31.3 C
Jakarta

Puasa, Kecerdasan Emosi, dan Spiritual

Artikel Trending

KhazanahOpiniPuasa, Kecerdasan Emosi, dan Spiritual
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Salah satu fenomena yang kini menonjol di kalangan elite sosial politik dan ekonomi adalah sikap-sikap yang bertentangan dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Misalnya sikap yang tak mau berbagi kekuasaan dengan membungkam kritisisme publik, tidak menegakkan prinsip meritokrasi dengan tidak mengakomodir kelompok yang berbeda, kepada yang berprestasi sekalipun, tidak memberi ruang bagi  kebebasan akademik dan mimbar.

Bahkan, dengan  memenjarakan atau berupaya memenjarakan orang-orang yang menyampaikan kritik, kritik yang berdasarkan  hasil riset sekalipun. Juga sikap elite publik yang main kuasa dengan menyelewengkan kekuasaan melalui korupsi, baik di kelembagaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Lalu hasil korupsinya dipamerkan oleh istri atau anaknya yang membuatnya diusut. Ada juga sikap pejabat publik yang mempermainkan hukum, tidak melakukan law enforcement.

Indonesia pun kini indeks demokrasinya menurun, antara lain karena menurunnya kebebasan sipil dan juga mengguritanya praktik demokrasi minus integritas, terutama politik uang. Sebagian elite ekonomi yang menjadi bagian dari oligarki kekuasaan juga melakukan upaya penimbunan demi memotong distribusi dan hilangnya nasionalisme dengan mendahulukan ekspor, karena tindakan dua hal itu lebih menguntungkan. Fenomena kelangkaan minyak goreng yang sempat terjadi belum lama ini memperlihatkan asumsi itu.

Istilah kecerdasan emosional dimunculkan pertama kali oleh Daniel Goleman dan kecerdasan spiritual dimunculkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshal. Dua kecerdasan ini pun mengubah cara pandang banyak orang, bahwa kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan kecerdasan intelegensia saja, tetapi dua kecerdasan itu. Kecerdasan emosional adalah kecerdasan mengelola emosi/perasaan, kecerdasan mengendalikan hati, baik di saat sukses maupun gagal.

Umumnya orang, di saat sukses sering tidak empati, yang dipentingkannya adalah  untung dan selamat sendiri, juga bersikap sombong.  Mereka tidak mengakui peran orang lain, orang tua dan Tuhannya sekalipun,  baik disadari atau tidak. Mereka tak mau berbagi kekuasaan dan ekonomi, dan melakukan penyelewengan kekuasaan.

Sedangkan di saat gagal sebaliknya, tidak punya lagi harapan, semangat dan ketekunan, dan tidak memandang kegagalan adalah proses belajar. Fokusnya adalah  menyalahkan orang lain. Maka, puncaknya, bunuh diri menjadi pilihan.

Sementara kecerdasan spiritual adalah kecerdasan dalam menjalani hidup sebagai panggilan spiritual, dimana jiwanyalah yang memimpin badannya, bukan sebaliknya. Secara sederhana, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan menjalani hidup dengan menjadi “anak-anak” Allah dalam arti spiritual, bukan fisik, yang dalam Islam dikenal dengan istilah menjadi “hamba-hamba”-Nya.

Maka, kadang mereka mendahulukan kebahagiaan spiritual ketimbang material, bahkan acapkali mengambil jalan terjal yang ideal/inovatif, demi tuntutan spiritualnya yang kuat yang menguasai hatinya.

Kecerdasan yang Ditekankan Puasa

Secara harfiah, tujuan puasa yang disebut dalam al-Qur’an (QS. 2: 185)  yang paling puncak adalah agar orang-orang yang beriman yang  melakukannya bisa menjadi seorang yang bersyukur sebagai bagian dari kecerdasan emosional yang tidak mudah dilakukan.

Yang menarik, tujuan agar manusia pelaku puasa bisa bersyukur itu disebut  setelah tujuan puasa agar para pelakunya bisa menjadi seorang yang bertakwa (berintegritas [QS. 2: 184]) dan mampu membesarkan Allah (mengecilkan di luar Allah).

Agaknya, tujuan bisa bersyukur ini ditekankan sekali dalam puasa, karena, sebagaimana disebut al-Qur’an juga, manusia yang bisa  bersyukur di dunia jumlahnya tudak banyak. Problem umumnya manusia adalah kufur nikmat, mengingkari nikmat yang Allah berikan, yang membuatnya kehilangan nikmat lainnya.

Yang penting untuk disebutkan adalah, dalam perspektif puasa, umumnya orang sadar akan besarnya nikmat/anugerah yang diberikan Tuhan, setelah merasa kehilangan seperti kehilangan  air minum dan makanan saat berpuasa. Salah satunya kerena umumnya orang erlalu fokus pada barang mewah yang tak dimilikinya. Semacam adanya sindrom “rumput di depan rumah tetngaga terasa lebih hijau”.

Maka, saat berpuasa segelas air/sebotol terkecil Aqua pun menjadi berharga, apalagi menjelang berbuka puasa. Umumnya, manusia tidak merasa senang/cukup dengan nikmat yang Allah berikan, padahal hidup yang dikeluhkannya boleh jadi adalah hidup yang didambakan orang yang tak meraihnya.

Maka, kemudian, bunuh diri bukan hanya milik orang miskin,  tetapi juga orang kaya dan pejabat yang kufur nikmat. Seolah puasa memproklamirkan, bahwa cara pandang terhadap nikmat/capaian sajalah yang menentukan seorang bisa bersyukur atau tidak, bukan banyak tidaknya apa yang diraih.

Lagi pula, dalam puasa, yang ditekankan bukanlah capaian material/duniawi yang didambakan mayoritas manusia, seperti disimbolkan makan, minum dan seks, melainkan capaian spiritual. Misalnya kualitas puasa, ibadah spiritual lainnya, dan kedekatan dengan Allah seperti di simbolkan lailatul qadar.

Karenanya, kehilangan hal-hal duniawiah idealnya tak harus membuat manusia di dunia  berputus asa. Lagi pula, yang punya kuasa tertinggi atas anugerah adalah Allah. Karenanya, yang patut dibesarkan adalah Allah, dengan tidak menganggap selain Allah seperti harta, tahta, dan cinta sebagai tujuan terbesar dalam hidup. Karenanya, kehilangan atau tidak mencapainya tidak layak membuat manusia bersedih atau berputus asa.

BACA JUGA  Idulfitri dan Iptek

Atau tidak layak juga tiga hal itu membuat manusia kalap, dengan menumpuk kekuasaan di tangan dirinya. Apalagi, hingga tidak memberi ruang bagi kebebasan sipil, bagi mereka yang berbeda,  atau melakukan tindakan penimbunan atau mendahulukan mengekspornya demi keuntungan seperti dalam kasus kelangkaan  minyak goreng di atas misalnya. Juga dengan menimbun harta dengan jalan yang tidak dibenarkan seperti lewat korupsi dan kemudian memarerkannya.

Maka, sejalan dengan sikap senang atas apa pun anugerah yang diberikan Allah itu, maka puasa menekankan agar semua anugerah material/dunia digunakan untuk kepentingan beribadah. Hanya alat/media untuk ibadah. Jangan sampai saat ke mal mengenakan baju termahal/bermerek, tetapi saat beribadah ke masjid sebaliknya.

Sejalan dengan sikap syukur juga, maka puasa pun menekankan sikap berbagi anugerah/nikmat dengan berzakat di akhir Ramadhan dan bersedekah makanan untul otrang lain berbuka yang pahalanya mendapat pahala sebagaimana pahal pusa orang yang diberi berbuka. Yang sebanding dengan bersedekah juga adalah sikap berbagi kekuasaan dan ruang publik.

Yang ditekankan puasa juga adalah sikap sabar, sebagai kecerdasan emosional lainnya. Menurut Imam al-Ghazali, puasa adalah setengah dari kesabaran. Dan itu sesuai hadis Nabi,  jika seorang dimarahi orang lain atau diajak duel, maka jawaban orang berpuasa adalah: “mohon maaf, saya sedang berpuasa” yang mengharuskan sabar.

Sabar yang ditekankan puasa pun bukan hanya sabar saat mendapat musibah, karena berpuasa adalah tindakan menyakitkan badan, melainkan juga sabar dalam menjalankan ibadah dalam pengertin luas.

Misalnya berpuasa (dalam arti luas, menahan rasa sakit/tekun) saat meningkatkan peradaban ummat seperti melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga pemberdayaaan ekonomi ummat, bekerja dan belajar. Berpuasa tidak hanya berpuasa biologis, melainkan juga terutama menahan diri dari nafsu, termasuk sikap bermalas-malasan mengikuti ajakan jasmani.

Selain kecerdasan emosional, yang ditekankan puasa juga adalah kecerdasan spiritual. Alasannya, karena tujuan puasa juga sebagaimana disebut QS 2; 184-185 adalah agar orang-orang yang beriman yang  melakukannya bisa menjadi seorang yang bertakwa (berintegritas) dan  membesarkan Allah (mengecilkan hal-hal di luar Allah).  Puasa Ramadhan adalah kontrak antara pelakunya dengan Allah, dimana ia telah menjadi hamba-Nya.

Seorang yang sudah berniat untuk berpuasa, saat sendirian di siang hari, tentu tidak akan makan dan minum, juga berhubungan badan dengan istri, meski tidak ada orang lain yang melihat. Hal itu  karena orang yang berniat berpuasa pada intinya melakukan kontrak dengan Allah, dimana ia akan menghindari makan, minum, dan seks hanya karena-Nya. Ia pun merasa diawasi Allah.

Ini tentu simbolik, dimana diharapkan mereka yang telah bisa meninggalkan yang halal selama Ramdahan karena Allah semata, pasca Ramadhan selama sebelas bulan, mereka harus bisa menghindari dari yang haram karena telah bisa menjadi hamba Allah selama sebulan. Dengan tidak menjarah uang negara lewat korupsi misalnya.

Jika tidak seperti itu, sebagaimana yang tampak dari prilaku para koruptor dan sikap main kuasa, maka puasa yang dilakukan seorang Muslim menjadi tidak berarti, tidak bernilai. Artinya tidak mencapai derajat takwa dan sikap membesarkan Allah, zat spiritual. Mereka hanya sampai pada agama luar (puasa jasmaniah yang hanya menahaan haus, lapar, dan seks saja).

Tidak sampai pada agama bagian dalam, yang menekankan spiritualitas seperti dalam puasa, dimana hal-hal material harusnya tidak lebih penting ketimbang hal-hal spitualitas. Dengan puasa, manusia bukan berarti harus menjadi makhluk spiritual sepenuhnya (bersikap asketik murni/absolut), tetapi dikembalikan menjadi manusia yang punya dan butuh materi, tetapi dengan ruhani sebagai pimpinannya (berkecerdasan spiritual).

Idulfitri di ujung puasa pun identik dengan kemenangan ruhani atas jasmani/materi, dimana manusia tidak menjadi budak materi, tetapai menjadi makhluk materi dengan menjadi hamba Allah, meski kadang realitas sebagain umat Islam sebaliknya. Puasa fisik itulah yang disebut dalam hadis bahwa banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa, kecuali lapar dan haus saja. Dan puasa seperti ini tidak dibutuhkan Allah.

Puasa yang sesungguhnya adalah puasa yang dibarengi tindakan menghindari dari yang haram, baik saat puasa, maupun sebelas bulan setelahnya. Itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan (Idulfitri di ujung puasa) yang puasanya diterima Allah.  Dalam hal ini, puasa hampir sama dengan berkorban pada bulan haji, dimana yang sampai kepada Allah bukanlah daging dan darah hewan korbannya, melainkan sikap takwa (religiusitas [kecerdasan spirtual]) para pelakunya. Wallah a’lam.

Prof. Sukron Kamil
Prof. Sukron Kamil
Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru