28.4 C
Jakarta

Perjuangan Mengislamkan Indonesia

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuPerjuangan Mengislamkan Indonesia
image_pdfDownload PDF
Judul: Negara Islam Indonesia: Lahir dan Mati Bersama Sang Imam (1905-2002). Editor: Mahardika Abu Imtiyaz. Tahun: 2020 (Cetakan I). Penerbit: Harakatuna Pustaka. Tebal: viii + 330 halaman.

Agama dan negara. Dua term tersebut telah melewati diskursus panjang yang pelik dan mungkin tidak akan ada ujungnya. Membicarakan negara secara otomatis membicarakan warga di dalamnya. Dengan demikian ia berhubungan erat dengan persoalan personal warga negara, yaitu agamanya. Di Indonesia, persoalan ini cukup alot, jika melihat napak tilas sejarahnya.

Bahwa sampai kapan pun persoalan agama selalu menjadi masalah serius dalam negara, adalah tesis yang akurat. Seandainya pun pada akhirnya akan lahir kesepakatan bersama, tidak dipungkiri, proses menuju konsensus tersebut memakan darah warga negaranya sendiri. Tidak ada yang benar-benar mulus. S. M. Kartosoewirjo adalah salah satu dari dialektika konsensus berdarah tersebut.

Buku berjudul “Negara Islam Indonesia: Lahir dan Mati Bersama Sang Imam (1905-2002)”, dieditori oleh Mahardika Abu Imtiyaz, menjadi literatur penting yang wajib dibaca. Buku tersebut memaparkan secara kronologis, tentang bagaimana Islam memiliki keterikatan sejarah yang teramat erat dengan republik ini.

Pembaca akan dibuat paham, tak lagi bertanya: kenapa hingga detik ini, polemik ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an selalu bergejolak, bahkan berdarah-darah?

Semua bermula dari perspektif. Benar. Dengan perspektiflah, sejarah kelam lahir. Dengan perspektif pulalah, NKRI berdiri. Ada sebuah cita. Ada sebuah mimpi. Para pejuang kemerdekaan ingin penjajahan musnah dan Belanda pulang kandang, maka perjuangan menyelimuti seantero negeri. Itu yang disebut sebagai cita-cita: semua orang berhak memperjuangkannya.

Tetapi masalahnya tak sesederhana itu. Kemerdekaan Indonesia, yang publik tahu terjadi pada 17 Agustus 1945 melalui proklamasi Soekarno-Hatta, konon penuh dengan manipulasi sejarah. Yang namanya cita-cita tadi membelah diri: kini ia menjadi kepentingan. Ada yang berkepentingan memperjuagkan Islam. Tidak sedikit pula yang menginginkan sekularitas.

Wacana ‘Islam’ dan ‘sekuler’ kemudian merebak. Hendak dikonstruk seperti apa bangsa yang baru merdeka itu. Apakah ia dibangun atas dasar Islam, atau atas dasar sekuler. Atau tengah-tengah di antara keduanya.  Dalam buku ini dituturkan, oleh manipulasi sejarah tadi, umat Islam pun fobia terhadap Islam, bahkan melebihi ketakutan mereka terhadap kafir dan sekuler.

Indonesia: Islam atau Sekuler?

“Demikian besar ketakutan kaum Muslimin terhadap isu negara Islam, melebihi ketakutan orang-orang kafir dan sekuler. Sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa segala isme tau pun ideologi di dunia ini berjuang meraih kekuasaan untuk mendirikan negara berdasarkan isme atau ideologi yang dianutnya.” [hlm. 13]

Kalimat di atas, jika diresapi, akan diketahui kedalaman maknanya. Selama ini polemik yang terjadi di Indonesia adalah antara mereka yang katanya ‘memperjuangkan Islam’ dengan mereka yang katanya ‘memperjuangkan keadilan-kesetaraan’. Yang terakhir ini konotasinya adalah ideologi sekuler. Tetapi istilah tersebut vulgar. Sekuler pun tak dipakai, agar tidak kentara ideologis.

“Mantan Ketua Umum PBNU, KH. Abdurrahman Wahid misalnya, secara terus terang bahkan mengatakan: ‘Musuh utama saya adalah Islam kanan, yaitu mereka yang menghendaki Indonesia berdasarkan Islam… Kita akan menerapkan sekularisme, tanpa mengatakan hal itu sekularisme… Bagi kita tidak masalah, apakah pemimpin itu Muslim atau bukan. Yang penting ia mampu mengaplikasikan nilai-nilai universal seperti kejujuran dan keadilan’.” [hlm. 12-13]

BACA JUGA  Trik Pintar Berdebat Dengan Wahabi

Buku ini lantas mengulas tentang Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, bagaimana perjuangannya dalam mendirikan Negara Islam Indonesia. Ia dianggap sebagai mujahid yang berusaha memberantas ideologi sekuler dari Indonesia. Simbol kehidupannya dipersepsikan sebagai dinamika Islam di Indonesia. Mulai pertumbuhannya, tahun 1905, hingga masa fragmentasi, tahun 1981.

Beberapa manipulasi sejarah diuraikan. Misalnya, tentang perjanjian Renville. Ketika Soekarno dan tentara Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, di masa kepemimpinan Hamenkubuwono IX, Indonesia nyaris gagal merdeka, dan tetap dikuasai Belanda. Kartosoewirjo lalu tampil. Andai tidak, hari ini, Indonesia hanya Yogyakarta saja. Sementara Hindia Belanda tetap di tangan Belanda.

Tetapi apa yang terjadi? Soekarno memanipulasi vacum of power tersebut sebagai hijrah, istilah bernuansa Islami. Sementara Kartosoewirjo dianggap pemberontak. Ia kemudian ditangkap dan dihukum mati. Pusaranya tidak disebarkan ke publik. Namun akhirnya pusara tersebut diketahui ada di Pulau Seribu, dan menjadi sumber spirit perjuangan Islam hingga kini.

Kartosoewirjo pun dikenang sebagai mujahid oleh kalangan yang sekarang kita golongkan sebagai “Islam kanan”.

Konsensus NKRI

Setiap bangsa punya sejarah. Setiap sejarah selalu memakan banyak darah. Abbasiyah adalah simbol kejayaan Islam. Tetapi kalau kaca sejarah diperbesar, mungkin akan banyak yang kaget, bahwa ternyata imperium Abbasiyah dibangun di atas darah-darah para punggawa Umayyah. Pembantaian menjadi lumrah, apalagi sekadar hukuman mati.

Buku yang mengulas tentang Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo ini adalah bagian dari pengungkapan sejarah. Itu benar. Bahwa ia pejuang Islam, artinya memperjuangkan Indonesia menjadi berbasis Islam, adalah fakta. Tetapi mengatakan bahwa NKRI dibangun atas manipulasi sejarah, dan merupakan fragmentasi Negara Islam Indonesia, adalah klaim sepihak.

Tentu saja kita tidak bisa mengabaikan, bagaimana Kiai Ahmad Dahlan berjuang, bagaimana Kiai Hasyim Asy’ari berjuang, juga tokoh Islam lainnya. Mereka berusaha mencari jalan tengah agar Indonesia tidak menjadi negara Islam, karena melihat pluralitas, tetapi sekaligus tidak menjadi sekuler. Lahirlah kemudian sebuah konsensus bersama: Pancasila.

Meski perdebatan seputar apakah Indonesia dapat disebut Darul Islam atau bukan tetap bergulir, namun intinya, Islam tidak dikekang di negara ini. Ia berdiri sejajar dengan agama lain; Kristen misalnya. Tidak ada yang lebih tinggi. Semua berada di bawah naungan kesepakatan universal Pancasila, dengan komitmen Bhinneka Tunggal Ika.

Konsensus NKRI tersebut telah final. Indonesia bukan negara sekuler, sekaligus bukan negara Islam. Konsep ini menurut Nurcholish Madjid memang agak rumit, tetapi benar penerapannya. Yang jelas, konsensus NKRI tentang Pancasila satu spirit dengan Piagam Madinah; kesepakatan yang dibentuk oleh Nabi ketika mendirikan bangsa baru bernama Madinah.

Lalu bagaimana kemudian kita harus bersikap, dan harus disebut sebagai apakah Kartosoewirjo? Pemberontak atau mujahid?

Tidak keduanya. Semua kita tahu, apa yang terjadi adalah bagian dari dialektika kemerdekaan bangsa besar ini: NKRI. Islam diperjuangkan, dan pejuangnya bukan hanya Kartosoewirjo. Kiai Hasyim Asy’ari juga termasuk di antaranya. Baik Kartosoewirjo maupun Kiai Hasyim Asy’ari kita kategorikan sebagai mujtahid. Dan tidak ada yang salah dengan ijtihad.

Tetapi, perjuangan mengislamkan Indonesia adalah ijtihad yang salah.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru