ungkapan tidak jujur.

Padahal, jika kita cukup jujur melihat realitas keagamaan, Indonesia sekarang tidak baik-baik saja. Ada pengentalan permusuhan yang mengeras di akar rumput. Ada tanda bahaya yang berjalan di bawah tanah. Ada hasrat balas dendam membara yang disusun dengan alasan-alasan kekuasaan dan praktik budaya. Dan ini akan terus terreproduksi karena tidak mau sungguh-sungguh diselesaikan.

Situasi ini yang sebenarnya berpotensi menjadi ancaman stabilitas sosial dan negara. Apalagi, jika melihat tren-tren ormas keagamaan, anak muda muslim, dan praktik budaya yang cenderung dekat dengan ideologi ekstrem radikal. Pada titik ini Indonesia tidaklah baik-baik saja.

Jika terus didiamkan, maka tunggulah bom waktu yang akan meledak. Kita sudah melihat entensitas gerakan keagamaan masyarakat yang dulunya toleran, ramah, dan menjadi pusat mata air keteladan, sekarang sudah terkikis seperti tidak ada sisanya.

Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kasus geger pecinan, kerusuhan menjelang reformasi 1998, dom meledak di gereja, di kantor polisi, di hotel dan tempat keramaian, serta beberapa kasus kekerasan yang dilakukan kelompok radikal akan terus tumbuh.

Lalu apa yang seharusnya Intelektual Indonesia katakan tentang hal ini? Atau seharusnya kejujuran seperti apa yang harus Intelektual Indonesia terjemahkan tentang realitas keagamaan yang terjadi Indonesia ini?

Satu hal, seharusnya intelektual muslim Indonesia berani berkata jujur bahwa Indonesia di dalam lanskap keagamaan tidak baik-baik saja. Ada banyak kepalsuan dalam praktik toleransi yang terjadi di antara kelompok ormas keagamaan. Ada dendam yang membara di akar rumput. Maka itu, intelektual Indonesia harus jujur atas itu semua. Minimal, menjadi leading sector untuk mengatakan situasi dan keadaan sejujur-jujurnya atas persoalan kompleks yang terjadi di negara Indonesia tercinta ini.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru