32.7 C
Jakarta

Puasa, Radikalisme dan Covid-19

Artikel Trending

KhazanahPuasa, Radikalisme dan Covid-19
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Momentum puasa ramadhan di tengah upaya memutus rantai penyebaran pandemi wabah Covid-19 dan kebijakan pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini sejatinya harus menjadi kawah candradimuka (madrasah ruhaniyah) yang dapat melahirkan peradaban Islam Nusantara berbasis keimanan yang kukuh dan tidak menciderai fitrah kemanusiaan. Tidak lupa, radikalisme yang juga butuh pengendalian dengan ibadah puasa.

Bukan malah giat melakukan perbuatan tak terpuji, kotor, lalim, berdosa, tindakan ancaman, sweeping, kekerasan, radikalisme, menyebarluaskan kebencian dan ajakan makar terhadap pemerintah yang sah. Kelompok mereka tergolong anti kebijakan pemerintah, yang seharusnya mereka taat malah membangkang.

Transformasi Diri Mengendalikan Radikalisme

Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) Prof. Siti Musdah Mulia menjelaskan puasa adalah bentuk mekanisme diri seperti vaksin untuk memperbaiki (mensucikan) diri. Sejatinya, tidak banyak puasa yang berhasil dilakukan manusia, karena kebanyakan manusia memaknai puasa itu hanya sekadar memindahkan jam makan yang tidak berdampak apa-apa dalam diri manusia.

Dalam konteks deradikalisasi, inti dari puasa itu upaya mentransformasikan diri dari pemahaman yang radikal menjadi santun, toleran, dan menghormati orang lain. Menurutnya, puasa itu sepenuhnya adalah upaya untuk perenungan (merenungkan) kembali keberadaan mengenai kita sebagai manusia. Untuk itu, Idul Fitri dimaknai sebagai kembali kepada kesucian diri seperti ketika kita baru diciptakan oleh sang pencipta. Karena salah satu fitrah manusia itu adalah tidak radikal.

Dengan puasa, dalam kehidupan kita ini, bahwa sepanjang tahun bagaimana manusia itu bisa bersih. Tuhan itu maha adil, yang menciptakan satu bulan khusus yang namanya bulan Ramadhan untuk kita sebagai wujud untuk membenahi, memperbaiki, merenungkan kehidupan selama 11 bulan lalu. Oleh karena itu, bulan Ramadhan sebagai upaya untuk mensucikan diri yang maknanya akan dapat dilihat oleh manusia itu sendiri pada 11 bulan berikutnya.

Jadi kalau ada manusia setelah Ramadhan kembali seperti biasa, berarti puasanya tidak memberikan makna dalam hidupnya. Padahal, dengan melihat 11 bulan mendatang itulah yang akan menentukan kualitas puasa kita. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Umar Ibn Khaththab r.a., “Banyak orang berpuasa, tetapi dari puasanya ia tidak mendapatkan sesuatu, kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Puasa itu tidak hanya sekadar menahan makan dan minum, sekadar menahan yang sifatnya material. Namun, puasa itu bagaimana menahan diri, memuasakan pikiran dari pemikiran negatif, memuasakan syahwat, memuasakan perbuatan. Dengan berpuasa selama sebulan itu diharapkan bisa berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. (Berita Satu, Kamis, 22 Juni 2017 | 15:01)

Waspadai Aksi Paham Radikal

Apalagi kondisi puasa Ramadhan tahun ini terjadi di tengah proses upaya pencegahan wabah Covid-19. Masyarakat diminta tetap waspada dengan aksi radikalisme dan terorisme. Ini yang disampaikan oleh Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jawa Timur dan mantan Narapidana Teroris (Napiter) Dr. Hesti Armiwulan S.H, M. Hum, saat Talkshow Interaktif bertajuk “Mencegah Radikalisme Berkembang di Tengah Wabah Pandemi Covid-19” di Surabaya, Rabu (22/04/2020)

Mestinya masyarakat semakin bijaksana dan fokus atas penanganan Covid-19. Jangan terjebak pada isu yang mematik sikap intoleransi, karena sikap intoleransi ini merupakan awal munculnya radikalisme. Salah satu bentuk intoleransi biasanya diarahkan pada sikap anti terhadap pemerintah.

Peneliti senior Badan Litbang Kementerian Agama Dr. Abdul Jamil Wahab menegaskan kesibukan bangsa menangani Covid-19 sangat berpotensi dijadikan peluang bagi gerakan radikalisme membangun dan memperkuat sentimen negatif, ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Karena kaum radikal berpotensi menebar berita-berita hoaks terkait kegagalan negara dalam penanganan virus ini.

Saat ini masyarakat, unsur pemerintah, media harus bersatu dan bekerja bersama menangani ancaman penyebaran Covid-19 dan segala dampaknya. Mengingat motif gerakan terorisme adalah keagamaan dan balas dendam. Mereka akan terus berjuang sampai sistem Khilafah Islamiyah berhasil mereka berlakukan di Indonesia. Misalnya, kasus terorisme di Tambora, Jakarta Barat, penangkapan berawal dari kesigapan masyarakat.

Meskipun ada yang dilematis dalam melawan gerakan ini, karena kelompok radikalisme, terorisme terus bergerak mengikuti perkembangan zaman dan teknologi dalam berkomunikasi, sehingga melahirkan kelompok-kelompok baru, untuk regenerasi dan memperbanyak komunitas.

Salah satunya melalui media sosial untuk melakukan transformasi paham radikalisme. Dalam masa pandemi Covid-19 ini kewaspadaan harus dilanjutkan melalui narasi-narasi keagamaan yang bersifat mencerahkan dan membantu masyarakat.

BACA JUGA  Ini Jihad Efektif untuk Mengentaskan Radikalisme Era Disrupsi

Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan menegaskan adanya pandemi Covid-19 ini bagi kaum radikal justru menjadi sasaran empuk mereka untuk memojokkan pemerintah yang gagal dalam memberikan rasa aman terhadap masyarakat.

Tujuannya agar warga negara tidak percaya lagi kepada pemerintah dengan dalih penanganan covid-19 ini salah karena negara tidak menganut sistem khilafah. Banyak kebijakan Pemerintah yang dinilai tidak memihak Islam, seperti tidak boleh jumatan dan tarawih. Padahal, itu semua dilakukan sebagai bentuk pencegahan penyebaran Covid-19.

Saat ini, hampir 80 persen kelompok radikal menguasai penggunaan media sosial untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, termasuk penanganan Covid-19 agar menimbulkan rasa ketidaknamyanan publik terhadap pemerintah.

Pengamat Terorisme dari UI, Aisha Kusumasomantri mengatakan, pemerintah Indonesia mengalokasikan segala sumber daya untuk menangani Covid-19, dan kelompok radikal terus memantau untuk mengkitisi kinerja Pemerintah dengan sentimen negatif.

Kebijakan PSBB dibenturkan dengan kewajiban beribadah dan sistem Khilafah. Ini berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan warganegara kepada Pemerintah. Meskipun ada pandemi ini, bahaya radikalisme tidak hilang, karena mereka tidak melakukan pertemuan-pertemuan tradisional, tetapi komunikasi tetap berlangsung melalui media sosial.

Peniadaan bentuk-bentuk kegiatan ibadah di mesjid dan hanya boleh dilakukan di rumah merupakan bentuk represi terhadap umat Islam. Padahal, pemerintah memberlakukan pembatasan itu dalam rangka memutus mata rantai pencegahan penyebaran wabah Covid-19.

Secara khusus pandemi Covid-19 cenderung mempengaruhi pertahanan negara, seperti alutsista yang dipakai untuk penyemprotan disinfektan. Dalam negara demokrasi kita tidak bisa mengontrol media. Perkembangan teknologi informasi berdampak pada masyarakat dalam menggunakan sosial media. Kita masuk dalam paradox of the plenty. Semakin banyak informasi yang kita terima, semakin kita bingung mana informasi yang bisa dipercaya.

Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal. Mereka bisa menyebarkan ketakutan di masyarakat, dalam bentuk apapun. (Berita Satu, Rabu, 22 April 2020 | 22:50)

Hikmah Puasa

Umat Islam menyakini orang yang berpuasa tidak boleh mempunyai pikiran jahat. Orang berpuasa harus menjaga hati dari sifat dengki, hasud, benci tanpa alasan yang dibenarkan syari dan dendam; menatap mata dari pandangan yang dilarang oleh agama.

Seperti pertunjukan yang merangsang hawa nafsu; menjaga lidah dari perbuatan yang jorok, gibah, tidak mengadu domba (namimah). Jadi pada hakikatnya puasa sebagimana tersirat dalam makna kata dasar ash-shiyam, pengendalian diri (self control).

Ingat, menahan diri menjadi inti ajaran puasa, ternyata merupakan masalah mendasar dan klasik dalam problematik kemanusiaan secara umum, bahkan pada zaman modern sekalipun. Masalah ketidakmampuan menahan diri, sebagaimana diilustrasikan al-Quran, juga menjadi titik permulaan terjadinya Drama Kosmis (Kejatuhan Manusia) dari surga ke bumi ini.

Dalam idiom al-Quran disebut drama al-hubûth dan dalam bahasa Inggris disebut doctrine of fall. Nabi Adam dan Hawa, sebagai simbol nenek moyang manusia, terbukti tidak mampu menahan dan mengendalikan dirinya dari godaan setan sehingga akhirnya mereka digelincirkan ke dalam perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt.
Sumber segala potensi yang mendorong manusia melakukan pelanggaran adalah godaan berupa makan, minum, dan seks. Ketiga masalah itu disimbolisasikan dalam ajaran berpuasa sebagai hal-hal yang harus ditahan atau dinyatakan dapat membatalkan puasa, sebagaimana sudah menjadi kesepakatan para ulama fiqih.

Pada kenyataannya, hampir seluruh masalah kemanusiaan yang ada sekarang pun terjadi akibat ketidakmampuan manusia menahan diri dari ketiga godaan tersebut. Sumber lain, kalau kita mau telusuri, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat yang memerintahkan berpuasa, adalah ketidakmampuan manusia menahan diri dari dorongan dan godaan harta.

Itulah sebabnya, barangkali, masalah puasa dikatakan sebagai masalah, gerakan back to basic. Sebab ini menyangkut masalah menahan dan mengendalikan diri dari potensi-potensi yang akan dapat menggelincirkan manusia pada kejatuhan moral dan spiritual. (Ensiklopedi Nurcholish Madjid Jilid III, 2006:2780-2781)

Dengan demikian, puasa Ramadhan merupakan refleksi untuk menghidupkan nilai-nilai moral, etik, menjunjung tinggi segala perbedaan. Bila kita kuat memaknai puasa ramadhan sebagai wahana mengendalikan diri dari segala bentuk angkara murka, nafsu, keinginan niscaya tidak akan ada lagi upaya menertibkan keyakinan orang lain yang tidak (menjalankan) puasa karena perbedaan kebudayaan dan keagamaan. Disinilah pentingnya puasa sebagai bagian dari jihad untuk menahan segala bentuk perilaku radikal.

Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie
Ayah dari 2 anak (Fathia dan Faraz) yang tinggal di Cibiru Bandung, dapat disapa lewat twitter @ibn_ghifarie instagram @ibnghifarie

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru