30.2 C
Jakarta

Perempuan: Bukan Hanya Sekadar Tubuh, Tapi Juga Jiwa

Artikel Trending

KhazanahPerempuanPerempuan: Bukan Hanya Sekadar Tubuh, Tapi Juga Jiwa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tak bisa dipungkiri, selama berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja sekaligus direndahkan; ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga ketika ia mekar, tetapi kemudian dicampakkan begitu saja begitu layu. Tubuh perempuan identik dengan daya pesona dan kesenangan seksual.

Tetapi dalam waktu yang sama ia dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan materi. Perempuan dipuji sebagai “tiang negara” dan ketika ia ibu, ia dipandang dengan penuh kekaguman: “surga di telapak kaki ibu”. Tetapi pada saat yang lain, ia menjadi makhluk Tuhan kelas dua.

Dia terlarang tampil di panggung politik yang hingar-bingar. Ketika di meja makan, ibu setia menunggu bapak dan anak lelaki sampai mereka kenyang. Ketika ia seorang isteri, dia harus tunduk sepenuhnya kepada lelaki, suaminya. Ia tak boleh cemberut manakala suami bergairah terhadap tubuhnya, kapan saja, di mana saja dan dengan cara apa saja.

Perempuan itu indah. Di banyak bagian dunia Arab, tubuh perempuan harus dilindungi dan dibungkus rapat-rapat, sering hanya menyisakan dua buah bola matanya atau bahkan acap wajahnya dilekatkan cadar hitam. Tubuhnya terlarang menantang laki-laki. Konon, ini karena di dalamnya menyimpan sesuatu yang amat berharga.

Sekiranya melepaskan bungkus tubuhnya di ruang sosial, dia harus “ditertibkan” dan pelanggaran atasnya harus dihukum. Kemanapun dia harus selalu dikontrol. Hari ini, konon, di Saudi Arabia control atas tubuhnya dilakukan dengan teknologi “remote”.

Seorang feminis muslim Iran, Haideh Moghissi, mengemukakan keadaan di atas dengan tajam: “Ekspresi perempuan atas keinginan-keinginannya dan usahanya untuk memperoleh hak-haknya terlalu sering dianggap bertentangan dengan kepentingan-kepentingan laki-laki dan melawan hak-hak laki-laki atas perempuan yang telah diberikan oleh Tuhan”.

Menurutnya, alasan utama untuk mendukung praktik-praktik control atas seksualitas dan moralitas perempuan adalah, adanya anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk lemah dalam pertimbangan moral, memiliki kemampuan kognitif yang rendah, kuat secara seksual dan mudah terangsang. Dalam perspektif ini, perempuan cenderung melakukan pelanggaran. Lelaki begitu perkasa dan pemilik otoritas raja bahkan boleh jadi dewa.

Perbincangan Tubuh Pempuan

Dalam konteks tradisi keagamaan, seluruh perbincangan tentang tubuh perempuan di atas merujuk pada dua kata sakti. Pertama: “Qiwamah al-Rajul” (kepemimpinan laki-laki). Kata ini disebut dalam teks suci paling otoritatif: al-Qur’an.

Ayat ini, dalam cara pandang laki-laki, memberi norma otoritas permanen bagi semua laki-laki yang dari situ seluruh relasi gender dibangun di segala ruang dan waktu. Pandangan yang kritis atas ayat ini menunjukkan sebaliknya. Ia bukanlah ayat  normatif dan tidak universal. Ia kontekstual dan nisbi.

Kedua “al-Fitnah”. Kata ini dalam konteks gender, acapkali dimaknai dalam nada stigmatik terhadap perempuan. Perempuan adalah sumber godaan hasrat seksual, pemicu kerusakan (kekacauan) sosial, dan yang menjerumuskan lelaki dalam petaka nestapa. Pemahaman ini diambil dari teks Hadits Nabi yang popular: “Aku tidak meninggalkan sesudah aku tiada sebuah “fitnah” yang membahayakan laki-laki, kecuali perempuan.”

Pandangan bahwa perempuan sumber petaka dan kesialan laki-laki sesungguhnya tidak hanya berlaku dalam masyarakat Islam. Dalam dunia Eropa yang Kristen, perempuan juga dianggap kurang layak bagi tingkah-laku moral. Hasrat-hasrat dalam tubuh perempuan mendorongnya untuk berjalan menuju setiap kejahatan.

Itu artinya, laki-laki harus mengawasi setiap tingkah laku perempuan, dan perempuan diciptakan untuk taat kepada laki-laki. St. Agustinus (354-430), bapak spiritualitas dunia barat, mengingatkan jemaatnya bahwa “melalui seorang perempuan dosa pertama datang, dosa yang membawa kematian bagi kita semua.”

Pendeknya, dalam banyak atau bahkan segala peradaban, perempuan tidak pernah menjadi manusia yang utuh, independen dan otonom. Mereka tidak dianggap sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam memenuhi hak-hak sosial, ekonomi dan politik, bahkan hak-hak Tuhan. Perempuan seakan-akan tidak boleh memiliki dunia.

Pandangan-pandangan paradox, ambigu sekaligus penuh dengan nuansa-nuansa yang merendahkan, menguasai dan menindas perempuan di atas memperlihatkan bahwa, perempuan hanya dilihat semata-mata dari aspek tubuh, seks dan biologis yang menjadi sumber kenikmatan hidup laki-laki. Pandangan penguasaan atas tubuh perempuan ini popular disebut sebagai pandangan patriarkhisme.

Ia adalah sebuah ideologi yang memberikan kepada laki-laki legitimasi superioritas, menguasai dan mendefinisikan struktur sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik dengan perspektif laki-laki. Dunia dibangun dengan cara berpikir dan menurut dunia laki-laki.

Ideologi ini terus dihidupkan dalam kurun waktu yang sangat panjang merasuki segala ruang hidup dan kehidupan manusia. Sementara, perempuan pandang sebaliknya: Ia adalah eksistensi yang rendah, manusia kelas dua, the second class, yang diatur, dikendalikan, bahkan dalam banyak kasus seakan-akan sah pula untuk dieksploitasi dan dikriminalisasi hanya karena mereka hadir dengan tubuh perempuan.

Konon, kisah kejatuhan Adam dari surga gara-gara Hawa dianggap sebagai titik awal penindasan tersebut. Ia dihidupkan secara terus menerus dari generasi ke generasi dan kurun waktu yang sangat panjang melalui teks-teks keagamaan dan mitologi-mitologi.

Tak pelak, jika kondisi kebudayaan seperti ini pada gilirannya melahirkan berbagai bentuk aturan, kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik diskriminasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan yang acap kali dianggap sebagai situasi dan praktik yang wajar, baik-baik saja bahkan paling ideal.

BACA JUGA  Terabaikan dan Teralienasi: Peran Pemuda dan Perempuan dalam Kontra-Ekstremisme

Pandangan dan pikiran seperti itu dalam banyak sejarah telah melukai dan menghancurkan berjuta tubuh perempuan. Dan, celakanya, hanya karena soal tubuh itu, dalam waktu yang sama ia mencerabut ruh, jiwa, pikiran dan energi perempuan. Bangunan kehidupan yang diciptakan itu sesungguhnya telah kehilangan pengetahuan yang cukup mendalam tentang eksistensi perempuan. Mata mereka buta bahwa, dalam tubuhnya tersimpan seluruh potensi besar kemanusiaan.

Perempuan memiliki jiwa yang membuatnya bisa melukis dan menari-nari, akal-intelektual yang membuatnya bisa mencipta dan menggagas dunia ideal, hati nurani yang membuatnya bisa menyinta dan merindu dan energi fisik yang membuatnya selalu memberi dan mengabdi tanpa lelah untuk kehidupan dan bekerja bagi tanah air. Fakta-fakta sejarah manusia sepanjang zaman dalam dunia pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, profesi, budaya, seni, dunia spiritual dan peradaban manusia lainnya telah memperlihatkan eksistensi potensial perempuan tadi.

Catatan Patriarkisme

Dewasa ini, patriarkisme tengah menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari kebudayaan dan peradaban modern (sebuah dunia baru yang mendasarkan diri pada demokrasi dan hak-hak dasar manusia). Demokrasi meniscayakan sistem yang mengidealkan tidak adanya struktur hirarkis yang mapan.

Ia adalah sistem kehidupan bersama yang terbuka bagi setiap individu sambil meniscayakan tanggung jawab dan penghargaan terhadap martabat manusia. Dan, hak-hak asasi manusia memberi basis fundamental bagi kemerdekaan dan kesetaraan tiap individu manusia, lelaki, perempuan dan makhluk Tuhan apapun.

Para pejuang demokrasi, hak-hak asasi manusia dan lebih spesifik lagi hak asasi perempuan menemukan momentum paling signifikan ketika kata gender lahir. Kata ini kemudian menjadi sebuah alat analisis paling jitu sekaligus sakti untuk melihat ketimpangan relasi laki-laki, dan perempuan tersebut berikut konsekuensi yang menyertainya.

Melalui alat ini kemapanan dan pemapanan relasi timpang antara laki-laki dan perempuan dibedah dan didekonstruksi. Gender tidak bicara soal tubuh manusia. Karena tubuh manusia berikut seluruh anatominya telah tercipta seperti adanya, baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan atau jenis lain, begitu ia terlempar ke dunia.

Ia adalah kreasi Tuhan yang tak dapat ditiru. Gender bicara tentang apakah yang menggerakkan tubuh manusia. Apakah yang membuat manusia bisa mengaktualisasikan dan mengekspresikan tubuhnya. Apakah yang membuat manusia mengerti tentang kehidupan dan memilih, mempresentasikan kegembiraan atau duka nestapa, dan seterusnya.

Dengan kata lain, gender bicara soal ruh, akal dan energi faktual yang tersimpan dalam setiap individu manusia yang dengannya manusia mengada, mengaktualisasikan dan mengekspresikan dirinya dalam dunia.

Pertanyaan utamanya adalah apakah ruh, jiwa, akal dan energi laki-laki dan perempuan diciptakan Tuhan secara berbeda pula, sedemikian rupa sehingga tak seorangpun mampu merubahnya, sebagaimana jenis kelamin biologis di atas?. Lalu apakah laki-laki memiliki ruh, akal dan energi yang lebih unggul daripada perempuan?.

Al-Jahiz (w. 255 H), sastrawan besar abad III H/IX M, menyampaikan pandangannya yang tajam mengenai ini dalam Rasail al-Jahizh: “Kita tidak mengatakan, dan setiap orang bijak tidak akan mengatakan, bahwa perempuan lebih unggul atau lebih rendah satu tingkat, dua atau lebih.”

Tidak hanya Al-Jahiz, Ibnu Rusyd, filosof muslim terbesar menyampaikan pandangannya dalam kitab Ibnu Rusyd wa Falsafatuhu sebagaimana yang kemudian dikatakan feminis laki-laki, Qasim Amin: “Anna al-Ikhtilaf baina al-Nisa wa al-Rijal Innama Huwa fi al-Kamm La fi al-Thab’i” (perbedaan perempuan dan laki-laki hanyalah dalam hal kapasitas bukan dalam hal potensi alamiahnya/cetak biru Tuhan).

Kapasitas adalah sesuatu yang kondisional dan kontekstual. Sesuatu yang nisbi. Tak seluruh laki-laki memiliki kapasitas intelektual lebih unggul dari kapasitas intelektual seluruh perempuan, atau sebaliknya, dan seterusnya. Al-Qur’an dengan sangat indah sekaligus mencengangkan menyebut kenisbian kapasitas keunggulan ini: “Ba’dhahum ala Ba’dh” (sebagian atas sebagian).

Kitab suci ini tidak mengatakan: “Seluruh laki-laki atas seluruh yang lain”. Maka, sepanjang orang, siapa saja, laki-laki atau perempuan, berkehendah mengeksplorasi, mengembangkan, memekarkan dan menjulangkan potensi dirinya dan ruang di luar dirinya tak menyergapnya, keunggulan kapasitas itu akan tampak terang-benderang.

Begitupun juga dalam bukunya Talkhish al-Siyasah Li Aflathan (Ringkasan buku Politiea/Republik, karya Plato, filosof ini mengatakan: “Sepanjang perempuan tumbuh dan besar dengan kecerdasan dan kapasitas intelektual yang cukup, maka tidaklah mustahil, kita akan menemukan di antara mereka para filosof/kaum bijak-bestari, para pemimpin public-politik dan semacamnya.

Memang ada orang yang berpendapat bahwa perempuan seperti itu jarang ada, apalagi terdapat hukum-hukum agama yang tidak mengakui kepemimpinan politik perempuan, meski sebenarnya ada juga hukum agama yang membolehkannya. Akan tetapi sepanjang perempuan-perempuan di atas ada, maka itu (kepemimpinan perempuan) bukanlah hal yang tidak mungkin.”

Demikian halnya juga dengan Ibnu Arabi, menjadi sufi terbesar sepanjang sejarah dalam dunia Islam. Sesudah memperoleh pengetahuan esoterisnya dari paling tidak tiga perempuan cerdas dan suci: Fakhr al-Nisa, sufi perempuan terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan yang darinya dia mengaji kitab hadits “Sunan al-Tirmidziy”.

Qurrah al-Ain, perempuan dengan pengetahuan ketuhanan yang sangat luar biasa dan Sayyidah Nizham (Lady Nizham), biasa dipanggil “Ain al-Syams” (sumber cahaya matahari), dan “Syaikhah al-Haramain” (Guru Besar dua kota suci). Seperti Ibnu Arabi, banyak kaum perennial acap menyebut “Layla” sebagai simbol Tuhan Yang Maha Indah. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Kader aktif PMII UNUJA sekaligus mahasiswa dan santri aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Minat kajian keislaman dan filsafat.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru