32.5 C
Jakarta

Pilpres 2024 dan Ketaatan Doktrinal yang Berbahaya, Lawan!

Artikel Trending

KhazanahPerspektifPilpres 2024 dan Ketaatan Doktrinal yang Berbahaya, Lawan!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebagai institusi yang berorientasi pada akhlak dan kesalehan spiritual, pesantren mampu merebut hati masyarakat. Kenyataan ini merupakan dinamika mengagumkan setelah sebelumnya pesantren dianggap sebagai pendidikan tertinggal.

Lebih-lebih, transformasi institusi ini dengan melakukan renovasi di banyak sisi, termasuk metode pembelajaran, ilmu yang diajarkan, hingga pada kolaborasi disiplin keilmuan yang minim ada (atau bahkan tidak ada) di sekolah negeri pada umumnya.

Faktor keberhasilan pesantren dapat merebut hati mayoritas masyarakat salah satunya adalah karena tradisi kepatuhan yang ada di dalamnya. Tidak hanya dalam kepatuhan pada Tuhan semesta, kepatuhan itu bisa juga dilihat dari bingkai relasi antara santri dan guru. Bahkan, inilah yang membuat peneliti asal Belanda, Karel A. Steenbrink menaruh kagum pada institusi yang sudah ada sejak era Kapitayan ini.

Bagi Karel, kultur semacam ini dilihatnya sebagai sesuatu yang mengagumkan. Ia melihat kekhusyukan yang tulus dari para santri, keindahan lantunan kalam Ilahi yang bisa ia dengar setiap hari dan malam.  Hal yang tidak bisa dia saksikan di tempat lain. Di satu sisi, Karel juga memuji interaksi sosial guru dan santri di dalamnya. Kepatuhan santri terhadap gurunya berdasar kepada hubungan emosional, sebagaimana relasi anak dan orang tua.

Kepatuhan santri terhadap guru dari sisi pendidikan moral memang perlu ada, dan akan lebih baik jika aspek ini diadopsi oleh murid dari institusi pendidikan lain, sehingga problematika seperti kenakalan remaja, tindakan diskriminasi terhadap guru tidak terjadi. Hal ini tentu memerlukan kesadaran kolektif dari banyak pihak. 

Namun, sebagai sikap skeptis atas realita kepatuhan yang ada di pesantren, Badrut Tamam dalam bukunya ‘Pesantren, Nalar, dan Tradisi’ menyinggung persoalan ini. Kultur kepatuhan di pesantren—menurut Badrut—seringkali dilandaskan kepada proses penggabungan dua aspek; yakni antara ketaatan doktrinal dan kesadaran mitologis. Sehingga, bukannya mengedepankan kesadaran moral dan emosional, banyak corak kepatuhan di pesantren bersifat normatif.

Maknanya, banyak santri tunduk dan patuh hanya karena ada perangkat peraturan pondok pesantren. Yang melanggar akan mendapat hukuman, yang berani tidak mematuhi akan mendapatkan sanksi yang setimpal, dan lain-lain. Kekangan seperti ini yang akhirnya membuat santri, mau tidak mau, harus tunduk.

Di sisi lain, kesadaran mitologis juga berperan. Konstruk pemikiran dengan seperangkat kepercayaan yang magis dan glorifikasi berlebihan terhadap sosok guru akan mempengaruhi kepatuhan seorang santri. Wacana mitologis tersebut akan menempatkan seorang guru seolah sama dengan Tuhan atau Nabi. Sebagaimana paradigma ‘kualat’ tertanam dalam diri kita.

Nah, hal tersebut terus berkelanjutan. Akhirnya, nalar kritis potensial santri selalu mendapat tekanan. Nalar kritis mereka akan sering dihantui dengan paradigma ‘kualat’ seperti yang saya jelaskan sebelumnya, mereka harus tunduk dan patuh, mengikuti semua perintah tanpa kritik. Sebab, melakukan sesuatu yang berseberangan atau melakukan kritik atas kiai akan dicap sebagai perilaku buruk.

BACA JUGA  Golput Bukan Solusi untuk Demokrasi NKRI, Hindari!

Lebih naif, hal demikian justru dijadikan potensi yang menggiurkan untuk melancarkan kepentingan tertentu. Keadaan seperti inilah yang membuat kultur kepatuhan di pesantren mengalami dekadensi dan mengakibatkan negasi negatif.

Objek Kepentingan 

Ketika nalar krisis santri terjebak dalam ketaatan doktrinal tersebut, ditambah anggapan ‘suci’ dan paradigma ‘kualat’ yang seolah terus memberi glorifikasi terhadap kiai secara mutlak, sebagai konsekuensi negatif, hal tersebut rawan disalahgunakan. Tentu saya tidak menyebut semua, namun saya berani mengatakan tidak sedikit hal ini terjadi di sekitar kita.

Kekejian seksualitas yang terjadi di pesantren mungkin saja menjadi salah satu contoh untuk bisa melegitimasi anggapan saya di atas, bahwa ketaatan doktrinal bisa berubah menjadi sistem suci yang diperalat. 

Pengasuh salah satu pondok pesantren di Sumbawa mencabuli 29 santriwatinya dengan iming-iming barokah. Atau seorang guru ngaji yang melecehkan anak didiknya di Cilengkrang dengan iming-iming kecerdasan dan berkah. Atau ancaman-ancaman menakutkan lain yang membunuh nalar kritis mereka. Ini hanya sekelumit contoh, kasus lain masih banyak.

Di momen Pemilu, tindakan serupa terjadi dengan kemasan yang lebih dianggap ‘kaprah’ oleh banyak kalangan. Di mana santri diperintahkan, bahkan wajib, untuk memilih salah satu pasangan calon yang dikehendaki oleh kiai, dengan alasan barokah terutama. Dan mau tidak mau, santri diharuskan menaatinya, sebagaimana yang terjadi pada salah satu teman saya yang sedang mondok di salah satu pesantren salaf.

Kungkungan semacam ini bukan hanya mematikan nalar kritis seseorang, namun juga merampas hak konstitusional, di mana setiap warga negara berhak menentukan pilihannya, dalam Pasal 2 UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu. Santri boleh mengikuti arahan kiai, namun kiai tidak boleh memaksa seoang santri untuk memilih pilihan tertentu. 

Jika boleh membandingkan, dua kasus di atas, yakni pencabulan dan pemaksaan memilih paslon, adalah dua hal yang nyaris mirip. Di dalamnya, nalar kritis dipadamkan, ada unsur pemaksaan, merampas hak, dan penyalahgunaan wewenang. 

Lagi-lagi, saya bukan bermaksud untuk berlebih kepada para kiai atau guru. Namun dengan ini, saya berharap ketaatan yang tercipta di pesantren, yang terbentuk dari seperangkat aturan dan kesadaran mitologis tentang seorang guru, digunakan secara lebih bijak. Selayaknya digunakan untuk keberaturan pesantren, bukan sekadar alat pemuas personal. Apalagi untuk memenangkan paslon tertentu sebagaimana dilakukan elite kiai-kiai di PBNU. Bahaya. Lawan!

Wallahu a’lam.

Aqil Husein Almanuri
Aqil Husein Almanuri
Penulis lepas tentang keislaman dan keindonesiaan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru