32.1 C
Jakarta

Potret Pilu Sayembara Literasi Abal-abal

Artikel Trending

KhazanahLiterasiPotret Pilu Sayembara Literasi Abal-abal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa waktu yang lalu, ramai soal adanya lomba literasi (pantun, quotes, puisi, cerpen) yang diduga abal-abal oleh seorang kawan di suatu grup WhatsApp. Saya menduga, dugaan seorang kawan tersebut tak lepas dari iming-iming hadiah menjanjikan yang terpampang di poster.

Narasi yang tertera di poster, nyaris tak ada yang logis.  Besarnya nominal hadiah yang ditawarkan cukup menggiurkan. Juara harapan saja berkisar di angka lima ratus ribu rupiah untuk harapan 3 dan satu juta rupiah untuk harapan 1. Jangan ditanya soal juara 1,2,3 berapa, yang pasti, berada di angka yang cukup fantastis.

Bukan cuma sekali instansi bersangkutan menyelenggarakan lomba literasi dengan hadiah yang cukup menggiurkan. Lebih dari itu. Terdapat kejanggalan-kejanggalan yang akhirnya memunculkan kecurigaan.

Mulai dari jarak antara batas akhir pengiriman ke pengumuman lomba yang cuma berjarak 3 hari, juri yang tidak ditampilkan, hingga kecurigaan-kecurigaan lainnya. Syahdan, karena lomba itu gratis, salah seorang kawan yang lain mencoba memberanikan diri untuk mendaftar.

Alhasil, setelah bergabung ke grup WhatssApp peserta lomba,  ia kemudian berani untuk menyatakan sikap, bahwa terdapat adanya indikasi penipuan di sana. Panitia penyelenggara tidak mengumumkan adanya pemenang juara dalam lomba pantun. “Semoga panitia berani umumkan adanya juara dalam lomba quotes, puisi, dan cerpen dalam waktu dua hingga tiga hari ke depan”. Ujar kawan saya itu.

Ironi

Fenomena di atas bukan hanya sekali dua kali terjadi dalam dunia literasi kita. Berbagai motif beserta iming-iming dibikin hanya untuk kepentingan materi pribadi oleh oknum tertentu.

Seperti halnya iklan yang memiliki daya tawar yang tinggi, bagi mereka yang tidak selektif tentu akan tertarik untuk mendaftar, bahkan rela mengeluarkan dana jika memang dipungut biaya. Di titik inilah antusiasme dan atensi yang tinggi terhadap pemartabatan etos literasi perlu diiringi sikap kritis yang tinggi pula dalam membaca tiap agenda-agenda literasi, termasuk dalam hal ini lomba misalnya.

Adanya kompetisi literasi menjadi angin segar yang patut kita apresiasi. Ia setidaknya jadi salah satu gerbang pembuka bagi pemajuan gairah berliterasi. Itulah dasarnya, sehingga memunculkan berbagai kompetisi literasi dari berbagai jenjang. Seperti adanya kategorisasi Umum dan Khusus.

Di tingkat kategori Umum, misalnya, semua masyarakat boleh turut serta berpartisipasi. Bahkan kalangan sastrawan atau penulis yang sudah berpengalaman pun akan tertarik mendaftarkan diri. Apalagi bagi mereka yang hendak belajar memulai segalanya berproses kreatif, ada energi kreatif yang mesti tersalurkan dengan baik.

Dalam konteks berproses kreatif, tedapat banyak aspek pendukung yang dapat kita jumpai. Mulai dari terlibat dalam suatu komunitas literasi, menjaring relasi dengan sastrawan maupun penulis lain, aktif dalam suatu forum simposium literasi, serta  berbagai agenda literasi lainnya.

Sedangkan perlombaan literasi merupakan salah satu tolok ukur untuk mengetahui sejauh mana kompetensi menulis kita teruji. Dengan kata lain, selain publikasi, ajang perlombaan juga menjadi salah satu kulminasi dari keseluruhan berproses kreatif yang ditunggu-tunggu momentumnya.

Seperti momentum gelaran Piala HB Jassin yang rutin diadakan tiap tahun, Sayembara Manuskrip Dewan Kesenian Jakarta, Kusala Sastrawa Khatulistiwa, hingga berbagai festival bergengsi lainnya. Atensi penulis dari berbagai penjuru tanah air yang antusias berpartisipasi dalam berbagai festival di atas patut diacungi jempol.

BACA JUGA  Telaah Literasi Kita: Indonesia Darurat Membaca?

Ini menandakan bahwa arena kreativitas tak akan pernah padam. Tak perlu khawatir soal regenerasi sastrawan maupun penulis di masa yang akan datang. Sebab kita punya iklim kompetitif yang konstruktif.

Dalam tiap tahunnya, upaya pemartabatan kerja-kerja literasi selalu gencar dilakukan oleh berbagai instansi kebudayaan dan kesenian. Baik di tingkat nasional maupun lokal selalu ada penulis baru yang muncul ke permukaan.

Di sinilah biasanya, keterlibatan mereka turut dalam sayembara literasi pamrih legitimasi jati diri, bahwa untuk diakui sebagai seorang penulis, menjuarai suatu sayembara adalah hal yang mesti ditempuh, tentunya selain menerbitkan buku atau menulis di suatu media tertentu.

Fakta sosial di atas tentu menjadi angin segar bagi kita di satu sisi, juga menjadi sebuah ironi di sisi yang lain. Di tengah antusiasme para penulis kita dalam berproses kreatif, selalu ada obsesi dari oknum tak bertanggung jawab dalam memanfaatkan situasi.

Di tengah maraknya sayembara bergengsi, yang barangkali, tidak bisa dijangkau semua kalangan, termasuk para penulis pemula, oknum-oknum tersebut berupaya mengelabui ceruk paling dalam kesadaran penulis kita dengan hadiah yang menjanjikan. Fenomena patologis semacam ini tidak bisa dibiarkan berlalu larut begitu saja.

Perlu upaya preventif untuk mengatasi persoalan semacam itu. Seperti kejelian dalam membaca setiap poster yang beredar. Mulai dari narasi, persyaratan, hingga besaran nominal hadiah yang ditawarkan.

Tidak ada salahnya mengkritisi isi poster. Bahkan, berdiskusi dengan seorang kawan jika memang diperlukan. Hal ini penting dilakukan agar kita memiliki daya filterisasi yang baik saat harus dipertemukan dengan kenyataan destruktif dalam dinamika berliterasi kita.

Daya filtrasi yang baik bertujuan untuk menyaring dengan bijak segala tetek-bengek yang berkelindan dengan penyelenggaraan lomba. Seperti memunculkan pertanyaan soal dari mana datangnya poster sayembara itu, siapa yang menyelenggarakan, hingga pertanyaan krusial lainnya. Jika poster sayembara datang dari suatu instansi tidak resmi atau tidak jelas statusnya, maka tidak ada salahnya bersikap tak acuh.

Selain itu, dibutuhkan kerjasama dari berbagai penyelenggara literasi untuk mengedukasi masyarakat luas tentang pentingnya menyikapi hal seperti ini. Mulai dari pemangku Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang berbasis di berbagai daerha dan komunitas literasi yang menaruh perhatian besar terhadap kondisi literasi kita hari ini.

Melalui edukasi pentingnya menjaga kekritisan diharapkan dapat memantik pentingnya berpikir sebelum bertindak dalam menyikapi tiap agenda sayembara literasi yang beredar.

Sebab, kita tahu laku menulis adalah proses humanisasi. Di dalamnya, kerja intelektual dan spirit kreativitas menyatu memaknai sekaligus mengimajinasikan sebuah realitas. Sebuah upaya menjadikan manusia seutuhnya.

Adanya fenomena patologis sayembara literasi abal-abal seakan berupaya menjegal itu semua. Tidak hanya soal pembajakan buku dan fenomena plagiasi, sayembara literasi abal-abal juga perlu menjadi atensi bersama. Jangan sampai dunia literasi kita dijadikan ajang komersialisasi oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab berdalih pemartabatan literasi. Semoga tidak.

Muhammad Ghufron
Muhammad Ghufron
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bergiat di Jurnal Moderasi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Komunitas Lensa Sosio-Agama. Tinggal di Bantul, DI Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru