27.8 C
Jakarta

Implementasi Kebijakan Kontrol Rumah Ibadah: Antara Kendala dan Tantangan

Artikel Trending

Milenial IslamImplementasi Kebijakan Kontrol Rumah Ibadah: Antara Kendala dan Tantangan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Usulan Kepala BNPT Rycko Amelza tentang mekanisme kontrol rumah ibadah menuai pro-kontra di masyarakat. Tanggapan datang dari sejumlah pihak, mulai dari MUI, DPR, hingga pihak gereja. Karena kontroversial, Kepala BNPT kemudian mengklarifikasi bahwa awalnya ia mendengar informasi perihal rumah ibadah milik Pertamina yang menyiarkan ceramah radikal, meliputi penyebaran kebencian dan pengajaran kekerasan.

Kepala BNPT lalu menyikapi informasi tersebut dengan membandingkan kegiatan ceramah keagamaan di negara-negara lain yang pernah ia datangi: proses mendirikan rumah ibadah hingga isi ceramah diawasi ketat di negara lain yang, alhasil, mereka mampu mempersempit ruang gerak penyebaran paham radikal. Terinspirasi dari itu, ia mengusulkan di Indonesia agar juga dilakukan hal serupa untuk meminimalisir radikalisasi.

“Nah oleh karena itu saya menawarkan, kita perlu memikirkan kata-kata ini. Kita perlu memikirkan suatu mekanisme kontrol terhadap rumah ibadah, utamanya masjid yang digunakan untuk penyebaran paham radikal, di mana simbol-simbol atribut agama Islam dengan keberagamannya itu dimanfaatkan untuk menyebarkan rasa kebencian atas nama demokrasi,” jelas eks-Kepala Lemdiklat Polri, dilansir Detik.

Sebenarnya, kontrol rumah ibadah sebagai strategi antisipasi radikalisasi agama telah menjadi topik diskusi kontroversial di seluruh dunia. Dalam upaya menjaga keamanan nasional dan mencegah tumbuhnya ekstremisme, banyak negara telah mempertimbangkan atau bahkan mengimplementasikan kebijakan yang memantau dan mengawasi aktivitas di rumah-rumah ibadah. Namun, kendala dan tantangannya sangat besar.

Artinya, Indonesia bukan satu-satunya negara yang terkendala dalam strategi kontra-radikalisasi. Pada saat yang sama, pemanfaatan rumah ibadah sebagai sarana indoktrinasi radikalisme hingga terorisme merupakan fakta yang tidak terbantahkan, yang kemudian meniscayakan implementasi kebijakan tersebut. Karena itu, kendala dan tantangan yang menyelimuti rencana kontrol rumah ibadah menarik untuk ditelaah bersama.

Kendala-kendala Kita

Adalah tidak mudah untuk mengubah kebiasaan masyarakat secara frontal. Menerapkan kebijakan kontrol rumah ibadah tidak akan pernah semudah membalik telapak tangan. Namun demikian, rumah ibadah juga tidak dapat dibiarkan begitu saja karena akan melahirkan ancaman besar. Para radikalis dan teroris tengah giat melakukan kajian aktif mereka melalui rumah ibadah. Ini yang mula-mula perlu disadari.

Hak kebebasan beragama boleh jadi merupakan kendala utama. Sebab, upaya untuk mengontrol rumah ibadah kerap dipandang sebagai pelanggaran HAM: kebebasan beragama. Kendala ini lantas menciptakan konflik keamanan nasional dan hak individu. Sebagai contoh, protes keras umat beragama hingga bentrokan dengan aparat merupakan sesuatu yang perlu dipertimbangkan dengan cermat.

Kendala kebebasan tadi kemudian beruntun pada kendala lain, yaitu potensi diskriminasi. Implementasi kontrol rumah ibadah bertendensi pada potensi diskriminasi kelompok agama tertentu. Ini bisa meningkatkan ketegangan antaragama dan menciptakan perasaan ketidaksetaraan di masyarakat. Misalnya, di kalangan Islam, Wahabi akan merasa terdiskriminasi. Kristen Ortodoks, di sisi lain, mengalami hal serupa.

BACA JUGA  Khilafah Bukan Sistem Terbaik dan Bukan Solusi

Apakah hanya itu kendala kita? Tentu tidak. Berbicara tentang “kontrol”, ada satu hal yang perlu dicermati, yaitu sulitnya mengidentifikasi radikalisasi itu sendiri. Menentukan apakah aktivitas di rumah ibadah laik disebut radikalisasi atau hanya ekspresi kebebasan beragama bukan perkara mudah. Ini memerlukan analisis cermat agar tidak menimbulkan chaos. Persepsi tentang radikalisasi yang subjektif menjadi sumber kendalanya.

Karena kesulitan identifikasi tersebut, kebijakan kontrol rumah ibadah akan terkendala dalam hal teknis, yakni mendapat resistansi dan ketidakpercayaan dari masyarakat dan tokoh agama. Mereka pasti merasa dicurigai atau dipantau—tidak bebas berdakwah. Ini buruk karena berakibat pada ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan aparat. Ini sudah terlihat melalui respons MUI dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

Tantangan Kebijakan

Selain kendala-kendala tersebut, kebijakan kontrol rumah ibadah juga akan memiliki sejumlah tantangan. Pengawasan yang efektif, sebagai contoh. Implementasi pengawasan efektif di rumah-rumah ibadah memerlukan sumber daya signifikan. Tantangan utamanya memastikan bahwa pengawasan tersebut tidak hanya efektif, melainkan juga tidak mengganggu praktik keagamaan yang sah.

Selain itu, kolaborasi dengan pemimpin agama, demi kesuksesan kebijakan ini, juga teramat krusial. Namun demikian, tantangannya adalah bahwa membangun relasi yang baik dan memperoleh dukungan dalam upaya mengatasi radikalisasi rentan bertabrakan dengan kepentingan tertentu. Bagaimanapun, tokoh agama akan mempertahankan pamor mereka—bebas dari tekanan pengawas yang seolah mengintimidasinya.

Tantangan penting lainnya ialah tidak mudahnya mengedukasi dan menyadarkan masyarakat. Pada konteks membuat masyarakat mengerti bahwa tujuan utama kebijakan kontrol rumah ibadah adalah mencegah ancaman radikalisme hingga terorisme, belum ada representasi otoritas tertentu yang pas untuk tugas tersebut. Dan jika pun pemerintah menunjukkan beberapa tokoh agama, hasilnya akan tetap punya tendensi ideologi tertentu.

Dengan demikian, kebijakannya juga tidak akan efektif karena dalam sejumlah komunitas, pelanggaran pasti terjadi. Ketika hukum hendak mengambil alih penertiban umat beragama, tantangannya malah merambah pada ancaman demokrasi itu sendiri. Artinya ini seolah menjadi dilema bahwa mengontrol rumah ibadah, bersamaan dengan urgensitasnya, menyimpan berbagai kendala dan tantangan yang sulit ditembus.

Kendala dan tantangan dalam mengimplementasikan kontrol rumah ibadah sebagai strategi kontra-radikalisasi, dengan demikian, sangatlah kompleks. Perlu pendekatan yang hati-hati: mempertimbangkan keseimbangan antara keamanan nasional dan hak kebebasan. Dan jika implementasi kebijakan ini benar-benar dilakukan, wajib hukumnya untuk tidak mengarah pada diskriminasi umat beragama yang justru kontras dengan nilai-nilai demokratis.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru