33.5 C
Jakarta

Radikalisasi di Dunia Pendidikan, Bagaimana Menanganinya?

Artikel Trending

Milenial IslamRadikalisasi di Dunia Pendidikan, Bagaimana Menanganinya?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Radikal. Radikalisme. Radikalisasi. Tiga kata itulah yang menjadi fokus kajian, pada Jum’at (21/7) kemarin, dalam seminar ke-44 Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta. Seri bedah buku “Pendidikan dan Radikalisme” tersebut dihadiri penulisnya langsung, Prof Mun’im Sirry, akademisi dari Universitas Notre Dame, AS. Benarkah pendidikan di Indonesia tengah berada dalam bayang-bayang radikalisme?

Prof Mun’im memulai diskusi melalui disclaimer bahwa topik pendidikan dan radikalisme bukanlah concern kajiannya. Kendati demikian, menurutnya, buku Pendidikan dan Radikalisme memiliki sejumlah keistimewaan yang, boleh jadi, tidak dijumpai dalam buku-buku lainnya. Sebagai contoh, aspek teoretis kajian terkait yang kerap absen dalam pelbagai literatur tentang radikalisme. Padahal, teori itu penting.

Salah satu tesis statement Prof Mun’im, yang mempersonifikasi temuannya, ialah tentang toleransi setengah hati (half heart tolerance). Berdasarkan survei terhadap sejumlah lembaga pendidikan menengah, ia menemukan bahwa toleransi yang ada hari ini bukanlah toleransi penuh. Masih ada keraguan, misalnya, ihwal batas-batas toleransi, yang secara tidak langsung mempersempit makna toleransi itu sendiri.

Tesis tersebut kemudian juga didukung oleh temuan bahwa intoleransi—sebagai tahap awal menuju radikalisme—di kalangan pelajar menengah tidak lebih riskan daripada kalangan pelajar perguruan tinggi. Mahasiswa lebih ekspresif, sehingga doktrin-doktrin intoleran-radikal lebih berbahaya. Tidaklah mengherankan bahwa di kalangan pelajar menengah, radikalisme yang ada adalah radikalisme ogah-ogahan.

Artinya, radikalisme di dunia pendidikan tidak dapat digeneralisasi ancamannya. Maka, penanganannya pun juga demikian. Perlu penanganan yang bersifat diskursif, menurut Prof Mun’im, daripada represif. Pada saat yang sama, ia juga menegaskan peran media sosial sebagai bagian inheren dari radikalisme di dunia pendidikan. Radikalisme bukanlah sesuatu yang monolitis. Ia memiliki lintasannya sendiri.

Trajektori Radikalisme

Prof Mun’im menggunakan teori konversi (convertion theory) ketika menganalisis radikalisasi di dunia pendidikan. Teori ini berasal dari analisis konseptual Serge Moscovici (w. 2014) tentang proses kognitif dan interpersonal yang memediasi dampak langsung dan tidak langsung dari minoritas yang konsisten terhadap mayoritas. Teori ini membantu menguraikan proses ganda dalam pengaruh sosial, yang dalam hal ini mencakup interaksi antarpelajar.

Prinsipnya, pandangan individu yang berbeda dari mayoritas akan memantik gejolak batin dan memotivasi individu tersebut untuk mengurangi konflik secara koeksistensi. Proses perbandingan tersebut menyebabkan kepatuhan dan penerimaan publik terhadap posisi mayoritas. Hal itu dilakukan untuk menghindari pengucilan dan ejekan yang kerap terjadi apabila individu tersebut tetap mempertahankan perbedaannya.

Sebagai contoh, seorang pelajar berada dalam lingkungan yang menganut eksklusivisme. Kesehariannya dipenuhi oleh hal-hal yang bernuansa intoleran dan eksklusif. Iklim sekolah atau perguruan tingginya, atau bahkan kurikulumnya, misalnya, mendukung intoleransi dan radikalisme. Secara tidak langsung, seorang pelajar tadi akan masuk ke dalam circle mayoritas—sebagai wujud konversi. Dan begitu pun sebaliknya.

BACA JUGA  Overdosis Ajaran Radikal Manipulatif di Media Sosial

Pengaruh teman, dengan demikian, menjadi salah satu trajektori radikalisme. Namun menariknya, ia akan menciptakan radikalisme yang dangkal, yang tidak serius, yang artinya membuat seseorang juga dengan sendirinya mudah keluar dari lingkaran radikalisme. Prof Mun’im menyebutnya sebagai self-deradicalization. Seorang pelajar mudah terjerumus radikalisme, sekaligus mudah keluar darinya. Itulah yang dimaksud dengan radikalisme ogah-ogahan.

Lalu bagaimana dengan trajektori lainnya, seperti ketidakdilan sosial, ketimpangan ekonomi, dan diversity? Prof Mun’im tidak menegasikan semua itu. Menurutnya, radikalisme merupakan sesuatu yang kompleks. Karena itu, untuk menangani radikalisme, terutama di dunia pendidikan, mendudukkan radikalisme secara diskursif menjadi sesuatu yang krusial. Sayangnya, hingga kini, aparat keamanan masih mendominasi kontra-radikalisme itu sendiri.

Alternatif Penanganan

Apakah para radikalis perlu diberikan kebebasan di ruang publik? Jawaban atas pertanyaan ini, jika mengacu pada statement Prof Mun’im, adalah “iya”. Menangani radikalisme menggunakan aksi represif aparat, Densus 88 misalnya, juga belum berhasil secara optimal. Di satu sisi, ini dapat dipertimbangkan. Namun, peran pemerintah selama ini juga tidak dapat dinegasikan sama sekali. Para radikalis tidak selemah kelihatannya.

Tesis-tesis Prof Mun’im dalam bukunya dapat menjadi tawaran alternatif dalam menangani radikalisme. Buku tersebut laik untuk menjadi salah satu naskah akademik para stakeholders kontra-radikalisme dan kontra-terorisme di negara ini. Pendekatan humanis ala Densus 88, soft-approach yang dipromosikan BNPT, atau moderasi beragama yang digaungkan Kemenag, memerlukan penyegaran dan kontekstualisasi. Ini niscaya.

Namun pada saat yang sama, diperlukan kajian lanjutan tentang topik pendidikan dan radikalisme. Faktanya, radikalisme ogah-ogahan itu tidak dijumpai dalam lembaga pendidikan yang dikelola sebagian eks-napiter. Abdullah Sonata alias Abu Hamzah, Suherman alias Abu Jauhar, Abu Umar, dkk, yang tengah merintis lembaga-lembaga pendidikan non-formal sebagai wadah kaderisasi teroris masa depan, tak dapat disebut sebagai radikalis ogah-ogahan.

Bahwa diskursus radikalisme perlu dikembalikan ke ruang akademik, itu adalah tawaran yang sangat bagus. Untuk itu, penanganan alternatif radikalisme harus bergerak dua kaki. Akademisi seperti Prof Mun’im dan praktisi seperti stakeholder arus utama perlu berkolaborasi secara intensif. Seiring dengan temuan terkini bahwa para radikalis melakukan transformasi gerakan, kontra-radikalisme juga mesti demikian. Penanganan radikalisme mesti lebih integratif.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru